HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Jadi Ini Toh Isi Rumah Pocong Kotagede

Rabu, 4 Oktober 2017, 03:00 WIB

Pada umumnya, orang-orang mengenal Kotagede sebagai pusat pengrajin perak di Yogyakarta.

 

Syukur-syukur kalau masih ingat Kotagede sebagai bekas ibu kota pertama Kesultanan Mataram Islam. #hehehe

 

Kalau aku sendiri akrab mengenal Kotagede sebagai tempatnya

 

 

Oh iya, sama satu rumah “legendaris” bernama Rumah Pocong!

 

PERHATIAN!

Demi kebaikan bersama, JANGAN COBA-COBA memasuki kawasan Rumah Pocong tanpa didampingi oleh Bapak Juru Rawat! SERIUS INI!

 

Rumah Pocong sebetulnya adalah sebutan lain bagi rumah tua bernomor 197 yang terletak di RW02, RT09, Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Karena letaknya di Banguntapan, ada juga yang menyebut rumah ini sebagai Rumah Pocong Banguntapan.

 

Eh iya, bagi Pembaca yang belum tahu, sebagian kawasan Kotagede itu masuk wilayah Kabupaten Bantul dan sebagiannya lagi masuk wilayah Kota Yogyakarta. #senyum

 

Letak Rumah Pocong itu berada di Gang Soka. Satu gang dengan Rumah Rudy Pesik dan Pos Malang. Kalau dari Pos Malang ya sekitar 10 meter di utaranya lah. Timur jalan.  

 

 

Seperti yang bisa ditebak. Rumah Pocong mendapat julukan seperti itu karena kabarnya di sana kerap muncul penampakan pocong! Kalau nggak percaya monggo tanya warga sekitar. #hehehe

 

Pocong yang kerap tampil di Rumah Pocong dikenal dengan nama Pocong Sumi. Pocong Sumi ini unik karena dia wanita. Hobinya ngikik seperti Mbak Kunti. Teras depan rumah adalah tempat nongkrong favoritnya.

 

Katanya lagi, sebetulnya penghuni Rumah Pocong itu nggak hanya Mbak Pocong Sumi! Buuuanyak makhluk gaib dengan bermacam wujud yang ikut menghuni Rumah Pocong! Hiii....

 

Oleh sebab itu, nggak heran kalau Rumah Pocong dinobatkan sebagai salah satu rumah angker di Kotagede. Salah duanya adalah Omah Kanthil.

 

 

 

Aku pribadi sebetulnya sudah lama tahu keberadaan Rumah Pocong. Ya sekitar tahun 2009 – 2010 lah, pas masih rajin bersepeda malam (night ride) muter-muter “labirin” Kotagede. Tapi, waktu itu seringnya gerbang Rumah Pocong digembok. Jadinya ya cuma bisa memandang dari luar deh.

 

Nah, Minggu pagi (10/9/2017) yang lalu aku bersepeda lewat depan Rumah Pocong. Eeeh, kebetulan banget gerbang Rumah Pocong terbuka! Jadinya bisa masuk dong! #senyum.lebar

 

Kesempatan yang teramat sangat langka ini jelas nggak disia-siakan! Apalagi waktu itu aku bersepedanya nggak sendirian. Ada Goes Moakh dan juga penasihat spiritual SPSS, Ki Ageng Sekar Jagad alias Mbah Gundul. #pawang.gaib

 

Pengumuman! Kabar Terbaru!

Untuk mengetahui kisah Rumah Pocong sesuai yang dituturkan oleh pemilik rumah yang juga pernah menempati rumah tersebut, silakan Pembaca klik tautan di bawah ini.

 

 

Di Halaman Depan Rumah Pocong

Sebelum masuk ke Rumah Pocong, kami (yang diwakilkan Mbah Gundul #hehehe) meminta izin dulu kepada pak juru rawat yang bernama Pak Nono. Kebetulan waktu itu beliau sedang mengecat tembok pagar depan. Pantas saja gerbangnya dibuka.

 

Dengan ramah Pak Nono mempersilakan kami masuk. Kata beliau, sepedanya dibawa masuk saja sekalian. Jadilah sepeda diangkat masuk ke halaman Rumah Pocong. Itu karena permukaan halaman Rumah Pocong lebih tinggi dari permukaan jalan Gang Soka. Beda ketinggiannya kira-kira setengah meter lah.

 

Aku terkesima saat melihat halaman depan Rumah Pocong. Kondisinya lumayan bersih dari semak belukar dan rumput-rumput liar. Sangat jauh dari bayangan halaman rumah tua yang nggak berpenghuni dan nggak terawat.

 

 

Setelah memarkirkan sepeda kami kemudian duduk-duduk di bangku taman. Bangku tamannya terbuat dari kayu dan bercat putih. Selaras banget dengan aksen rumah antik.

 

Kami duduk menghadap meja taman berbentuk segi empat. Bagian tengah meja dibuat bolong. Di bolongan itu tumbuh pohon pepaya yang sudah agak tinggi. Sebagai pemanis, Pak Nono menghias batang pohon pepaya dengan sulur dan daun imitasi.

 

Selain sulur dan daun imitasi, sejumlah cangkir antik turut menghiasi meja taman. Rasa-rasanya, kami seperti sedang menghadiri jamuan minum teh di kebun (garden tea party) ala-ala meneer-meneer londo. #senyum.lebar

 

Coba saja kalau cangkir-cangkirnya beneran berisi teh dan ada suguhan sepiring camilan, hahaha. #senyum.lebar

 

 

Audiensi dengan Pak Nono pun dimulai. Beliau meninggalkan sejenak kegiatan mengecat tembok. Dari Pak Nono mengalirlah cerita tentang Rumah Pocong.

 

Rumah Pocong dulunya adalah rumah milik orang Kalang, saudagar-saudagar pribumi kaya yang pada zaman Belanda banyak bermukim di Kotagede. Rumah ini diperkirakan dibangun pada awal tahun 1900-an (dugaanku sih tahun 1920-an). Sayang, nggak ada dokumen atau jejak yang menunjukkan tahun pembangunan dan juga pemilik aslinya. #sedih

 

Saat ini Rumah Pocong dimiliki oleh salah seorang juragan bakpia Patuk. Kondisinya memang nggak terawat karena si juragan ini sudah sepuh dan anak-anaknya nggak ada yang berminat tinggal di sana.

 

Yang membuat miris, Pak Nono merawat Rumah Pocong tanpa sokongan dana dari pemilik rumah #sedih. Dana untuk perawatan rumah diperolehnya dari kotak sumbangan pengunjung.

 

 

Pak Nono cerita kalau Rumah Pocong sudah berkali-kali diliput Trans TV. Pernah juga jadi lokasi uji nyali. Harry Pantja (host acara Dunia Lain) bahkan sampai nyerah.

 

Kata Pak Nono, selain tenar dengan Pocong Sumi, di halaman belakang rumah juga banyak dihuni oleh kera-kera putih. Katanya lagi, di dalam rumah kondisinya lebih “ramai” dari di halaman. Ramainya di dalam rumah kalau diibaratkan seperti Jalan Malioboro lah.

 

Wew...tenane Pak? #hehehe

 

Di Halaman Belakang Rumah Pocong

Puas melihat-lihat halaman depan, Pak Nono mengajak kami menyambangi halaman belakang. Sebenarnya, halaman depan dan halaman belakang tersambung oleh gang. Tapi Pak Nono memandu kami lewat pintu samping. Pintu samping ini letaknya di luar rumah. Mungkin dulunya untuk masuk-keluarnya asisten rumah tangga.  

 

 

Terhubung dengan pintu samping adalah ruangan kecil tanpa atap. Di ruangan ini juga terpajang patung-patung dan ular-ularan. Sebenarnya, sejak di halaman depan tadi perhatianku sudah tersita dengan banyaknya pajangan patung dan topeng yang bentuknya aneh-aneh.

 

Ternyata, Pak Nono ini seorang seniman! Seluruh pajangan yang aneh-aneh itu adalah hasil karya beliau! Boleh dibilang, halaman Rumah Pocong itu ibarat galeri seni Pak Nono.

 

Dalam berkarya Pak Nono banyak memanfaatkan bahan-bahan sisa. Misalnya bonggol rumpun bambu ia sulap menjadi topeng. Selang AC ia bentuk jadi ular-ularan. Kayu-kayu bekas ia ukir jadi patung. Hasil karyanya cenderung bertemakan suku primitif.

 

 

Tapi sayang, menurutku karya seninya Pak Nono ini kurang cocok kalau dipajang di Rumah Pocong. Tema karya seni beliau (maaf) terasa nggak nyambung dengan image rumah antik yang menjadi markasnya pocong and the gank.

 

Menurutku, lebih baik jika karya-karya seni Pak Nono lebih menonjolkan ekspresi kematian yang didominasi warna putih. Ya, misal pakai kain kafan gitu. #hehehe #horor.banget

 

Eh, aku iseng-iseng nanya ke Pak Nono, apakah “penghuni” Rumah Pocong ada yang “protes” dengan hasil karya seni beliau. Pak Nono bilang sejauh ini sih nggak ada yang protes.

 

Hmmm, selera seninya makhluk hidup dengan makhluk gaib beda kali ya? #senyum.lebar

 

 

Wujud halaman belakang Rumah Pocong ternyata bertolak-belakang dengan halaman depan. Rumput liar dan semak belukar tumbuh dengan subur. Ada juga pohon petai cina yang berukuran besar (mungkin ini tempat nongkrongnya kera-kera putih).

 

Di halaman belakang aku juga melihat sisa-sisa bangunan kamar mandi dan dapur. Tapi, aku nggak mendekat ke sana karena malas menerjang semak. Kata Mbah Gundul, kamar mandi dan dapur rumah zaman dulu umumnya memang terpisah dengan bangunan utama.

 

 

Serupa seperti halaman depan, di halaman belakang Rumah Pocong juga terdapat teras. Di teras belakang ini terdapat pintu masuk ke dalam rumah. Sayangnya, pintunya dirantai gembok. #sedih

 

Aku perhatikan teras belakang ini lumayan luas. Dalam bayanganku, mungkin dulu di sini ditempatkan meja dan kursi makan. Mungkin juga ada kursi-kursi santai yang dipakai penghuni rumah untuk menikmati asrinya halaman belakang. Ah aku jadi penasaran, suasana halaman belakang Rumah Pocong dulu seperti apa ya?

 

Sekarang sih teras belakang Rumah Pocong malah digunakan Pak Nono untuk tempat memajang karya seninya yang berwujud laba-laba hitam raksasa. Mungkin kalau malam itu laba-laba bisa keluyuran gitu ya? Hahaha. #senyum.lebar

 

 

Halaman belakang Rumah Pocong diapit oleh dua gang. Kedua gang ini menghubungkan halaman belakang dengan halaman depan.

 

Di muka gang di sisi barat terdapat pintu yang membatasi akses ke halaman depan. Mungkin itu karena gang di sisi barat berbatasan langsung dengan tembok pagar depan. Jadinya, kalau nggak dipasangi pintu, orang dari Gang Soka bisa melompati tembok pagar depan buat masuk ke halaman belakang rumah.

 

Sedangkan di muka gang di sisi timur terdapat sumur. Mbah Gundul sejak tadi sudah penasaran sama sumur ini. Dirinya mengaku pernah menyambangi sumur ini malam-malam #kurang.kerjaan.banget. Ternyata, sampai sekarang sumurnya masih mengeluarkan air lho!

 

 

Melewati gang di sisi timur, kami berpindah dari halaman belakang ke halaman depan rumah. Hooo, rupanya seperti itu toh bagian luar Rumah Pocong. Ternyata, ya... cuma begitu saja. Hahaha. #senyum.lebar

 

Tapi, rasanya masih ada yang kurang....

 

Di Dalam Rumah Pocong

Sudah pasti!

 

Kurang komplit masuk ke Rumah Pocong kalau hanya menjamah bagian luar kan? Nah, ayo masuk ke dalam rumah! #senyum.lebar

 

 

Aku merengek ke Mbah Gundul supaya dirinya mau menghampiri Pak Nono untuk membuka pintu utama Rumah Pocong. Soalnya, pintu utamanya juga terantai gembok.

 

Pak Nono sendiri pada waktu itu sudah kembali mengecat tembok pagar depan. Agak kaget juga sih beliau pas tahu kami mau masuk ke dalam Rumah Pocong. Tapi, demi pengunjung yang penasaran ini, beliau pun sekali lagi meninggalkan peralatan mengecat dan membuka rantai gembok yang melilit pintu utama. #matur.nuwun.ya.pak #maaf.ngerepoti

 

Ada yang aneh dengan gelagat Pak Nono sebelum beliau membuka pintu utama. Pak Nono cukup lama terdiam sembari tangannya ditempelkan di daun pintu. Sepertinya, beliau sedang berdoa atau berkomunikasi dengan “penghuni” rumah bahwa ada tiga pejantan kurang gawean yang hendak bertamu. #hehehe

 

 

Sebelum memandu kami memasuki rumah, Pak Nono mewanti-wanti bahwa di dalam Rumah Pocong hawanya “nggak enak”. Aku sendiri malah sudah sejak lama mengumpulkan recehan nyali semenjak beliau ngomong kalau di dalam rumah “ramai”-nya mirip Jalan Malioboro. #senyum.lebar

 

Tanpa berlama-lama lagi, pintu utama Rumah Pocong pun terbuka.

Pak Nono masuk.
Disusul Mbah Gundul.
Kemudian aku.
Diakhiri Goes Moakh.

 

Dan ternyata....

 

Hmmm....

 

Biasa aja tuh! #senyum.lebar

 

 

Hooo... jadi ini toh isi Rumah Pocong? Jujur ya, buatku hawa di dalam rumah masih lebih bersahabat dibanding rumah nomor D-7 yang menjadi tempat bernaungnya Museum UGM. #hehehe

 

Memang sih di dalam Rumah Pocong hawanya agak pengap dan sumpek. Tapi aku berpikir positif saja kalau itu karena sirkulasi udara yang nggak lancar. Jendela-jendela dan pintu-pintunya boleh jadi sudah lama banget nggak pernah dibuka.

 

Selain itu, bayangan awalku tentang bagian dalam Rumah Pocong juga meleset. Aku kira di dalam Rumah Pocong itu penuh perabot-perabot antik yang berdebu. Eh ternyata, di dalam Rumah Pocong nggak ada perabot antiknya blas! Hanya ada tumpukan kayu dan gulungan spanduk.  

 

Aku juga nggak menyangka kalau ternyata Rumah Pocong lumayan kecil. Di dalam hanya ada 2 kamar. Aku malah sempat membantin,

 

“Wah, ternyata kecil ya rumahnya? Nggak capek ini ngepel lantainya!”

 

Hahahaha. #senyum.lebar

 

 

Dari ruang tengah aku menyapukan pandangan ke sekeliling sudut Rumah Pocong. Aku perhatikan ada alur-alur tambalan semen di sejumlah dinding. Dari bekasnya seperti sih tambalan baru. Mbah Gundul menduga kalau tambalan semen itu untuk memperbaiki dinding yang retak pasca gempa bumi tahun 2006 silam.

 

Perhatianku lalu beralih ke kaca patri dan tegel yang menghiasi Rumah Pocong. Walaupun motifnya terbilang sederhana, kondisi kaca patri yang melekat di daun jendela relatif baik. Demikian juga dengan tegelnya. Tegel pada lantai bermotif daun dan sulur-suluran yang kompleks. Tegel ini berbentuk persegi dengan panjang sisi sekitar 20 cm.

 

 

Langit-langit Rumah Pocong juga nggak luput dari pengamatanku. Aku agak heran, kenapa langit-langit rumah dibiarkan terbuka tanpa plafon? Apakah plafonnya sudah keropos dan rubuh? Ataukah Rumah Pocong ini memang dibangun tanpa plafon?

 

Aku perhatikan beberapa kayu penyangga atap kondisinya masih baru. Hmmm, apa dulu mungkin pernah diganti ya? Mungkin selepas gempa bumi tahun 2006 itu?

 

Jika dibandingkan dengan rumah modern, langit-langit Rumah Pocong boleh dibilang lebih tinggi. Di bagian tengah rumah langit-langitnya lebih tinggi. Desain yang seperti ini bikin aku teringat dengan atap rumah joglo.

 

Eh, kabarnya sih langit-langit Rumah Pocong ini jadi tempat nongkrong favoritnya Mbak-Mbak Kunti. #hehehe

 

 

“Mau masuk kamar?”

 

Pertanyaan yang diajukan Pak Nono itu jelas kami sambut dengan antusias. Seperti yang sudah aku singgung, di dalam Rumah Pocong ada 2 kamar. Letak kedua kamar ini berseberangan. Yang satu di barat dan yang satunya lagi di timur. Gang pemisah kedua kamar ini terhubung dengan pintu ke teras belakang.

 

Pak Nono kemudian memandu kami ke pintu kamar timur. Lagi-lagi, sebelum membuka pintu beliau terdiam cukup lama dengan tangan menempel di daun pintu. Selang beberapa saat, Pak Nono membuka pintu dan kami dipersilakan masuk. Mbah Gundul masuk terlebih dulu lalu diikuti aku.

 

Dari dekat pintu aku mengamati isi ruangan kamar timur. Serupa dengan ruang tengah, kamar timur ini pun kosong tanpa perabot. Hanya ada satu wastafel yang menempel di dinding sebagaimana lazimnya kamar-kamar rumah zaman dulu.

 

Jika dibandingkan ruang tengah, aku merasa hawa di kamar timur ini lebih pengap. Boleh jadi karena luas ruangannya lebih kecil, sekitar 3,5 x 3,5 meter. Lagipula, langit-langitnya tertutup plafon.

 

Hal yang bikin aku agak tercekat saat melihat isi kamar timur ini adalah pancaran sinar matahari yang menerobos atap dan menerangi sudut ruangan. Sepintas sih fotogenik. Tapi, perasaanku bilang seperti ada “sesuatu” yang berada di situ. Rasa-rasanya, “sesuatu” itu dikurung di kamar timur. #mistis

 

 

Nah, itu tadi suasana di dalam kamar timur. Sedangkan untuk kamar baratnya kami nggak masuk karena pintunya nggak bisa dibuka. Jadi ya asumsikan saja kalau isi ruangan kamar barat itu mirip dengan kamar timur. #senyum

 

Saat aku berada di gang dan hendak kembali ke ruang tengah, Goes Moakh tiba-tiba bertanya,

 

“Wis, kamu mencium bau harum nggak?”

 

Eh!?

 

Bau harum!?

 

Sepintas sih memang aku mencium bau harum. Tapi cuma sekelebatan dan agak samar. Pikirku, mungkin di dalam kamar barat yang terkunci itu ada dupanya. Tapi ya masak Pak Nono masang dupa?

 

Eh, apa mungkin “penghuni” kamar timur atau kamar barat itu barusan lewat? Atau mungkinkah yang lewat itu si “dia” penghuni kamar depan?

 

Tentang Kamar Depan Rumah Pocong

Rumah Pocong memang terkenal karena penampakan Pocong Sumi dan dhemit-dhemit lain. Walaupun demikian, ada satu tempat di Rumah Pocong yang menurutku paling memancarkan aura misterius nan mistis. Tempat tersebut adalah kamar di bagian depan rumah.

 

Pintu masuk ke kamar depan Rumah Pocong terletak di teras depan di dekat meteran listrik PLN. Kamar depan ini nggak terhubung dengan bagian dalam rumah.

 

Aku jadi lumayan penasaran dengan fungsi kamar depan Rumah Pocong. Mbah Gundul menduga kamar depan itu dulunya kamar tamu atau kamar kerja. Yang jelas, bukan kamar utama penghuni rumah.

 

 

Yang membuat kamar depan Rumah Pocong ini misterius adalah pintu yang selalu terkunci dan ada tulisan larangan bahaya masuk di daun pintu. Pak Nono bilang sejak awal beliau merawat tempat ini, kamar depan itu sudah terkunci dan terlarang untuk dimasuki. Beliau ya kurang paham asal-usulnya kenapa bisa begitu.

 

Terus-terang, hal yang pertama terbesit di benakku adalah kamar depan Rumah Pocong ini digunakan untuk mengurung makhluk gaib yang cukup kuat, hahaha. #senyum.lebar

 

Tapi, kalau mau berpikir positif, bisa jadi larangan masuk ke kamar depan Rumah Pocong ini karena isi kamar membahayakan. Mungkin kayu langit-langitnya keropos dan rawan rubuh? Mungkin di dalamnya jadi sarang hewan buas macam ular? Mungkin juga sih jadi tempat menyimpan perabot rumah yang rawan rusak. #senyum

 

 

Misteri kamar depan Rumah Pocong ini juga pernah ditelisik oleh seorang paranormal pada tayangan televisi Mister Tukul Jalan-Jalan. Katanya, kamar depan ini dihuni oleh sesosok wanita yang (maaf)  mengalami luka pada bagian dadanya. Sepertinya dia wafat dengan cara yang mengenaskan. Oleh sebab itu, kamar depan pun turut memancarkan aura kesedihan yang mendalam.

 

Entah benar atau nggak, yang jelas selama kamar depan itu masih terkunci rapat, dugaan-dugaan ngalor-ngidul serba imajinatif bakal tetap bermunculan. #senyum

 

Rumah Pocong Masa Kini dan Masa Mendatang

Jadi, setelah bisa masuk ke dalam Rumah Pocong, ternyata Rumah Pocong itu nggak seangker yang aku duga. #senyum.lebar

 

Terlepas dari mitos angker yang menjadi buah bibir, buatku Rumah Pocong adalah bangunan tua yang menarik. Sebagai salah satu bangunan cagar budaya (apa sudah didaftarkan di BPCB ya?), aku sangat berharap Rumah Pocong nggak dirubuhkan sehingga bisa menjadi bahan kajian bagi generasi mendatang.

 

Aku berandai-andai. Semisal aku pemilik Rumah Pocong dan dikaruniai cukup uang, aku bakal mengerahkan orang untuk membersihkan rumah (menyiangi rumput, mengecat tembok, mengepel lantai, dll) supaya Rumah Pocong lebih manis dipandang mata. Terus terang, kalau memang Rumah Pocong ini nggak angker, aku mau lho tinggal di sana. #senyum.lebar

 

Sedangkan Mbah Gundul kepikiran menjadikan Rumah Pocong sebagai kafe. Tapi ya ide itu terkendala perkara tempat parkir. Untuk menaikkan sepeda motor ke halaman jelas butuh perjuangan. Mobil jelas nggak bisa masuk. #hehehe

 

Kata Pak Nono, saat ini umumnya pengunjung Rumah Pocong menjadikan tempat ini sebagai lokasi foto-foto. Ya, wajar sih soalnya di Jogja kan jarang ada rumah tua yang dihias dengan patung dan topeng nyentrik, hahaha. #senyum.lebar

 

 

Nggak seberapa lama setelah melihat-lihat bagian dalam Rumah Pocong, kami pun memohon izin pamit. Pak Nono sama-sama menyudahi mengecat tembok pagar depan. Beliau hendak bersiap menjadi petugas parkir di acara nikahan yang bertempat di Balai Desa Jagalan.

 

Eh, iya! Katanya Pak Nono, biaya sewa Balai Desa Jagalan itu Rp1.000.000 yang dipatok sama untuk warga dan non-warga. Murah toh? #senyum.lebar

 

 

Di perjalanan pulang, aku meminta pendapat Mbah Gundul tentang Rumah Pocong. Terutama kenapa aku merasanya biasa-biasa saja di dalam rumah?. Lha, katanya ramainya mirip Jalan Malioboro? #hehehe

 

Mbah Gundul bilang itu tadi karena datangnya pas siang. Jadi ya kurang “terasa”. Coba datangnya pas malam hari atau malah di malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon. Mungkin di dalam rumah ramainya benar-benar seperti Jalan Malioboro pas musim libur lebaran, hehehe. #senyum.lebar

 

Yang jelas, kalau Mbah Gundul ngajak masuk ke Rumah Pocong malam-malam, aku mending memilih menunggu di luar saja deh! Eh? Tapi nanti malah dihampiri sosok Mbah Malang sang "penunggu" Pos Malang.

 

Duh... serba salah jadinya.... #hehehe

NIMBRUNG DI SINI