Sudah tiga belas tahun aku numpang tinggal di Yogyakarta. Selama itu aku sudah keliaran menyambangi berbagai macam tempat. Dari tempat yang semua orang tahu, sampai tempat yang (dulu) hanya segelintir orang yang tahu. #senyum
Walaupun selama bertahun-tahun itu aku sudah keluyuran ke sana-sini, masih saja ada tempat yang sama sekali belum pernah aku sambangi. Misalnya, Kecamatan Lendah di Kabupaten Kulon Progo.
Terus terang, pengetahuanku tentang Lendah serba minim. Hanya sebatas informasi di Wikipedia bahwa Lendah merupakan satu dari dua belas kecamatan yang ada di Kulon Progo.
Jika melirik peta di atas, posisi Kecamatan Lendah sebetulnya hanya di seberang barat Kali Progo. Medan jalan ke sana sepertinya lebih landai daripada rentetan tanjakan ke Kecamatan Samigaluh #hehehe #eh. Jadinya, bersepeda ke Lendah sepertinya bukan masalah berat.
Nah, maka dari itu, pada hari Minggu pagi (23/7/2017), aku menyusun rencana bersepeda ke Lendah. Niatnya sih hanya sekedar kenalan. Bukan buat blusukan mencari objek wisata menarik seperti yang tampil di laman pencarian Google. #hehehe
Sepanjang Jalan Raya Jogja – Wates
Ada banyak jalan yang bisa digunakan untuk mencapai Lendah. Bisa lewat jalan raya maupun jalan air alias naik gethek menyeberang Kali Progo. #senyum.lebar
Pada waktu itu, aku memilih ke Lendah lewat jalan raya. Untuk akses jalan raya bisa dari sisi utara atau selatan. Kalau dari sisi utara lewatnya Jl. Raya Jogja – Wates. Sedangkan kalau dari sisi selatan lewatnya Jl. Raya Srandakan – Wates.
Berhubung dari rumah lebih dekat ke Jl. Raya Jogja – Wates, jadi aku memilih menuju Lendah dari sisi utara. Untung waktu itu hari Minggu pagi, jadi Jl. Raya Jogja – Wates lumayan sepi dari kendaraan bongsor. Kalau suasananya sepi, menurutku bersepeda di Jl. Raya Jogja – Wates lebih asyik dibanding di Jl. Raya Jogja – Solo. Pemandangannya lebih banyak sawah. #senyum.lebar
Alhamdulillah, perjalanan dari rumah menyusuri Jl. Raya Jogja – Wates berlangsung lancar. Nggak ada kejadian istimewa di perjalanan. Walaupun ya sempat deg-degan juga sewaktu melintas di depan Kantor Polsek Sedayu sebab mendadak teringat sama musibah itu. #sedih
Satu-satunya pemandangan di jalan yang cukup menarik adalah proyek pembongkaran lantai Jembatan Bantar II yang fotonya seperti di bawah ini.
Jembatan Bantar merupakan jembatan yang melintang di atas Kali Progo dan berada di ruas Jl. Raya Jogja – Wates km 15. Jembatan Bantar menghubungkan Kecamatan Sedayu, Bantul dan Kecamatan Sentolo, Kulon Progo.
Jembatan Bantar merupakan nama umum untuk menyebut kumpulan tiga jembatan yang saling berdekatan. Untuk membedakan, tiga jembatan tersebut diberi nama Jembatan Bantar I, II, dan III. Jembatan Bantar II (yang lantainya sedang dibongkar itu) berjenis jembatan rangka besi (truss bridge) yang selesai dibangun pada tahun 1989. Weh, sudah lama juga ya? #senyum.lebar
Puas memotret-motret Jembatan Bantar II, aku pun melanjutkan perjalanan menyusuri Jl. Raya Jogja – Wates. Selepas menyeberangi Jembatan Bantar berpindahlah aku ke wilayah Kabupaten Kulon Progo. Yey! #senyum.lebar
Rencana awalnya sih aku berniat nyari sarapan di sepanjang Jl. Raya Jogja – Wates. Tapi ternyata, Jl. Raya Jogja – Wates masih sama seperti dulu alias minim warung di pinggir jalan yang buka menjual sarapan #sedih. Akhirnya, aku mampir sebentar di minimarket di seberang pertigaan Jl. Sentolo – Pengasih buat beli susu. #minuman.favorit
Setelah meneguk habis sekotak susu 200 ml aku lanjut lagi bersepeda. Sekitar 1 km dari minimarket ketemulah pertigaan yang dijaga lampu lalu lintas. Di papan hijau Dishubkominfo dekat pertigaan tersebut tertera arah menuju ke Bantul dan Brosot.
Nah, itulah cabang jalan yang aku pilih untuk menuju Lendah. Cabang jalan ini dikenal juga sebagai Jl. Sentolo – Brosot. #senyum.lebar
Menyusuri Sisi Barat Kali Progo
Sebenarnya, Jl. Sentolo – Brosot ini nggak asing buatku. Pada tahun 2013 dan 2014 silam aku pernah melintasi beberapa kilometer ruas jalan ini saat menyambangi Sendang Klampok di Desa Salamrejo. #senyum.lebar
Sendang Klampok adalah mata air yang di dekatnya tumbuh pohon jambu klampok (Syzygium samarangense). Oleh warga setempat Sendang Klampok disebut juga sebagai Sendang Tirto Usodo. Itu karena airnya diyakini punya khasiat menyembuhkan.
Walaupun demikian, Sendang Klampok ini jauh dari hal-hal klenik. Di dekat sendang berdiri Masjid Al-Hidayah. Air dari sendang juga dimanfaatkan untuk berwudu.
Untuk cerita lain tentang Sendang Klampok silakan simak pada tautan di bawah ini ya! #senyum.lebar
SILAKAN DIBACA
Berbeda dengan Jl. Raya Jogja – Wates, suasana di jalan raya yang melintasi Desa Salamrejo ini lumayan sepi. Kontur jalannya mayoritas datar. Sepanjang jalan dipadati rumah-rumah warga dengan halaman berpohon rindang. Jadi, enak dipakai untuk bersepeda. #senyum
Akan tetapi, serupa dengan Jl. Raya Jogja – Wates, boleh dibilang jumlah warung makan di pinggir jalan raya ini lumayan minim. Meskipun demikian, jumlah warung-warung kelontong cukup banyak. Jadi, ketika lapar dan haus gampang untuk mencari pengganjal, hehehe. #hehehe
Salah satu yang menarik dari Jl. Sentolo – Brosot ini adalah banyaknya sempalan jalan kecil yang berada di sisi kiri (timur) jalan. Sempalan jalan ini berujung ke pinggir Kali Progo.
Sempalan-sempalan jalan ini berwujud jalan tanah berbatu yang nggak rata sekaligus menurun. Kehati-hatian dalam berkendara sangat diperlukan kalau nggak ingin terjerembab. Kendaraan roda dua masih mungkin untuk lewat. Sedangkan kalau kendaraan roda empat… ya... sepertinya agak sulit. #senyum.lebar
Aku sempat menyusuri beberapa sempalan jalan tersebut untuk menikmati keindahan panorama Kali Progo. Tapi ya hanya untuk menikmati keindahan lho! Kalau untuk bermain air ya... nanti dulu deh. #hehehe
Menurutku pinggiran Kali Progo ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi tempat rekreasi. Katakanlah dibuat semacam gardu pandang atau tempat istirahat yang berlatarkan pemandangan Kali Progo.
Tapi, kalau dikembangkan lantas dipadati banyak orang, nanti jadi nggak alami lagi dong? Juga, kalau Kali Progo sedang banjir ya jadi nggak indah, hahaha. #senyum.lebar
Selain panorama keindahan sungai, pemandangan yang terlihat mencolok di pinggir Kali Progo adalah para penambang pasir. Walaupun Minggu, ternyata banyak juga penambang yang masih beraktivitas.
Sejumlah penambang pasir di Kali Progo masih menambang dengan cara tradisional, yaitu mengeruk pasir yang berada di dasar sungai. Cara penambangan ini hanya bisa dilakukan pada musim kemarau saat air Kali Progo surut.
Ban-ban berukuran besar turut digunakan sebagai bantuan menambang pasir. Ban-ban ini ikut dibawa ke sungai. Di atas ban diletakkan wadah penampung pasir tambang. Jadi, dengan wadah pasir yang terapung di sungai, para penambang nggak perlu sering-sering bolak-balik ke daratan.
Selain penambangan pasir secara tradisonal, ada juga penambang yang menggunakan cara yang lebih modern. Untuk memudahkan menambang mereka menggunakan mesin pompa diesel.
Menggunakan rakit, mesin pompa diesel ini diposisikan di tengah sungai. Kemudian, selang penyedot pasir dibenamkan di dasar sungai. Sementara selang yang mengalirkan pasir diletakkan di bak truk. Kira-kira sekitar setengah jam bak truk pun penuh terisi pasir.
Berkenalan dengan Lendah
Tambang-tambang pasir di pinggir Kali Progo yang aku sambangi itu sebetulnya masih masuk wilayah Kecamatan Sentolo. Barulah setelah menempuh perjalanan sekitar 7 km dari pertigaan Jl. Raya Jogja – Wates aku berjumpa dengan tugu batas Kecamatan Sentolo dengan Kecamatan Lendah.
Alhamdulillah, akhirnya kesampaian ke Lendah juga. #senyum.lebar
Begitu masuk wilayah Lendah inilah perjuangan mulai “sedikit” lebih berat. Medan jalan pelan-pelan mulai disisipi tanjakan ringan. Aku sebut tanjakan ringan karena aku nggak kesulitan untuk melibasnya dengan sepeda. Walaupun aku harus ikhlas turun gigi ke 1-1 dari yang semula 2-5 atau 2-7. #hehehe
Untungnya di sepanjang jalan lumayan teduh oleh pepohonan. Warung-warung kelontong juga banyak. Jadi ya seperti yang aku bilang di paragraf atas itu. Nggak berat-berat amat bersepeda di jalan ini meskipun ada tanjakannya.
Merasakan medan seperti ini, aku jadi paham kenapa di dekat sini ada curug yang tersembunyi, hahaha. #senyum.lebar
Memasuki pusat Desa Ngentakrejo, halang rintang tanjakan berangsur menghilang. Ada total enam desa di Kecamatan Lendah, yaitu Ngentakrejo, Gulurejo, Sidorejo, Jatirejo, Bumirejo, dan Wahyuharjo. Kalau diperhatikan semua nama desanya berakhiran -jo. #senyum.lebar
Di Desa Ngentakrejo aku dibuat kagum oleh beberapa bangunan masjid yang megah seperti Masjid Al-Fatah dan Masjid Nurul Huda. Nggak nyangka saja kalau di desa yang terkesan pelosok seperti ini berdiri masjid yang besar dan bagus.
Jam menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Ajaibnya, sampai saat ini aku masih belum sarapan! Hahaha. #senyum.lebar
Karena perut semakin meronta-ronta minta diisi, aku pun mengikhlaskan ego untuk sarapan soto. Merapatlah aku ke salah satu warung mie ayam di pinggir jalan. Sepengalamanku, di wilayah Kulon Progo lebih mudah menemukan warung mie ayam dibanding warung soto. #senyum.lebar
Semangkuk mie ayam bakso dan segelas es jeruk akhirnya menjadi sarapan kesianganku. Agak canggung juga bersantap di warung desa yang mana pelanggan dan pemiliknya sudah saling kenal. Sarapanku pun turut dibumbui oleh gosip warga yang sudah lama menikah tapi belum dikaruniai anak.
Hadeh....
Mendekati penghujung Jl. Raya Sentolo – Brosot aku disambut oleh ikon wisata Lendah yang tidak lain dan tidak bukan adalah Bendungan Sapon. Bendungan ini terletak di Dusun Sapon yang masuk wilayah Desa Sidorejo. #senyum.lebar
Mengutip situs ini, Bendungan Sapon mulai dibangun tahun 2005 dan selesai pada tahun 2008. Proyek ini menelan dana Rp83,2 milyar yang berasal dari bantuan Pemerintah Jepang.
Tujuan pembangunan Bedungan Sapon adalah untuk mengembalikan fungsi layanan jaringan irigasi yang telah ada dan mengoptimalkan kebutuhan air di Kulon Progo. Daerah irigasi Sapon berada di tiga kecamatan yaitu Panjatan, Galur dan Temon dengan luas total mencapai 2.250 Ha. Diharapkan keberadaan Bendungan Sapon dapat membantu mengatasi ketersediaan air irigasi persawahan dan juga memperluas areal tanam.
Perjalanan mengenal Lendah ini pun berakhir bertepatan dengan mengalunnya kumandang azan zuhur. Di atas Jembatan Srandakan lama yang menghubungkan Kabupaten Kulon Progo dengan Kabupaten Bantul aku beristirahat sambil menatap lekat Kali Progo yang pada hari ini menghiasi perjalananku bersama Trek Lala.
Oh iya, karena di sepanjang perjalanan ini Trek-Lala sama sekali belum difoto, ini aku tampilkan fotonya Trek-Lala. Kalau penunggangnya sih males-malesan difoto, hahaha. #senyum.lebar
Terus terang, buatku perjalanan di Lendah ini masih sangat-sangat kurang. Ya, namanya juga baru sekadar kenalan. Baru sekadar numpang lewat di Lendah. Belum sampai blusukan menjamah jeroannya Lendah yang mungkin nggak pernah diicip Google. #senyum.lebar
Wilayah barat Lendah masih misterius buatku. Aku juga belum ketemu dengan Kantor Kecamatan Lendah. Belum lagi menyambangi curug di Lendah.
Ah, sudah deh. PR-ku tentang Lendah masih banyak. Mungkin suatu saat aku akan kembali lagi menyusuri sudut-sudut Lendah. Semoga saja ada waktunya. Sekarang, mari pulang ke Kota Jogja lewat Kota Bantul. Sekalian makan siang. #hehehe #makan.lagi
Sampai ketemu lagi Lendah!
Senang bisa berkenalan denganmu! #senyum.lebar
KATA KUNCI
- bendungan sapon
- galur
- jalan raya jogja wates
- jalan raya sentolo brosot
- jembatan bantar
- jembatan srandakan
- kali progo
- kulon progo
- lendah
- masjid
- mesin pompa diesel
- mie ayam
- ngentakrejo
- pasir
- pasir kali progo
- penambang pasir
- perlengkapan penambang pasir
- salamrejo
- sapon
- sendang klampok
- sendang tirto usodo
- sentolo
- sepeda
- sidorejo
- sungai progo
- tambang pasir
- tambang pasir kali progo
aku pun ke
Lendah,liatin
penambangan pasir
Btw, kayaknya asik juga kalo ada angkutan ke Trisik lewat Kali Progo pakai perahu, hahaha.
Wah, kalau lewat Trisik sungainya mana? Hihihi.
Menambang pasir secara tradisional dengan alat yang mirip...
Eh, emang ada curugnya?
Katanya sih ada. Gosipnya....