Jika menyinggung tempat yang bernama Keraton Yogyakarta, umumnya pikiran akan langsung mengarah ke bangunan antik nan megah yang terletak di pusat Kota Yogyakarta seperti foto di bawah ini.
Ya toh? #senyum
Keraton dan Yogyakarta adalah dua hal yang nggak bisa dipisahkan. Akan tetapi, mungkin nggak semua orang tahu kalau selain bangunan keraton pada foto di atas, di Yogyakarta pernah berdiri tiga keraton, yaitu:
- Keraton Kotagede
- Keraton Kerto
- Keraton Pleret
SILAKAN DIBACA
Keberadaan ketiga keraton tersebut nggak lepas dari peran Yogyakarta sebagai ibu kota Kesultanan Mataram Islam. Kesultanan yang eksis pada rentang tahun 1588 hingga 1755 M ini merupakan cikal bakal lahirnya Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Selain dari laporan yang dibuat oleh pihak Belanda, keberadaan keraton Kesultanan Mataram Islam juga termuat di dalam sejumlah literatur Jawa klasik seperti Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, Babad Momana, dan Babad ing Sangkala.
Sayangnya, pada saat ini bangunan keraton-keraton tersebut sudah lenyap #sedih. Yang tersisa hanyalah sejumlah artefak dan toponim yang masih dikenal oleh masyarakat sekitar.
Keraton Kerto dan Sultan Agung
Salah satu keraton Kesultanan Mataram Islam yang dahulu pernah berdiri adalah Keraton Kerto. Sesuai namanya, keraton ini terletak di Dusun Kerto, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.
Keraton Kerto berjarak sekitar 12 km (selatan) dari pusat Kota Yogyakarta. Salah satu panduan jalan menuju ke Keraton Kerto adalah sebagai berikut.
- Dari pusat Kota Yogyakarta arahkan kendaraan menuju Terminal Giwangan.
- Dari Terminal Giwangan seberangi Ringroad untuk menuju ke Jl. Imogiri Timur.
- Susuri Jl. Imogiri Timur ke selatan sejauh kira-kira 4 km hingga tiba di perempatan Jejeran, Wonokromo.
- Di perempatan ini belok ke arah kiri (timur), lewati Lapangan Wonokromo dan Kantor Desa Pleret, kemudian belok kanan (selatan) ke Jl. Kanggotan di perempatan kecil.
- Susuri Jl. Kanggotan hingga sampai di Situs Keraton Kerto.
Keraton Kerto dibangun atas perintah raja keempat Kesultanan Mataram Islam yang kita kenal dengan nama Sultan Agung. Sosoknya acap kali dipopulerkan lewat buku-buku teks pelajaran sejarah di sekolah.
Sultan Agung adalah putra dari raja kedua Kesultanan Mataram Islam yang bernama Prabu Hanyakrawati. Selepas wafatnya sang prabu, tahta Kesultanan Mataram Islam berpindah ke adik Sultan Agung yang bernama R.M Martapura. Akan tetapi, hanya berselang satu hari tahta Mataram kemudian diserahkan kepada Sultan Agung karena keterbatasan fisik R.M Martapura.
Sultan Agung bertahta di Kesultanan Mataram Islam dari tahun 1613 hingga 1646 M. Pada masa kekuasaannya wilayah Kesultanan Mataram Islam meluas dari Jawa Barat hingga Jawa Timur. Ambisi Sultan Agung adalah menyatukan seluruh Jawa di bawah panji-panji Mataram.
Dari setiap wilayah yang dikuasai, Sultan Agung memerintahkan sebagian penduduknya untuk pindah ke ibu kota Mataram. Oleh sebab itu, wajar jika kiranya perlu dibangun pusat pemerintahan baru yang lebih besar dibandingkan yang sudah terlebih dahulu ada di Kotagede.
Menurut Babad Momana dan Babad ing Sangkala, pada tahun 1617 M lahan di Dusun Kerto mulai dipersiapkan untuk pembangunan keraton yang baru. Pada tahun 1618 M Sultan Agung mulai berkantor di Keraton Kerto walaupun Ibu Suri masih tinggal di Keraton Kotagede.
Pada tahun-tahun selanjutnya, Keraton Kerto turut mengalami penambahan bangunan. Pada tahun 1620 M dibangun balai Prabayaksa. Pada tahun 1625 M dibangun Siti Hinggil.
Menurut para ahli sejarah, lahan luas seperti pada foto di atas diduga merupakan lokasi Siti Hinggil Keraton Kerto. Tempat ini kemudian ditetapkan sebagai Situs Keraton Kerto.
Masyarakat sekitar menyebut lahan luas ini dengan nama lemah dhuwur. Dalam bahasa Jawa, lemah dhuwur merupakan gabungan dua kata ngoko yang memiliki arti tanah (lemah) yang tinggi (dhuwur). Dalam perbendaharaan kata krama inggil, frase siti hinggil memiliki arti yang sama dengan lemah dhuwur. Sesuai nama lemah dhuwur, ketinggian tanah tempat ini memang lebih tinggi dari tanah-tanah di sekelilingnya.
Cerita Umpak Siti Hinggil Keraton Kerto
Didampingi Mas Deni dari Museum Purbakala Pleret, pada hari Sabtu (14/10/2017) silam aku beserta teman-teman Jelajah Peradaban Mataram Islam singgah di Situs Kerto. Terus terang, agenda kunjungan ke Situs Kerto adalah alasan utamaku ikut dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Komunitas Malam Museum ini.
Selain mengulas artefak yang tersisa dari Situs Kerto, Mas Deni dan Erwin (sang founder komunitas Malam Museum) juga bercerita mengenai Sultan Agung serta hubungannya dengan pembangunan Siti Hinggil.
Menurut Babad Momana dan Babad ing Sangkala, Siti Hinggil merupakan bangunan terakhir yang didirikan di kompleks Keraton Kerto. Pembangunan Siti Hinggil Keraton Kerto terinspirasi dari bangunan Siti Hinggil di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Siti Hinggil dibangun untuk merayakan penetapan gelar sultan yang disandang oleh Sultan Agung. Itu karena nggak semua raja berhak menyandang gelar sultan. Proses untuk memperolehnya bisa dibilang cukup berat.
Pada zaman dahulu, setiap raja yang menghendaki gelar sultan wajib mengirimkan utusannya ke Mekkah guna menghadap khalifah yang sedang berkuasa pada saat itu. Setelah sang khalifah menyetujui syarat-syarat yang dibawa oleh sang utusan barulah sang raja berhak menyandang gelar sultan.
Perjuangan sulit juga harus dialami oleh utusan Sultan Agung dalam tugasnya menuju Mekkah. Utusan pertama gagal mencapai Mekkah karena dihalangi Kesultanan Cirebon. Utusan kedua pun juga gagal. Barulah utusan ketiga berhasil mencapai Mekkah dan pulang membawa legitimasi gelar sultan bagi Sultan Agung.
Kembali lagi ke bangunan Siti Hinggil, saat ini peninggalan yang tersisa hanyalah artefak yang berwujud umpak. Umpak merupakan alas untuk dudukan tiang kayu penyangga struktur suatu bangunan.
Umpak Siti Hinggil Keraton Kerto berukuran 85 cm x 85 cm dengan tinggi sekitar 65 cm. Umpak ini terbuat dari batu andesit seperti batu-batu penyusun candi. Dilihat dari ukuran umpak yang lumayan besar bisa dibayangkan betapa besarnya tiang kayu penyangga Siti Hinggil.
Diduga Siti Hinggil Keraton Kerto memiliki empat buah umpak. Sayangnya, kini hanya dua umpak yang berada di lokasi. Satu umpak dipindah menjadi umpak penyangga tiang Masjid Soko Tunggal (letaknya di dekat gapura masuk ke Tamansari). Sedangkan satu umpak lagi konon “menghilang” saat hendak dipindah ke Surakarta.
Hal unik dari umpak-umpak Siti Hinggil Keraton Kerto adalah ukir-ukiran di keempat sisinya. Sepintas ukir-ukiran ini berwujud seperti motif sulur-suluran biasa. Akan tetapi, apabila dicermati ukir-ukiran ini merupakan permainan bentuk dari huruf Arab yaitu huruf mim, ha, dan da yang jika dirangkai bisa membentuk nama Muhammad. #wow
Hal lain yang menarik adalah bentuk pinggiran umpak yang miring. Konon, ini dikarenakan pinggiran umpak sering dimanfaatkan untuk mengasah pisau #doh. Akan tetapi, ada juga yang menduga pinggiran umpak sengaja dibuat miring sebagai jalur lewatnya air hujan yang merembes di tiang.
Kondisi umpak kedua Siti Hinggil Keraton Kerto nggak jauh berbeda dengan umpak pertama. Letak umpak kedua dengan umpak pertama terpisah jarak sekitar 30 meter. Posisi kedua umpak ini nggak simetris sehingga nggak bisa menjadi tolok ukur besarnya bangunan Siti Hinggil Keraton Kerto pada zaman dahulu kala.
Posisi kedua umpak yang nggak simetris ini memunculkan dugaan bahwa dahulu kala kedua umpak ini pernah dipindah dari posisinya semula. Dugaan ini juga didasarkan pada adanya susunan batu bata di dasar umpak pertama (bisa dilihat pada foto) yang mana batu-batu bata tersebut merupakan buatan masa kini.
Keraton Kerto yang Ditinggalkan
Menurut Babad Momana Sultan Agung wafat pada tahun 1646 M. Sepeninggal Sultan Agung, tahta Kesultanan Mataram Islam berpindah ke putranya yang bergelar Amangkurat I.
Sayangnya Amangkurat I nggak berkenan tinggal di Keraton Kerto. Hanya berselang satu tahun selepas wafatnya Sultan Agung, Amangkurat I memindahkan ibu kota Kesultanan Mataram Islam ke Pleret. Di sanalah ia kemudian membangun Keraton Pleret yang kelak menyaingi kemegahan Keraton Kerto.
Seiring dengan berpindahnya pusat pemerintahan ke Pleret, kompleks Keraton Kerto pun pelan-pelan ditinggalkan.
Karena sebagian besar bangunan Keraton Kerto terbuat dari kayu maka nggak menutup kemungkinan kayu-kayu tersebut hancur lapuk termakan zaman. Selain itu, karena sifat bangunan kayu yang mudah dibongkar-pasang ada kemungkinan sejumlah bangunan Keraton Kerto ikut dipindah ke Keraton Pleret. Alhasil, lumrah jika saat ini bangunan Siti Hinggil Keraton Kerto hanya menyisakan tinggalan umpak-umpak batu.
Sayangnya, beberapa orang masih memanfaatkan lokasi Siti Hinggil Keraton Kerto ini sebagai tempat pembuangan sampah #sedih. Di beberapa sudut aku melihat adanya sejumlah sampah plastik yang bertebaran. Kabarnya, dahulu tempat ini juga sempat digunakan sebagai lokasi tambang tanah untuk pembuatan batu bata.
Menyedihkan memang nasib Keraton Kerto. Raja yang membangunnya terkenal namun keraton jejak kemahsyurannya lenyap dengan meninggalkan segelintir sisa. #sedih
Yah, semoga di masa mendatang datang kabar yang menggembirakan dari Situs Keraton Kerto. Semoga...
Sumber teks pendukung:
Serat Babad Momana
Adrisijanti, Inajati, 2000, "Arkeologi Perkotaan Mataram Islam", Jendela, Yogyakarta.
Btw .. paling tidak masih tersisa secuil bukti Keraton Kerto ..
-Traveler Paruh Waktu