navigation

Curug Glimpang di Girimulyo dan Sesuatu di Samigaluh

terbit Minggu, 27 Agustus 2017, 04:30 WIB

Haiii hooo!

 

Lanjut lagi kita dengan cerita bersepeda di Girimulyo. #senyum.lebar

 

Masih pada hari Rabu (18/1/2017).

Masih di Yogyakarta.

Masih di Kulon Progo.

Masih di Girimulyo.

 

 

Dan ya... Girimulyo....

 

Girimulyo itu nama salah satu kecamatan di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta.

 

Nama Girimulyo berasal dari dua kata, giri dan mulyo. Giri artinya gunung. Mulyo artinya mulia. Jadi, kalau digabung, Girimulyo artinya gunung yang mulia. #asal.njeplak

 

Bisa jadi Girimulyo diberi nama demikian karena letak wilayahnya berada di Perbukitan Menoreh. Dan karena letak Girimulyo ada di perbukitan alias ketinggian, maka untuk ke sananya ya jelas jalannya NANJAK! #hehehe

 

 

Rute dari Kota Jogja ke Girimulyo sebenarnya nggak sulit-sulit amat. Dari simpang empat Tugu Pal Putih yang tersohor itu silakan ambil cabang jalan ke arah barat. Setelahnya LURUUUS terus sejauh kira-kira 30 km

 

Aku sendiri butuh waktu sekitar 4  jam bersepeda dari Kota Jogja menuju Girimulyo.

 

 

 

Eh, tentu saja perjalanan bersepeda ke Girimulyo ini juga diselingi adegan istirahat dan menuntun sepeda. #hehehe

 

Lanjut Menyusuri Girimulyo dari Pasar Jonggrangan

Pasar Jonggrangan adalah salah satu pasar di Girimulyo. Sesuai namanya, pasar ini terletak di Dusun Jonggrangan di Desa Jatimulyo.

 

Bagi para pesepeda, Pasar Jonggrangan ibarat titik peristirahatan utama setelah perjalanan yang panjang, nanjak, dan melelahkan. Awalnya, aku berniat mengisi perut di warung makan dekat pasar. Tapi, sayang di sekitar pasar aku perhatikan nggak ada yang menggugah selera.

 

Jadilah aku berpikir,

 

“Ngikutin jalan raya ini saja. Siapa tahu nanti ketemu warung makan.”

 

Lagipula, toh perut memang belum terlalu merengek-rengek minta diisi ini. #hehehe

 


Pasar Jonggrangan yang sepi.

 

Nggak begitu jauh dari Pasar Jonggrangan ada percabangan jalan menuju Gua Kiskendo. Yang bikin aku takjub adalah cabang jalan ke Gua Kiskendo sekarang sudah lebar, mulus, dan bagus.

 

Aku sedikit bertanya-tanya pas melihat jalan yang sudah bagus ini. Apa mungkin jalannya dibuat bagus supaya bus-bus pariwisata mudah berlalu-lalang ya?

 

Tapi, bus-bus apa bisa sampai ke Girimulyo? Setahuku, semua jalan ke Girimulyo kan wujudnya tanjakan terjal. Bus apa ya kuat nanjak lewat situ? Ataukah ada jalan nanjak lain yang lebih landai dan ramah untuk dilewati kendaraan besar?

 

Ini masih menjadi misteri....

 


Belok kiri arah ke Gua Kiskendo. Jalan bagus untuk bus kah?

 

Di percabangan jalan menuju Gua Kiskendo itulah aku membatin.

 

“Seumur-umur, bersepeda ke Gua Kiskendo sudah berkali-kali, tapi menyusuri jalan raya utama malah belum pernah.”

 

... hmmm ...

 

 

Mendadak tercetus “ide gila”. #hehehe

 

“Cobain ah menyusuri jalan raya utama. Kayaknya, tembusnya di Pasar Plono deh.”

 

Sekedar info, Pasar Plono adalah nama pasar di  Kecamatan Samigaluh, Kulon Progo. Wisatawan yang hendak berkunjung ke Desa Wisata Nglinggo umumnya bakal melewati pasar ini.

 


Trek-Lala saja capek nanjak. #eh

 

Waktu menunjukkan pukul 11 siang. Medan jalan raya utama setelah cabang jalan ke Gua Kiskendo ternyata tetap NANJAK!

 

Hadoooh!

 

Runyam ini urusan! Apa jalan sampai ke Pasar Plono bentuknya tanjakan kayak begini juga ya? Mana sepanjang jalan tadi nggak ada warung makan pula.

 

Sabar... sabar... #hehehe

 


Kucek-kucek mata. Siapa tahu selepas tanjakan tadi pindah ke dunia lain. #hehehe

 

Beberapa ratus meter setelah tanjakan terakhir aku menjumpai pemandangan yang sungguh menawan mata seperti foto di atas itu.

 

Mataku pun terbelalak.

 

Jalan raya yang lebar, mulus, dan MENURUN!

 

Alhamdulillah! Gusti Allah SWT mboten sare, gur aku sing keturon! #senyum.lebar

 

Tapi ya aku masih takjub juga. Kok bisa-bisanya di Perbukitan Menoreh ada jalan raya yang sebagus ini sih?

 


Mulus-mulus nanjak tetap nggak apa-apa! #senyum.lebar

 

Selanjutnya bisa ditebak. Adalah suatu kebahagiaan bisa bersepeda di jalan bagus seperti ini. #senyum.lebar

 

Di beberapa ruas kontur jalannya masih menanjak, tapi ya SEBODO AMAT! #hehehe

 

Tanjakannya nggak terjal-terjal amat. Lagipula ya itu, kebahagiaan bersepeda di jalan yang bagus seakan mengalahkan kesusahan ketika nanjak, hahaha. #senyum.lebar

 

 

Sampai akhirnya, di pertigaan Desa Purwosari kebahagiaan itu sirna berganti dengan kebimbangan.

 

Aku bimbang gegara papan arah di bawah ini!

 


Godaan terberat pada siang hari selain es campur. #hehehe

 

Sejak awal bersepeda di Girimulyo tadi, sebetulnya sudah bertebaran itu papan arah ke curug-curug. Tahu sendirilah, Kulon Progo sekarang kan sedang gandrung dengan wisata curug alias air terjun.

 

Girimulyo pun nggak terkecuali. Lokasinya yang berada di Perbukitan Menoreh turut menganugerahi Girimulyo dengan sejumlah curug. Pada tahun 2014, aku dan kawan-kawan pernah menyambangi salah satu curug di Girimulyo yang bernama Grojogan Sewu.

 

 

Hanya saja, agenda bersepeda kali ini nggak ada niatan untuk main ke curug. Misi bersepedaku ya hanya sebatas nanjak ke Girimulyo, makan, turun, terus pulang, dan lanjut ngoding.

 

Tapi, karena sudah bersepeda sampai sejauh ini ditambah misi yang terlanjur ter-extend, godaan papan arah di atas itu sangat-sangat susah untuk dilawan, hahaha. #senyum.lebar

 

Apalagi sewaktu mendengar penuturan si ibu warung tempatku menyetok perbekalan,

 

“Curugnya nggak jauh Mas. Jalan ke sananya turun terus. Nanti kalau diteruskan bisa tembus ke Nanggulan juga.”

 


Cabang jalan ke arah curug sekaligus tembus Nanggulan itu.

 

Jadi ya... misi ke Pasar Plono dicoret dan diganti misi pulang ke Nanggulan lewat curug. #hehehe

 

Pulang ke Nanggulan Mampir Curug Glimpang

Benar katanya si ibu warung. Dari pertigaan jalan utama ke arah Curug Glimpang jalannya TURUN TERUS!

 

Inilah yang disebut nikmat dunia bagi para pesepeda .... #senyum.lebar

 

 

Eh, aku sempat juga lewat percabangan jalan ke arah Gua Maria Lawaningsih. Kalau ingat Gua Maria aku jadi ingat sama Pakdhe Timin yang punya misi menyambangi Gua Maria. Entah sudah clear atau belum misinya itu. #senyum.lebar

 


Rambu kuning yang menjadi favorit setiap pesepeda. #senyum.lebar

 

Nggak sampai 10 menit menikmati jalan turunan, papan nama curug terlihat di kiri jalan. Di dekat papan itu berdiri pos retribusi. Tapi, mungkin karena waktu itu hari Rabu jadinya yang jaga nggak ada, hehehe. #hehehe

 

“Ayo, ikut saya saja Mas. Jalan pulang ke rumah saya searah dengan ke curug.”, ajak seorang ibu yang baru pulang ngarit

 

Kami berdua pun berjalan kaki menuju curug. Trek-Lala aku tuntun. Itu karena selepas pos retribusi jalannya turunan terjal! Mana licin pula. Hadeh....

 


Masuk gratis mumpung nggak ada yang jaga. #hehehe

 

Dari pos retribusi, kami turun melewati turunan terjal dan ketemu lapangan. Di dekat lapangan ada jalan setapak tanah yang mengarah ke curug. Yang perlu diperhatikan adalah jalan setapak ini berwujud tanah liat. Jadinya, gumpalan tanah mesti menempel di alas kaki. #sedih

 

“Sepedanya parkir di sini saja Mas.”, saran si ibu begitu kami memasuki kawasan hutan pinus

 

Jadi, sebelum memasuki wilayah per-curug-an, pengunjung bakal memasuki kawasan hutan pinus yang bernama Taman Srumbung Sari. Hutan pinusnya nggak sebegitu luas sih. Tapi di sini ada banyak gubug (untuk beristirahat), pos SAR (wow!), dan tentunya toilet (lokasi ngendog). #senyum.lebar

 


Parkir sepeda di hutan pinus.

 

Setelah mengunci aman Trek-Lala ke salah satu batang pohon, perjalanan pun berlanjut menghampiri sumber suara gemuruh air yang kian terasa dekat. Benar saja, puncak Curug Glimpang tampak di pelupuk mata! #senyum.lebar

 

“Ini Curug Glimpang. Kalau di sana curug yang lain lagi.”, si ibu menunjuk jalan setapak yang menyusuri pinggir sungai

 

Sesuai perkataan si ibu dan arahan di papan petunjuk, di kawasan ini terdapat empat curug, yaitu Curug Glimpang, Curug Ratmi, Curug Bendo, dan Curug Gandu.

 

Asyik toh? Dalam satu kawasan ada banyak curug? #senyum.lebar

 


Salam dingin dari Curug Glimpang. #senyum.lebar

 

Di kawasan Curug Glimpang ini aku berpisah dengan si ibu. Beliau melanjutkan perjalanan pulang ke rumahnya di seberang sungai. Setelah beberapa menit menjeprat-jepret aku pun meninggalkan lokasi.

 

Kalau menurut pengamatanku, Curug Glimpang ini agak kurang sip sebagai objek foto karena sulit untuk mendekat ke air terjun. Eh, seandainya rela berbasah-basah ria mungkin saja bisa dapat sudut pemotretan yang lebih sip.

 

Tapi, aku sendiri seumpama harus berbasah-basahan ya... nanti dulu deh!

 

Kan siang ini masih harus bersepeda pulang yang jaraknya lumayan jauh. Mana belum tentu sepanjang jalan medannya turunan terus. #hehehe

 


Ini sih curug buatan yang kebetulan sih fotogenik. #hehehe

 

Pada kesempatan kali ini aku cuma singgah di Curug Glimpang. Semoga suatu saat nanti bisa balik lagi ke sini dan mengunjungi Curug Ratmi, Curug Bendo, dan Curug Gandu. #senyum.lebar

 

Oh iya, Curug Glimpang ini lokasinya ada di Desa Purwosari, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Rute menuju ke mari enaknya ya serupa dengan rute bersepedaku ini, hehehe. #hehehe

 

Samigaluh dan Sesuatu yang Membuat Kaget

Saat sedang menuntun Trek-Lala di lapangan dekat tanjakan ke pos retribusi, seorang bapak dan pemuda desa menghampiriku. Seperti biasalah kami pun ngobrol-ngobrol. Kesempatan ini nggak aku sia-siakan untuk mengorek informasi perihal rute pulang.

 

“Ngikuti jalan aspal ini nanti tembusnya bisa di Perempatan Kenteng Mas. Tapi hati-hati Mas, soalnya jalannya turunan tajam dan licin.”, kata si mas pemuda

 

“Oh yo, sip Mas! Eh, apa di depan nanti juga masih ada tanjakan?”, aku penasaran

 

“Eh....”, si mas pemuda menatap ke si bapak, “Ada Mas. Tapi, kalau masnya ya kuat lah pakai sepeda.”

 

Hadeh... belum tahu saja si mas pemuda ini kalau aku bersepeda ke Girimulyo juga pakai acara nuntun. #hehehe

 


Jalan menurun yang terjan dan licin.

 

Seperti yang si mas pemuda bilang, jalan selepas Curug Glimpang ini turunan. Meskipun begitu di sejumlah tempat ya masih ada tanjakannya juga sih. Terutama setelah menyebrangi sungai.

 

Untungnya, meskipun sudah siang tapi cuacanya nggak terasa panas. Mungkin karena jalan yang aku lalui ini ibarat membelah hutan. Banyak dinaungi pohon rindang. Jadinya enak buat bersepeda. #senyum.lebar

 

Sedangkan hal yang nggak aku suka dari jalan ini adalah suasananya yang sepi banget! Orang lewat jarang. Rumah warga jarang. Warung jarang. Cocoklah jadi area penampakan dhemit, hahaha. #senyum.lebar

 


Kanan-kiri hutan. Semoga nggak ada kejadian apa-apa.

 

Eh, bicara tentang dhemit, pas bersepeda di jalan ini aku melewati suatu pemakaman. Di sana aku lihat ada nisan yang bentuknya unik. Tapi, bentuk nisannya beda seperti nisan yang dulu aku sambangi sama Mbah Gundul.

 

Aku jadi penasaran. Kok di Kulon Progo banyak pemakaman dengan nisan unik seperti ini ya?

 

Hmmm....

 


Nisannya dari kayu, bentuknya unik, dan belum lapuk?

 

Setelah sekian menit bersepeda di jalan yang sepi akhirnya ketemu juga sama bangunan pemerintahan. Di papan namanya tertulis,

 

Kantor Kepala Desa Kebonharjo

Kecamatan Samigaluh

 

HAH!?

 

Kok sudah pindah kecamatan ke Samigaluh aja sih?

 

Nyasar nggak aku ini?

 


Kebonharjo kayaknya bukan nama yang asing deh....

 

Dengan masih menyimpan perasaan yang terkaget-kaget, aku makin dibuat kaget oleh sesuatu hal setelah Kantor Kepala Desa Kebonharjo. Spontan aku berteriak dan menarik perhatian ibu-ibu desa di sekitar sana, #hehehe

 

“PRINGTALI!?”


Aku bersepeda sampai Pringtali!?

 

WEEEH!?

 


Ya Allah! Kok bisa sampai lagi di tempat ini!?

 

Tanpa pikir panjang, Trek-Lala aku parkir di bawah huruf yang membentuk tulisan Pringtali. Aku lantas mendaki bukit di bawah pohon beringin menuju ke suatu benda yang seakan turut menyambut kedatanganku.

 

“Candinya masih ada!”, aku membatin

 

Candi Mulyo. Itulah nama yang tertera di papan yang terpaku di pohon beringin. Tapi, aku sendiri mengenal situs purbakala ini sebagai Candi Pringtali.

 

Aku pernah menyambangi situs ini pada tahun 2009 silam. Kini, 8 tahun kemudian aku kembali lagi ke mari. Alhamdulillah, Candi Pringtali masih utuh. #senyum.lebar

 


Candi Pringtali yang lebih cocok disebut sebagai punden berundak. #senyum

 

Ini benar-benar di luar dugaan!

 

Kok bisa-bisanya aku bersepeda sampai Candi Pringtali!?

 

Bener-bener tingkah yang kurang kerjaan! #senyum.lebar

 

Seandainya Andreas, Agatha, dan Mas Ipuk tahu mungkin mereka juga bakal mengatakan hal yang serupa, hahaha. #senyum.lebar

 

Turunan Terakhir Menuju Nanggulan

Selesai memotret Candi Pringtali aku pun bergegas melanjutkan perjalanan. Rumah masih jauh dan aku belum menunaikan salat zuhur, hehehe #hehehe. Sementara itu waktu sudah menunjukkan pukul setengah 2 siang.

 

Beberapa ratus meter setelah Candi Pringtali aku melihat ada papan arah ke musala. Aku pun singgah di musala dan menunaikan salat zuhur di sana. Sekalian juga beristirahat sekitar 10 menit.

 

Setelah puas meluruskan kaki di musala dan lanjut bersepeda sekitar 10 menit, tibalah aku di Desa Nogosari. Di sini jalan bercabang empat. Satu di antaranya mengarah ke Nanggulan dengan medan yang berupa turunan.

 

YES! #senyum.lebar

 


Suasana di perempatan jalan Desa Nogosari.

 


Turunan dari Desa Nogosari ke arah Nanggulan.

 

Perjalanan melewati turunan panjang dari Desa Nogosari akhirnya berujung di pertigaan Watumurah. Itu lho pertigaan selepas Pasar Kenteng ke arah Gua Kiskendo yang pemandangannya seperti foto di bawah ini.

 

Di pertigaan ini aku mengambil cabang jalan ke arah kiri, kemudian melewati turunan panjang, hingga tiba kembali di Perempatan Kenteng. Setelah itu tinggal ngebut secepat kilat lewat Jl. Godean mumpung hujan belum turun. Sampai di rumah sekitar pukul setengah 4 sore.

 

Eh, di Jl. Godean sempat mampir juga sih jajan bakso, es tape, sama beli nasi padang. #perut.laper.bok

 


Pertigaan Watumurah. Kalau lurus terus bakal ketemu tanjakan jahanam. #senyum.lebar

 


Mendung pekat sudah mengintai! Segera tancap pedal!

 

Dan selesai sudahlah cerita bersepeda keliling Girimulyo, Kulon Progo yang bukan PEKOK pada hari Rabu ini. #senyum.lebar

 

Di bawah ini adalah rute dan statistik bersepeda menurut Endomondo. Pas bersepeda pulang di Jl. Godean, ndilalah baterai android-nya habis. Jadinya rekaman Endomondo-nya terpotong sedikit.

 

Ah, ya sudahlah ya....

 


Sembilan jam kurang sedikit belum tergolong pekok. #hehehe

 

Mari makan nasi padang dulu sebelum lanjut ke cerita berikutnya... 5 hari lagi. #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI