HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Nasi Rames Simbah Putri di Dekat Jembatan Duwet

Selasa, 17 Oktober 2017, 03:01 WIB

Perjalanan bersepeda menyusuri Selokan Mataram pada Rabu pagi (3/5/2017) silam menggiringku ke Desa Bligo di Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

 

Sebagaimana kebiasaan yang sudah-sudah, aku berangkat tanpa sarapan. Alhasil, di tengah-tengah perjalanan perutku tiba-tiba mulai berorkestra. Itu pertanda minta untuk diisi nasi. #belum.makan.kalau.belum.makan.nasi #hehehe

 

Aku pun merengek-rengek ke Mbah Gundul, minta berhenti buat sarapan. Sebagai pemegang komando, Mbah Gundul mengajukan usul sarapan di warung nila duri lunak-nya Mbah Juri. Akan tetapi, jelas usulnya itu aku TOLAK!

 

Gimana sih Mbah Gundul ini? Masak pagi-pagi perut sudah dijejali nasi plus satu nila utuh? Perjalanan kan masih berat panjang! Nanti kalau aku kebelet ngendog di tengah tanjakan antah-berantah piye? #eh

 

 

Ndilalah, sebelum menyeberangi Jembatan Duwet, kami melihat sesosok simbah putri. Beliau menjajakan nasi rames di serambi rumahnya.

 

Mulanya kami nggak menggubris kehadiran sosok simbah putri. Tapi, selang 1-2 meter setelah melewati simbah putri Mbah Gundul menghentikan sepedanya. Dia berubah pikiran. Dia mengajak aku sarapan nasi ramesnya simbah putri.

 

Pikirku ya mau sarapan di mana lagi? Di sepanjang jalan tadi kan jarang ada warung makan. Apalagi Mbah Gundul lumayan “selektif” perkara makanan. Kalau aku sih, selama itu masih makanan halal it's okay lah. #hehehe

 

 

Duduk di atas lincak, simbah putri menggelar segala macam perabotan nasi rames. Berbagai baskom dan nampan dalam berbagai bentuk dan ukuran memancing rasa penasaran. Tanpa malu-malu aku mengintip isinya.

 

Ada tahu bacem.

Ada tempe bacem.

Ada opor.

Ada telur.

Ada sayur tumis buncis.

Ada sayur tempe.

Ada mie goreng.

 

Dan ada gorengan! #senyum.lebar

 

Apa yang dijajakan oleh simbah putri adalah beragam olahan lauk-pauk khas desa. Benar-benar menggungah selera dan menerbitkan air liur hingga berjilid-jilid. NYAMMM!

 

 

Tapi... walaupun berbagai lauk-pauk terlihat sangat menggugah selera, aku nggak kemudian menjadi kalap. Ingat! Perjalanan masih panjang! Masih banyak tanjakan yang menanti! #eh

 

Maka dari itu, kepada simbah putri aku meminta sepiring nasi setengah porsi. Ditambah dengan seciduk kecil sayur buncis, sayur tempe dan sepotong tempe bacem. Sepotong gorengan hangat turut kucomot dari nampan.

 

 

Dan aku kena jackpot! #senyum.lebar

 

Gorengan yang aku comot jebul bukan bakwan! Tapi ketela goreng! Rasanya jelas manis. Eh, ada gurihnya juga sih sedikit. #hehehe

 

Agak aneh rasanya menyantap nasi rames dengan gorengan manis. Tapi ya karena lapar dan gorengannya (insyaAllah) masih tergolong makanan halal ya... sikat bleh! #senyum.lebar

 

 

Duduk di bangku panjang di samping lincak, aku dan Mbah Gundul telap-telop menyantap nasi rames. Berbeda denganku, nasi ramesnya Mbah Gundul tergolong berat. Dia memilih telur opor sebagai lauk.

 

Hmmm, aku baru tahu ternyata si Mbah Gundul mau makan telur ayam juga. #hehehe

 

 

Sambil menikmati sepiring nasi rames, tak lupa kami ngobrol dengan simbah putri.

 

Simbah putri cerita, beliau sudah lama berjualan nasi rames. Bahan-bahan masaknya ia beli dari pasar. Katanya di dekat sini ada tiga pasar. Salah satu cucunya mengikuti jejaknya berjualan nasi rames di pasar.

 

Menjelang zuhur, biasanya dagangan nasi rames simbah putri sudah habis. Tapi nggak jarang sampai sore juga masih sisa banyak. Kalau masih bersisa kadang diberikan ke anaknya, ke cucunya, atau tetangganya.

 

 

Nggak terasa isi sepiring nasi rames sudah terpindah seluruhnya ke dalam perut. Tanda bahwa perjalanan bersepeda harus segera dilanjutkan kembali.

 

Pas mau membayar, aku dan Mbah Gundul dikejutkan oleh jumlah uang yang mesti kami bayarkan. Kami sampai harus memastikan ke simbah putri bahwa dua piring nasi rames yang kami santap ditambah segelas teh tawar dan air putih berharga total Rp7.000!

 

 

Ya, tujuh ribu rupiah untuk dua piring nasi rames plus minum.

 

Dengan matematika sederhana, satu piring nasi rames dan minum harganya ya Rp3.500!

 

Murahnya kebangetan nggak sih?

 

 

Seperti biasa, aku nanya pendapatnya Mbah Gundul perihal nasi rames simbah putri. Mbah Gundul memuji nasi ramesnya itu. Nasinya pulen dan rasanya enak. Dengan harga sepiring nasi rames yang semurah itu bahan yang dipakai ternyata nggak berkualitas rendah.

 

Aku sempat bertanya apa dengan harga yang semurah itu simbah putri nggak rugi? Mbah Gundul bilang kalau rugi ya ngapain beliau tetap jualan? Mungkin ya untungnya sedikit. Kalau harganya dinaikkan boleh jadi pelanggannya bakal lari.

 

 

Sepanjang kami bersantap di sana, umumnya orang-orang membeli nasi rames untuk dibungkus (istilah sana: dibuntel). Aku menebak, para pembeli ini umumnya adalah petani. Bisa jadi karena pagi-pagi ke sawah jadinya nggak sempat masak. Terus, beli nasi ramesnya simbah putri deh. #senyum

 

Sesekali ya ada juga tetangga simbah putri yang mampir. Ada yang membeli, ada juga yang numpang ngobrol. Simbah putri juga kerap bertegur sapa dengan orang-orang yang melintas. Suasananya kekeluargaan sekali lah pokoknya. Khas di pedesaan. #senyum

 

 

Sebelum melanjutkan perjalanan menyeberangi Jembatan Duwet, tak lupa kami berpamitan dengan simbah putri.

 

Dari wilayah Magelang di Jawa Tengah kami berpindah ke wilayah Kulon Progo di Yogyakarta. Petualangan yang sesungguhnya baru akan dimulai.

 

Semoga simbah putri tetap sehat.

Semoga simbah putri senantiasa diparingi rezeki yang baik oleh Gusti Allah SWT.

Semoga suatu saat aku bisa singgah lagi untuk sarapan nasi ramesnya simbah putri.

 

Aamiin....

NIMBRUNG DI SINI