Aku tahu kerajaan yang namanya Mataram Islam dari pelajaran sejarah di sekolah. Tapi, berhubung aku dari orok sampai tamat SMU di Jakarta, aku baru kenalan langsung sama peninggalan peradaban Mataram Islam pas aku kuliah di UGM. #senyum.lebar
Perkenalan perdanaku dengan peninggalan peradaban Mataram Islam terjadi pada bulan April tahun 2008. Kala itu, Andreas temanku yang biasanya ngajak keluyuran ke candi-candi ndilalah ngajak motret-motret di Kotagede. Itulah momen di mana seorang Wijna pertama kali mengenal Kotagede #kebangetan sekaligus melontarkan satu pertanyaan “bodoh”,
“Kotagede itu sebenernya dulunya apaan sih?” #senyum.lebar
SILAKAN DIBACA
Selepas itu interaksiku dengan Kotagede meningkat. Apalagi setelah bergaul dengan gerombolan yang bernama SPSS #hehehe. Dengan sepeda aku pun mulai blusukan menjelajah sudut-sudut Kotagede dan pelan-pelan menggali informasi akan suatu peradaban besar yang menjadi awal lahirnya Yogyakarta.
Tapi ya itu. Sebagian besar informasi yang aku dapatkan hanya sebatas fragmen-fragmen cerita yang tersiar dari mulut ke mulut dengan bumbu “katanya…”. Jujur, aku kepingin sekali tahu seluk-beluk Kotagede sekaligus peradaban Mataram Islam dari para pakar sejarah.
Maka dari itu, ketika tahu Komunitas Malam Museum menutup rangkaian kegiatan Jelajah Peradaban Mataram Islam dengan seminar yang menghadirkan pakar-pakar sejarah dari almamater tercinta, langsung aku mantapkan dalam hati bahwasanya AKU HARUS HADIR!
Bahkan jauh-jauh minggu aku sudah menyusun daftar pertanyaan dan memantapkan niat bahwa AKU HARUS BERTANYA, gyahahaha! #senyum.lebar
Awal Seminar Sejarah Peradaban Mataram Islam
Seperti yang bisa disimak pada poster di bawah, Seminar Sejarah Peradaban Mataram Islam ini digelar pada hari Minggu tanggal 29 Oktober 2017 pada pukul 8 pagi hingga 1 siang di Aula Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta.
Beberapa hari sebelum seminar diwarnai oleh suasana hati yang dag-dig-dug. Pasalnya, untuk bisa mengikuti seminar harus mendaftar terlebih dahulu dan nanti bakal diseleksi oleh panitia. Kalau aku nggak salah ingat, pendaftarannya ditutup 2 hari setelah dibuka karena sudah melebihi kuota!
Beh! Padahal ini kan acara seminar, bukan jalan-jalan. Kenapa peminatnya bisa membeludak begini sih!? #hehehe
Singkat penantian, akhirnya aku dapat balasan keikutsertaan dari panitia pada H-11 jam! Pada hari-H aku datang mepet pukul 8 pagi. Di meja registrasi aku sempat menjumpai beberapa orang yang ditolak masuk oleh panitia karena mereka nggak terdaftar.
Weh! Sebegitu besarkah antusias orang-orang hadir di seminar peradaban Mataram Islam ini?
SILAKAN DIBACA
Acara baru dimulai mendekati pukul 9 pagi. Mas Rifqi dan Mbak Ade tampil sebagai MC. Seperti biasa, sebelum acara dimulai para hadirin berdiri dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Yang bikin kecele, lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan adalah yang versi tiga stanza. Untung di layar proyektor tampil liriknya. #hehehe #nggak.salah.nyanyi
Acara selanjutnya adalah pidato-pidato sambutan yang menurutku membosankan, hahaha #senyum.lebar.
Erwin sebagai founder Komunitas Malam Museum turut memberi sambutan. Erwin menyebutkan bahwa acara Jelajah Peradaban Mataram Islam ini merupakan bantuan dari Dinas Kebudayaan bagi komunitas. Pada pelaksanaan kegiatan ini ada 120 orang yang terlibat dan 360 orang yang terpapar.
Akhirnya, acara pun dimulai setelah sambutan dari Pak Umar Priyono selaku Kepala Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta dan Pak Suharja selaku perwakilan dari Direktorat Sejarah Dirjen Kebudayaan. #senyum.lebar
Sebagai moderator seminar adalah Mas Adriana Fajri. Beliau ini adalah salah satu staf pengajar di departemen arkeologi UGM. Sedangkan untuk tiga pakar yang menjadi pembicara adalah sebagai berikut.
- Prof. Dr. Djoko Suryo. Beliau adalah Guru Besar Sejarah UGM.
- Prof. Dr. Inajati Adrisijanti. Beliau adalah Guru Besar Arkeologi UGM.
- Dr. Sri Ratna Saktimulya. Beliau adalah Ketua Program Studi Sastra Jawa UGM.
Oh iya, bersamaan dengan konfirmasi keikutsertaan seminar, slide presentasi para pakar ini juga turut dikirimkan lewat e-mail kepada peserta. Jadinya nggak perlu deh ada adegan aku motret-motret layar proyektor, hahaha. #senyum.lebar
Presentasi Prof. Dr. Djoko Suryo: Pengantar Kerajaan Mataram Islam
Prof. Dr. Djoko Suryo tampil sebagai pembicara pertama. Beliau mempresentasikan tentang pengantar peradaban Mataram Islam. Apakah itu Kesultanan Mataram Islam? Bagaimanakah sejarah terbentuknya? Seberapa luas wilayah kekuasaannya, dan lain-lain.
Sebagai pengantar tentang mempelajari sejarah peradaban Mataram Islam, perlu diingat bahwa pemahaman akan sejarah itu nggak hanya berasal dari ingatan polos saja, melainkan juga berupa tulisan-tulisan beraksara Jawa. Tulisan-tulisan tersebut memuat beragam simbol budaya yang menunjukkan tingkat peradaban. Beberapa di antaranya mencantumkan tanggal (tahun) sebagai penanda historis.
Bila dirunut dari awal, Kesultanan Mataram Islam berakar dari Kerajaan Hindu – Buddha yang dikenal dengan nama Kerajaan Mataram (Kerajaan Medang). Jauh sebelum Kesultanan Mataram Islam berdiri, orang-orang pada zaman itu sudah mengenal nama Mataram. Wilayah Kesultanan Mataram Islam (Yogyakarta) pun sudah lama dikenal sebagai bekas wilayah suatu kerajaan.
Kesultanan Mataram Islam adalah penerus kerajaan Islam di tanah Jawa. Kerajaan Islam pertama yang berdiri di Jawa adalah Kesultanan Demak. Setelah Kesultanan Demak lahirlah Kesultanan Pajang. Setelah itu baru lahirlah Kesultanan Mataram Islam pada tahun 1586 Masehi.
Lokasi kerajaan Islam pun berpindah dari yang semula di pesisir (Demak) menjadi ke pedalaman (Pajang dan Mataram). Meski demikian corak kerajaan masih berupa agraris dan maritim yang didukung oleh pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa. Perpindahan ini juga turut berperan mengubah bahasa Jawa kuno menjadi bahasa Jawa baru.
Keberadaan kerajaan Islam juga turut berpengaruh kepada Islamisasi. Terjadi akulturasi Islam dengan kebudayaan yang telah berkembang lama di pedalaman Jawa (Islam yang membumi-Jawa). Sebagai contoh, muncul kata sembahyang (sembah + hyang) sebagai padanan lokal untuk istilah salat yang pada masa itu masih asing. Puncak dari sintesis Islam dan kebudayaan Jawa ini terjadi pada saat Sultan Agung memerintah Kesultanan Mataram Islam.
Itulah tadi sekelumit presentasi yang dibawakan oleh Prof. Dr. Djoko Suryo. Salah satu hal yang bikin aku lumayan “gemes” adalah suara beliau kurang terdengar olehku yang duduk di deretan bangku belakang. Prof. Djoko sebenarnya berbicara dengan memegang pelantang suara tapi posisi ujung pelantangnya melenceng dari dekat area mulut. #hehehe #sabar
Presentasi Dr. Sri Ratna Saktimulya: Babad Mataram Islam
Pembicara yang tampil di urutan kedua adalah Dr. Sri Ratna Saktimulya yang akrab disapa dengan panggilan Bu Ratna. Sebenarnya, yang seharusnya tampil sebagai pembicara kedua adalah Prof. Inajati. Akan tetapi beliau telat hadir di ruang seminar karena melayat rekannya di Imogiri.
Karena tadi presentasi Prof. Djoko sempat membuatku “gemas” dan “nggak sabaran”, maka dari itu aku berharap presentasi Bu Ratna ini bakal lebih menarik. Ndilalah, harapanku terkabul karena di awal presentasi Bu Ratna menyapa hadirin dengan suaranya yang merdu! Weeeh, memang sudah sepantasnya dosen Prodi Sastra Jawa mahir menembang #senyum.lebar.
Dengan pembawaannya yang ramah dan jenaka, presentasi dari Bu Ratna pun dapat mudah aku pahami. Aku jadi berandai-andai semisal Bu Ratna ini jadi dosenku, pasti aku bakal semangat ikut kuliah beliau dan akhirnya dapat nilai A, hahaha. #senyum.lebar #over.percaya.diri
Selain sebagai dosen sastra Jawa, Bu Ratna juga lama bergelut dengan koleksi babad. Sampai-sampai katanya dari bau kertasnya pun beliau tahu itu babad dibuat pada tahun berapa. #senyum.lebar
Menurut Bu Ratna salah satu fungsi babad adalah sebagai legitimasi suatu peristiwa bersejarah. Babad juga berfungsi untuk meneguhkan jiwa si pembacanya. Misal, jika sebelum berperang membaca babad yang mengisahkan aksi heroisme itu efeknya bisa meningkatkan percaya diri.
Pada presentasinya, Bu Ratna memperkenalkan hadirin dengan Babad Matawis Saha Candra Nata. Babad ini menceritakan sosok Panembahan Senopati sang raja pertama Kerajaan Mataram Islam. Babad ini merupakan koleksi Perpustakaan Pura Pakualaman dengan kode koleksi Bb. 24. Penyalinannya diprakarsai oleh Paku Alam II (bertahta 1830 – 1858).
Bu Ratna kemudian “mendongengkan” kepada kami sepak terjang Panembahan Senopati hingga akhirnya kelak bertahta sebagai raja Mataram Islam. Seperti cerita yang sudah pernah aku dengar sebelumnya. Panembahan Senopati merupakan putra dari Ki Ageng Pemanahan. Oleh Sultan Pajang, Ki Ageng Pemanahan dihadiahi hutan bernama Alas Mentaok. Di hutan inilah Ki Ageng Pemanahan mendirikan Desa Mataram yang kelak berubah menjadi kerajaan.
Dalam salah satu slide presentasinya, Bu Ratna mempertontonkan halaman babad yang menceritakan kisah Panembahan Senopati tatkala bertempur melawan Arya Penangsang. Dalam gambar hiasan (wedana gapura renggan) yang mengelilingi teks, tergambar sulur-suluran yang membentuk sepasang kepala kuda. Ini berkaitan dengan kisah Arya Penangsang yang kelabakan karena kuda jantan tunggangannya malah bermesraan dengan kuda betina yang diumpankan pihak Panembahan Senopati.
Karena isi presentasi Bu Ratna ini cukup menarik dan panjang, mungkin aku bakal menuliskannya secara terpisah pada artikel lain. #senyum.lebar
Presentasi Prof. Dr. Inajati Adrisijanti: Peninggalan Arkeologis Kotagede
Pembicara yang terakhir adalah Prof. Dr. Inajati Adrisijanti yang oleh para koleganya akrab disapa dengan nama Bu Poppy. Aku sebetulnya sudah beberapa kali mendengar nama Bu Inajati (dibaca Inayati) disebut-sebut oleh Erwin dalam perjalanan penjelajahan di Kotagede tempo hari.
Pada presentasinya Bu Inajati lebih berfokus menceritakan sejarah Kotagede sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Islam. Apa yang Bu Inajati presentasikan itu tertuang di dalam buku hasil tesisnya yang berjudul “Arkeologi Perkotaan Mataram Islam”. Jujur, selepas pulang dari seminar aku langsung membeli online buku itu, hahaha. #senyum.lebar
Yang menarik dari presentasi Bu Inajati adalah ketika beliau menyinggung asal-muasal nama Kotagede. Dalam pemahamanku selama ini Kotagede berasal dari kata kota dan gede yang apabila digabung berarti kota yang besar (padahal apa ada ya kota kecil? #hehehe). Pemahamanku ini didasarkan pada sejarah Kotagede sebagai ibu kota kerajaan Mataram Islam.
Menurut Bu Inajati, nama Kotagede sebetulnya berasal dari kata Jawa kutha dan gede. Kutha berasal dari kata bahasa Jawa Kuno yang berarti benteng. Jadi, kutha gede memiliki arti benteng yang besar. Sangat masuk akal mengingat hingga saat ini kita masih bisa menjumpai sisa-sisa benteng di Kotagede.
Benteng yang mengelilingi Kotagede didirikan pada masa pemerintahan Panembahan Senopati sesuai anjuran dari Sunan Kalijaga. Benteng tersebut didirikan sebagai ungkapan pemberontakan Panembahan Senopati terhadap Kesultanan Pajang.
Batu bata yang dipakai untuk membangun benteng Kotagede bukanlah batu bata modern seperti sekarang. Ukuran batu bata yang dipakai lebih besar. Proses pembuatannya pun lebih tradisional yaitu dengan dibakar di dalam tungku berbahan bakar kayu yang menghasilkan suhu tinggi. Proses pembuatan batu bata sekarang hanya dibakar menggunakan jerami.
Proses pembuatan batu bata kuno tersebut akan menghasilkan batu bata yang memiliki sifat mengeluarkan lendir perekat (iyit) ketika saling digosokkan. Dengan cara inilah orang-orang pada zaman dulu mendirikan bangunan batu bata tanpa perekat semen.
Pada saat gempa bumi tahun 2006 melanda Yogyakarta, bangunan-bangunan batu bata di Kotagede turut terkena imbasnya. Berdasarkan teknik pelestarian bangunan cagar budaya, batu bata yang digunakan untuk perbaikan harus serupa dengan batu bata tua. Alhasil, batu bata pengganti tersebut harus dipesan pada pengrajin khusus dengan harga (waktu itu) sebesar Rp5.000 per buah (batu bata biasa harganya di bawah Rp1.000).
Selain pertahanan berwujud benteng juga dibangun pertahanan yang berwujud parit. Sayangnya, sekarang ini sebagian besar peninggalan pertahanan tersebut sudah musnah. Padahal, luas wilayah ibu kota Kerajaan Mataram Islam ini mencapai 200 hektar! Kata Bu Inajati, dewasa ini jika kita mencoba mencari peninggalan-peninggalan tersebut bakal mirip seperti pemulung alias hanya bisa “mengais-ngais” sisa-sisanya saja. #sedih
Pertanyaanku pada Sesi Tanya Jawab
Setelah ketiga pembicara menuntaskan presentasinya, Mas Adrian sebagai moderator pun membuka sesi tanya-jawab. Jelas dengan semangat tanganku langsung aku lesatkan ke udara, hahaha. #senyum.lebar
Penanya yang pertama… eh, sebetulnya sih bukan penanya tapi hanyalah seorang mas-mas yang ingin berbagi denah kerajaan untuk ditampilkan di layar proyektor. Tapi sayangnya sampai akhir acara keinginan di mas-mas itu nggak terwujud.
Penanya yang berikutnya adalah seorang ibu undangan dari trah Hamengkubuwono II yang sepertinya belum bisa “move-on” dari Prof. Dr. Djoko Suryo yang mengharamkan referensi dari Babad Tanah Jawi pada tesis yang dahulu ia garap. #hehehe
Penanya yang setelahnya adalah seorang bapak dari Surabaya yang sepertinya meyakini sejarah peradaban Mataram Islam dari versinya sendiri. Perlu diingat bahwa pemahaman akan sejarah itu bisa multitafsir dan untuk mendapatkan hasil yang lebih objektif harus didasarkan pada sejumlah referensi.
Akhirnya aku pun mendapatkan kesempatan bertanya pada giliran kedua sebelum yang terakhir, hahaha. #senyum.lebar
Aku bertanya ke Bu Ratna tentang susahnya memahami sastra-sastra Jawa klasik seperti babad dan serat karena bahasa Jawa yang digunakan nggak umum. Apalagi ketika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia kata-katanya bisa multitafsir (banyak kiasan). Karena itu apa nggak ada badan khusus yang ranahnya adalah mempublikasikan karya sastra Jawa klasik kepada masyarakat umum agar dikenal serta mudah untuk dimengerti?
Bu Ratna kemudian menjawab bahwasanya untuk menerjemahkan babad atau serat itu nggak boleh seenaknya. Nggak boleh diterjemahkan seorang diri dan harus ada diskusi. Itu karena teks-teks Jawa itu penuh dengan kiasan dan simbol. Mau nggak mau untuk menerjemahkan seseorang dituntut untuk mau duduk dan telaten. Harus mau menggali makna kata demi kata menggunakan referensi kamus Jawa ke Jawa. Ya memang usahanya baru sedikit demi sedikit.
Akhir dari Seminar Sejarah Peradaban Mataram Islam
Tanpa terasa waktu sudah semakin bergulir ke pukul satu siang. Tanda bahwa seminar Sejarah Peradaban Mataram Islam akan berakhir. #sedih
Menurutku seminar ini merupakan penutup kegiatan Jelajah Peradaban Mataram Islam yang sangat pas. Banyak ilmu yang bisa digali dari para ahli yang sebagian besar sudah sepuh. Aku berdoa semoga para dosen-dosen UGM ini tetap sehat, diberi umur panjang, dan senantiasa dapat membaktikan ilmu-ilmu mereka kepada Indonesia dan Yogyakarta tercinta. Aaamiin...
Sungguh benar-benar suatu acara yang memperkaya khazanah ilmuku. Terutama ilmu di bidang sejarah yang masih sangat sedikit aku kuasai. Waktu yang hanya 3 jam ini terasa sangat-sangat kurang. Jika mau mempelajari secara lebih lanjut mungkin bisa juga dijadikan mata kuliah seperti:
- Pengantar Peradaban Mataram Islam (3 SKS)
- Sejarah Kotagede (3 SKS)
- Mataram Islam dalam Karya Sastra (3 SKS)
- Seni Bangunan Peradaban Mataram Islam (3 SKS)
- Tokoh Pendiri Mataram Islam (3 SKS)
- dan masih banyak lagi, hahaha. #senyum.lebar
Akhir kata, semoga acara ini dan juga tulisanku ini bisa memantik semangat (khususnya generasi muda) untuk memahami sejarah. Sejarah Yogyakarta yang juga merupakan bagian dari sejarah Indonesia. #senyum
Sampai ketemu lagi di pernak-pernik artikel tentang peradaban Mataram Islam selanjutnya! #senyum.lebar
KATA KUNCI
- adrian fajri
- arya jipang
- arya penangsang
- babad
- babad matawis saha candra nata
- batu bata kotagede
- benteng kotagede
- djoko suryo
- inajati adrisijanti
- islamisasi
- kesultanan mataram islam
- komunitas malam museum
- kotagede
- mataram islam
- paku alam ii
- panembahan senopati
- perpustakaan pura pakualaman
- pura pakualaman
- sejarah
- seminar sejarah peradaban mataram islam
- serat
- sri ratna saktimulya
- ugm
- universitas gadjah mada
- wedana gapura renggan
Surabaya yang
sepertinya meyakini
sejarah peradaban
Mataram Islam dari
versinya sendiri.
Beliau bercerita
bagaimana