Cowok yang suka caper itu bernama Sabbana. Nama unik yang sempat bikin dia “dimarahi” oleh seorang bapak pejabat fakultas pada suatu sambungan telepon,
“Anda jangan main-main ya!"
"Masak namanya Sabbana!?"
"Memangnya padang rumput!?”
Kami (yang kemudian menghuni Sarang Penyamun) jelas terbahak saat Sabbana menceritakan kejadian unik itu. #senyum.lebar
Ah, si bapak ini! Itu kan baru padang rumput Pak! Kalau njenengan berkenan googling, mungkin njenengan juga bakal protes kalau nama lengkap si Sabbana mirip sama nama aktris India, hahaha. #senyum.lebar
Tapi, dibalik segala tingkah dan ucapan Sabbana yang kerap memancing tawa, pada suatu sore dia pernah sekali “mengeluh”,
“Ah, coba aku lahir lebih tua.”
Yah, memang sulit rasanya untuk mendapatkan balasan cinta dari perempuan yang berusia lebih tua. Apalagi untuk perempuan yang “satu itu”. Sebab, aku dan Sabbana pernah naksir kepada sosok yang sama. #eh
Tapiii… itu duluuuuu cerita pada tahun 2015! #senyum.lebar
Pada bulan September tahun 2017 si Sabbana menikah sama Mbak Nana. Aku sendiri beberapa bulan kemudian juga menikah. Sedangkan si perempuan yang pernah kami taksir itu lebih dahulu menikah dengan pria yang ... yang ... eh? ... ah sudahlah.... #hehehe
Yaaa biarlah itu semua menjadi kenangan di masa lalu! Yang ingin aku lakukan sekarang adalah mengenang perjalananku bersepeda kondangan ke nikahannya Sabbana.
Sebagai eks-“musuh di dalam sempak”, tentu aku nggak boleh melewatkan momen bahagianya itu kan? Hehehe. #senyum.lebar
Dari Jogja Menuju Gunungkidul
Sebagaimana lazimnya adat Jawa, pernikahan Sabbana diselenggarakan di kediamannya Mbak Nana di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta. Ini kebetulan banget! Soalnya, aku sudah lama pingin bersepeda ke wilayah ujung timur Gunungkidul.
Yah, hitung-hitung bersepeda PEKOK terakhir kali sebelum aku menikah, hahaha. #senyum.lebar
Rute perjalanan yang mencuat di otakku adalah Jogja → Wonosari → Ponjong. Untuk etape Jogja – Wonosari aku sudah “akrab” karena beberapa kali pernah bersepeda lewat sana.
Nah, yang masih misterius adalah etape Wonosari – Ponjong. Sebetulnya sih aku sudah beberapa kali keluyuran melintasi Jalan Raya Wonosari – Ponjong. Tapi, naiknya mobil atau motor. Naik sepeda sama sekali belum pernah!
Jadinya penasaran toh? Sekaligus juga untuk menyegarkan ingatan apakah di ruas jalan raya itu banyak tanjakannya atau nggak, hahaha. #senyum.lebar
Guna semakin mempertebal niat, beberapa minggu sebelum hari-H aku sempat berkonsultasi sama Denmas Brindhil. Dirinya ini veteran SPSS yang jam kayuhnya terbilang sangat tinggi. Kebetulan, dulu Denmas Brindhil pernah melintasi Jalan Raya Wonosari – Ponjong saat bersepeda 100 km dari Jogja ke Pantai Klayar. #wow #jangan.ditiru #super.pekok
Eh, ndilalah Denmas Brindhil malah tertarik juga bersepeda lagi ke Ponjong. Alhamdulillah, PEKOK kali ini aku ada temannya. #senyum.lebar
Aku juga sempat ngajakin Mbah Gundul buat ikutan supaya dirinya nggak melulu bersepeda muter-muter Piyungan atau Prambanan. Sayang, Mbah Gundul nggak mau ikutan kalau acaranya kondangan. Paling-paling si Mbah berminat kalau ada iming-iming tempat mistisnya. #hehehe
Ah yo wis....
Pada hari Minggu (3/9/2017) yang bertepatan dengan nikahannya pasangan seleb Raisa dan Hamish #eh, aku dan Denmas Brindhil berangkat bersepeda dari Jogja ke Ponjong. Start dari dasar Tanjakan Patuk pukul 6.15 pagi dan sampai puncak Tanjakan Patuk sekitar pukul 7 pagi.
Alhamdulillah, pas melewati rintangan Tanjakan Patuk ini lancar jaya. Pas terakhir kali aku lewat sini pada bulan Mei 2017 jalannya sedang diperbaiki. Jadinya nggak enak dipakai nanjak karena macet-cet-cet!
Dari puncak Tanjakan Patuk perjalanan selanjutnya adalah menuju Kota Wonosari. Jaraknya sekitar 20-an km. Selain karena medan jalannya diselingi banyak turunan, Alhamdulillah hawa pagi hari itu masih dingin. Betul-betul kondisi yang sip buat bersepeda. #senyum.lebar
Sempat ada kejadian pas bersepeda di ruas Jalan Raya Patuk – Wonosari ini. Ceritanya kan sejak awal bersepeda itu Denmas Brindhil yang memimpin di depan. Tapi, begitu melintasi Desa Putat kok sosok Denmas Brindhil menghilang?
Pikirku, mungkin Denmas Brindhil sudah tancap gas jauh di depan demi memburu jadwal resepsi yang di undangan tertulis pukul 12 siang. Jadilah aku dengan sekuat tenaga memacu Trek-Lala lebih cepat.
Sampai di Pertigaan Sambipitu aku sempat nge-SMS, nge-WA, dan nelpon Denmas Brindhil. Tapi ya nggak ada balasan. Aku nunggu agak lama dan lewatlah rombongan bapak-bapak bersepeda. Salah satu dari mereka bilang nggak lihat sosok Denmas Brindhil. Pikirku, wah pasti Denmas Brindhil sudah melesat jauh banget di depan.
Dari Pertigaan Sambipitu aku lanjut bersepeda lagi menuju Rest Area Bunder, tempat yang lazim dipakai mengistirahatkan dengkul sebelum melibas Tanjakan Wanagama. Lagi-lagi, di Rest Area Bunder aku nggak lihat sosoknya Denmas Brindhil. Jadilah aku nggak berhenti di sana.
Sampai akhirnya pas sampai di Bangjo Lapangan Gading, aku menyempatkan diri membuka handphone dan ternyata ada kiriman pesan dari Denmas Brindhil. Dia mengabari kalau posisinya jauh di belakangku!
Woh! Rupanya tadi Denmas Brindhil mengambil ruas jalan Patuk lama. Katanya, biar lebih terasa tantangannya. Hadeh…
Setelah regrouping, kami pun melanjutkan bersepeda ke Kota Wonosari. Jarak yang tersisa kini tinggal 7 km lagi.
Di Kota Wonosari kami berencana sarapan dulu sebelum lanjut bersepeda ke Ponjong. Denmas Brindhil mengusulkan sarapan soto langganannya di seberang Pasar Argosari. Sebagai mantan anggota SPSS, kan berlaku pakem Sarapan Pagi Selalu Soto. #senyum.lebar
Kami pun sarapan di warung Soto dan Bakso Pak Wariyun. Dua mangkuk soto bakso (per porsinya Rp12.000), segelas teh hangat tawar, segelas jeruk panas, ditambah satu bungkus kerupuk rambak mengabiskan total biaya sebesar Rp28.000.
Rasa sotonya menurutku sih lumayan. Skornya 7.5 dari 10 lah. Nggak di atas 8 karena menurutku harga sotonya kemahalan, hahaha. #senyum.lebar
Dari Wonosari ke Ponjong
Pukul setengah 9 pagi lebih sedikit, saatnya lanjut bersepeda menjamah ruas Jalan Raya Wonosari – Ponjong! Kalau menurut Google Maps sih, tempat nikahannya Sabbana itu "hanya" berjarak 20 km dari Kota Wonosari.
Untuk menggapai Kecamatan Ponjong, kami terlebih dahulu harus melewati Kecamatan Semanu. Secara umum, medan jalan dari Kota Wonosari menuju Semanu berhiaskan tanjakan dan turunan ringan (rolling).
Sementara ini medan jalan nggak terlalu menguras tenaga. Nggak ada medan yang menggoda Trek-Lala untuk dituntun #hehehe. Yang menggoda malah semangka-semangka yang dijajakan orang-orang di pinggir jalan raya. Per buahnya dihargai Rp5.000! #murah.banget
Memasuki wilayah Ponjong, pemandangan di kanan-kiri jalan mulai dihiasi oleh tebing-tebing yang menjulang tinggi. Kami sempat berhenti di dasar salah satu tebing untuk berfoto ria. Ya, kapan lagi toh bisa foto-foto bareng sepeda di lokasi eksotik macam ini? #senyum.lebar
Sepintas, wujud tebing-tebing besar ini mirip seperti Tebing Breksi yang kini menjadi objek wisata alam populer di Prambanan. Sayangnya, nasib tebing-tebing ini juga sama seperti Tebing Breksi. Mulai terkikis habis karena ditambang batu-batunya! Duh!
Selepas singgah di dasar tebing, kami pun melanjutkan perjalanan. Perkataan Denmas Brindhil beberapa jam yang lalu menjadi nyata. Dia bilang,
“Nanti, sebelum masuk Bedoyo ada tanjakannya!”
“Hah?” aku kaget dengan informasi dadakan itu.
“Bukannya kamu bilang medan jalan ke Ponjong itu lurus-lurus!?” Aku mencoba mengingat-ingat transkrip obrolan WA kami beberapa minggu yang lalu.
“Yoh lanjut! Sudah terlanjur sampai sini!” Denmas Brindhil berlalu mendahuluiku.
Sekitar pukul 10 siang, aku mulai mengicip ruas jalan yang diistilahkan sebagai “Tiga Serangkai Tanjakan Bedoyo”. Rasa tanjakannya mirip-mirip Tanjakan Wanagama, nggak begitu terjal tapi lumayan panjang. Alhamdulillah tanjakannya bisa aku lalui tanpa perlu menuntun Trek-Lala, hehehe. #hehehe
Beberapa ratus meter kemudian gapura besi bertuliskan “SELAMAT DATANG DI BEDOYO” menyambutku dengan panas (sudah siang bok! #hehehe). Inilah Bedoyo, salah satu desa di Kecamatan Ponjong yang terkenal dengan tambang-tambang batu putih.
Kalau menurut petunjuknya Google Maps, tempat nikahannya Sabbana itu berjarak sekitar 3 km dari Pertigaan Bedoyo. Ngerti karena jaraknya sudah semakin dekat aku jadi semakin bersemangat. #senyum.lebar
Tapiiii... Denmas Brindhil bilang masih ada tanjakan yang menanti di ruas jalan menuju ke Pertigaan Bedoyo. Tanjakan ini disebut Tanjakan Rest Area Bedoyo. Itu karena di ujung tanjakan terdapat rest area.
Karena matahari semakin terik dan persediaan minum kian menipis, kami pun berhenti di salah satu warung di pinggir tanjakan. Kebetulan, warungnya ternyata menjual minuman dingin! Sebetulnya pas bersepeda dianjurkan nggak minum dingin tapi ya… kali ini bodo amat! #senyum.lebar
Tanjakan Rest Area Bedoyo ternyata juga nggak terjal-terjal amat. Malah menurutku nanjak di tanjakan ini cukup menyegarkan karena sering ada hembusan angin sejuk. Mungkin karena tanjakan ini diapit tebing-tebing tinggi yang jadi jalur favoritnya angin lewat. #senyum.lebar
Kata Denmas Brindhil, Tanjakan Rest Area Bedoyo barusan adalah tanjakan yang terakhir! WAW! Alhamdulillah! #senyum.lebar
Tapi... apakah dengan ini rintangan menuju ke tempat nikahannya Sabana benar-benar sudah habis ya?
Tiga Kilometer Menjelang Lokasi Nikahan
Beberapa puluh meter sebelum Pertigaan Bedoyo, kami berhenti lagi di Masjid Miftakhul Firdaus. Sembari dengkul istirahat, kami numpang gebyar-gebyur di kamar mandi masjid, hehehe. #hehehe
Lha, namanya juga kondangan dengan bersepeda! Jadinya perabot mandi juga masuk ke dalam perlengkapan kondangan dunk! #hehehe Untungnya juga air di Masjid Miftakhul Firdaus melimpah ruah. Wilayah Gunungkidul kan sering kekeringan pas bulan September semacam ini.
Ada sedikit pertaruhan dengan jarak yang tinggal tersisa 3 km lagi. Aku dan Demas Brindhil sudah mandi. Nggak lucu dong seumpama nanti harus berkeringat deras lagi gara-gara lewat tanjakan? #hehehe
Akhirnya diputuskan kami tetap memakai kaos bersepeda. Rencananya, setelah mendekati TKP kondangan barulah nanti bersalin dengan kemeja batik dan celana panjang. Dari awal kedua kaki kami sudah dibalut sepatu.
Kalau menurut Denmas Brindhil sih semestinya jarak yang 3 km itu wujudnya datar-datar saja alias bukan jalan yang memeras keringat. Google Maps sendiri nggak bisa secara detil menyebutkan wujud jalannya itu seperti apa.
Hmmm… misterius kan? #hehehe
Dan ternyataaaaa….
Awal wujud jalan sepanjang 3 km dari Pertigaan Bedoyo itu adalah jalan berbatu putih! Mirip-mirip jalan yang umumnya membelah hamparan sawah. Hanya saja di kanan-kiri jalan bukan sawah melainkan ladang kering.
Untung kami bersepeda lewat sini pas musim kemarau. Kalau pas musim hujan sudah pasti bakal becek parah! Tapi ya pas musim kemarau seperti ini malah jadi banyak debu yang berterbangan. #tutup.hidung #tahan.napas #hehehe
Satu hal yang membuatku takjub dengan kawasan di sekitar tempat nikahannya Sabbana ini adalah keberadaan bukit-bukit gamping yang sangat fotogenik dan sangat-sangat-sangat menggoda untuk didaki, hahaha. #senyum.lebar
Aku sempat ngomong ke Denmas Brindhil kalau aku kepingin mendaki bukit-bukit tersebut. Sepertinya bukitnya nggak terlalu tinggi deh buat didaki. Penasaran, seperti apa sih pemandangan dari puncak bukit-bukit itu? Kayaknya seru juga ya berkemah di puncak bukit itu? Apalagi kalau pas malam harinya langitnya penuh bintang. #senyum.lebar #berkhayal
Tapi, menyaksikan hamparan bukit-bukit seperti ini aku jadi teringat sama ungkapan, “Adoh Ratu, Cerak Watu” (jauh dari raja, dekat dengan batu) yang kerap diidentikkan dengan nasib yang dialami warga Gunungkidul. #sedih
Sayangnya, bukit-bukit gamping yang aku jumpai itu banyak yang ditambang #sedih. Kalau aku perhatikan, daerah tempat nikahannya Sabbana itu dikelilingi oleh sejumlah tambang dan pabrik batu gamping.
Selain memproduksi bongkahan batu gamping, aku perhatikan sejumlah pabrik juga memproduksi bubuk batu gamping. Sepintas wujud bubuk batu gamping ini mirip seperti tepung terigu. Beberapa kegunaan bubuk batu gamping ini adalah sebagai campuran semen dan pembuatan keramik.
Terus terang aku sangat menyayangkan kalau bukit-bukit gamping ini ditambang. Selain karena bakal melenyapkan bentang alam yang terbentuk dari proses jutaan tahun, di beberapa bukit aku perhatikan ada sejumlah gua kecil. Dalam fantasiku, gua-gua itu dulunya tempat tinggalnya manusia purba.
Kalau katanya Denmas Brindhil, gua-gua itu biasanya menyimpan fosil makhluk laut purba seperti kerang atau keong. Lha, kalau bukitnya ditambang, guanya menghilang, ya fosilnya juga ikut lenyap dong!? #sedih
Yah... aku sih berharap semoga generasi di masa mendatang masih dapat menyaksikan bukit-bukit gamping di Ponjong berdiri gagah nan asri. #senyum
Misi Paripurna Kembali ke Jogja
Hadeh… karena keasyikan cerita perkara bukit gamping yang memesona malah jadi lupa deh sama cerita nikahannya Sabbana. #hehehe
Singkat cerita, setelah melintasi jalan berbatu putih yang membuat keringat kembali mengucur (walaupun nggak deras), kami akhirnya tiba di suatu perempatan. Menurut Google Maps kami harus mengambil cabang ke barat, jadi kami dengan pede-nya meluncur ke barat.
Sampai kemudian, di suatu warung kami berhenti buat beli minum. Si ibu warung lantas bertanya ke mana tujuan kami. Eh ternyata, kami salah arah! Dusun tempat nikahannya Sabbana itu ternyata mengambil cabang jalan ke timur!
Beh! Ternyata Google Maps bisa salah juga! #muter.balik.lumayan.jauh
Atas berkat rahmat dan pertolongan Gusti Allah SWT dan warga setempat, akhirnya aku dan Denmas Brindhil tiba juga di dusun tempat nikahannya Sabbana. Sebelum menyambangi TKP kami sempat berhenti lagi di masjid untuk bersalin pakaian layak kondangan dan menunaikan salat zuhur.
Jam menunjukkan pukul setengah satu siang lebih banyak ketika aku pada akhirnya melihat si Sabbana cengengesan di atas pelaminan bersama Mbak Nana sang istri sahnya. Nggak seberapa lama setelah kami datang, para tamu langsung dipersilakan menikmati hidangan prasmanan yang sudah disediakan.
NYAM! Saatnya ngisi perut untuk bensin bersepeda pulang! #senyum.lebar
Rahmat dan pertolongan Gusti Allah SWT nggak berhenti sampai di situ. Untuk perjalanan pulangnya, Sang Otaku berbaik hati mengantarkan kami sampai Kabupaten Klaten. Kebetulan, Sang Otaku datang kondangan sendirian naik Kijang. Alhasil, Trek-Lala-ku dan APRO-nya Denmas Brindhil pun diusung masuk mobil.
Lumayan lah bisa menghemat tenaga. Nggak perlu pusing mikir beban nanjak di bawah terik matahari. Apalagi menurut perhitunganku, kalau rute baliknya lewat Klaten itu jarak total sampai Jogja-nya bisa sejauh 90 km!
Untuk rute pulangnya Sang Otaku memilih jalur Ponjong → Karangmojo → Ngawen → Cawas → Pedan → Ceper → Karanganom. Dari Ponjong sampai Karangmojo medan jalannya didominasi turunan. Dari Karangmojo ke Ngawen medan jalannya mulai menanjak.
Dari Ngawen ke Cawas medan jalannya turunan terjal dengan pemandangan yang WAOW! Ngawen ini adalah kecamatan di Gunungkidul yang berbatasan dengan Kecamatan Cawas di Klaten. Karena Cawas berada di dataran rendah jadi ini istilahnya “turun gunung” lah gitu. #senyum.lebar
Sang Otaku menurunkan aku dan Denmas Brindhil di Terminal Pengging. Selanjutnya, tinggal menempuh 37 km Jalan Raya Solo – Jogja untuk pulang ke Kota Jogja. Dari sini sudah nggak mikir perkara beban nanjak karena medan jalannya bisa dianggap mulus rata, hahaha. #senyum.lebar
Berangkat bersepeda dari Terminal Penggung pukul setengah 4 sore, tiba di Prambanan sekitar pukul 5 sore kurang. Di Prambanan sempat berhenti di minimarket dan menunaikan salat asar di Masjid Al-Muttaqin.
Lanjut lagi bersepeda santai sampai Jogja. Bertepatan dengan kumandang ikamah Magrib kami tiba di seberangnya Ambarukmo Plaza. Berhubung dekat sama rumahnya Goes Moakh, kami pun mampir bertamu. Selepas salat Magrib, traktiran nasi goreng dan magelangan sudah menanti. NYAM! #senyum.lebar
Selesai sudah cerita PEKOK bersepeda kondangan nikahannya Sabbana dari Jogja ke Ponjong. Total jarak yang aku tempuh dari Jogja ke Ponjong itu sekitar 70 km kurang sedikit. Kalau diminta bersepeda ke Ponjong lagi aku sih mau-mau saja, asal baliknya diantar pakai mobil, hahaha. #senyum.lebar
Jikalau setelah menikah aku nggak bersepeda PEKOK lagi, seenggaknya aku sudah punya cerita pernah bersepeda dari Kota Jogja sampai Ponjong lah, hehehe. #hehehe
setelah suami tau2 kasih link(kok ga ada
emot berkaca2 yak😅)
Makasih banyak Mas Wijna perjuangan luar
biasanya ke nikahan kita. Pokoknya
terharuuuuuuu denger ceritanya sama2 suka
sama mbak itu eehhh maksudnya sama
perjuangannya sampai ke nikahan kita😆
Hhhh sip sip okeh sedulur okeh rejeki Cen Nyoto Yo... Traktiran e.
Oh, gak bisa dong Mas. Nanti blog ini tutup. Ayo, istri barunya diajak PEKOK. :)