Aku butuh filter CPL buat melengkapi koleksi filter berdiameter 77 mm.
Eh, sebetulnya disebut koleksi juga nggak tepat sih. Lha wong selama ini kan aku cuma mengoleksi filter ND thok, hahaha. #senyum.lebar
SILAKAN DIBACA
Dari hasil sawang-sinawang di internet, awalnya aku tertarik sama filter CPL Marumi yang serinya Super DHG. Soalnya, menurut artikel di website Lenstip, katanya filter Super DHG CPL-nya Marumi itu kualitasnya bagus dan harganya murah.
Tapi sayang, nyari filter Marumi di Jogja sini susah, hahaha. #senyum.lebar
Terus mbuh kapan itu, pas aku lagi nge-scroll-scroll Instagram kok ada beberapa foto yang caption-nya nyebut-nyebut filter Athabasca. Ini kayaknya pemain baru di dunia per-filter-an kamera deh.
Setelah aku kulik-kulik lagi, eh ternyata mereka juga punya produk filter CPL! Dan ternyata, toko Gudang Digital di Jl. Affandi itu menjual filter CPL-nya Athabasca!
Jadi ya sudah, dengan sangat ringan dompet terbelilah filter CPL Athabasca seharga Rp740.000 pada bulan Juni 2017, hehehe. #hehehe
Keputusanku membeli filter CPL Athabasca ini sebetulnya ya gambling. Untung-untungan gitu. Soalnya aku nggak nemu artikel review filter Athabasca di internet. Jadi kan ya aku mana tahu kualitasnya toh?
Karena itu, mending aku bikin sajalah artikel review filter CPL Athabasca ini. Syukur-syukur kalau artikel ini juga bisa membantu Pembaca yang penasaran sama filter Athabasca. #senyum.lebar
Kalau kualitas filternya bagus ya Alhamdulillah.
Kalau kualitas filternya jelek ya... biarlah nanti berakhir di OLX, hahaha. #senyum.lebar
Tentang (Seri) Filter CPL Athabasca
Sekedar info, filter Athabasca ini adalah filter bikinan Cina. Yang aku maksud bikinan Cina itu ya asal perusahaannya ya memang dari Cina. Bukan hanya pabriknya yang ada di Cina. #hehehe
Nama Athabasca sendiri sih katanya berasal dari nama glasier di Kanada sana. Untuk penjelasan basa-basi yang lebih panjang, silakan Pembaca baca sendiri di website Athabasca yang beralamat di:
Kalau menurut website-nya Athabasca, mereka punya 5 seri produk filter CPL yaitu:
- CPL(W)
Dugaanku ini filter CPL versi standar. - HD CPL
Aku nggak ngerti arti istilah HD ini. Masak ya filter bisa High Definition? Dugaanku sih HD itu artinya Hardened yang berarti filternya nggak gampang pecah saat terkena musibah nyium batu. #senyum.lebar - Razor CPL
Ini filter CPL yang ketebalan fisiknya sangat tipis sekitar 3 mm. Itu supaya nggak muncul vignetting pas dipakai di lensa super wide angle. - WP MCCPL
Aku terjemahkan jadi Weather Protection Multi-Coating CPL. Sepertinya sih seri filter CPL ini diberi lapisan (coating) tambahan supaya anti air, anti gores, anti kotor, dsb dsb dsb. - CF-CPL
Ini filter CPL dengan kualitas high end. Sepertinya sih karena seri filter ini punya lapisan (coating) dari fluorine. Eh, CF itu Coating Fluorine kan? #hehehe
Filter CPL Athabasca yang aku beli adalah yang jenisnya standar alias seri CPL(W). Sebab, kode (W) itu kan artinya Wijna toh? #hehehe #alasan.ngawur
Hehehe, alasan sebenarnya sih karena Gudang Digital hanya punya stok filter CPL Athabasca yang seri CPL(W). Lagipula, kalau dilihat di internet, harga filter seri CPL(W) itu adalah yang paling murah dibanding keempat saudaranya. #senyum.lebar
Kotak filter Athabasca CPL(W) terbuat dari kaleng. Kalau berkaca dari pengalamanku memakai filter ND8 Solo (yang kotak filternya juga terbuat dari kaleng), sepertinya kotak filter Athabasca ini juga rawan berkarat. Jadi, mending kotaknya disimpan di rumah saja atau diganti pakai kotak plastik. #senyum.lebar
Pada bagian depan kotak filter tertera kode BAF, LPF, KEF, dan SAF yang aku nggak ngerti apa maksudnya. Sedangkan pada bagian belakang kotak tertera tulisan panjang yang menjelaskan pengertian filter CPL.
Intinya sih, buatku bagian depan dan belakang kotak filter ini kurang memberikan informasi yang penting, hahaha #senyum.lebar.
Di dalam kotak filter Athabasca CPL(W) terdapat selembar kertas hitam bertuliskan Athabasca (nggak guna juga #hehehe). Sisi positifnya, bagian dalam kotak filter dikelilingi busa yang fungsinya untuk melindungi filter dari goncangan seumpama kotaknya terjatuh. #senyum
Filter CPL-nya sendiri menurutku mudah untuk dioperasikan sebagaimana filter CPL pada umumnya. Putaran filter CPL-nya nggak seret. Adapun ulir filternya juga nggak bermasalah ketika dipasang-lepas.
Pengujian Filter Athabasca CPL(W)
Nah, caraku menguji filter Athabasca CPL(W) ini adalah dengan mengamati hal-hal berikut:
- Apakah filter CPL berfungsi sebagaimana mestinya?
- Apakah ketajaman foto berkurang setelah dipasang filter CPL?
- Apakah ada perbedaan warna foto setelah dipasang filter CPL?
- Apakah ada keanehan lain pada foto setelah dipasang filter CPL?
Untuk alat ujinya aku memakai DSLR “tua” Nikon D80 dengan lensa AF-S DX 18-105 VR. Semua foto aku jepret dalam format RAW. Kemudian aku ekspor ke format JPG pakai Adobe Lightroom TANPA editing.
Aku menitikberatkan pengujian filter Athabasca CPL(W) sesuai penggunaan nyata di lapangan. Seringnya aku memakai filter CPL untuk menggelapkan langit sewaktu pagi atau siang.
Alhamdulillah, pada hari Rabu pagi (28/6/2017) langit Jogja cerah merona biru. Aku pun keluyuran dengan sepeda mencari objek untuk menguji keampuhan filter CPL Athabasca. #senyum.lebar
Di Dusun Plumbon, Desa Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman aku berjumpa dengan Masjid At-Tauhid yang fotonya seperti di atas itu.
Seperti yang bisa dilihat, filter Athabasca CPL(W) berfungsi dengan baik untuk menggelapkan langit. Nuansa warna pada foto ketika menggunakan filter CPL terlihat nggak berbeda dengan foto saat tidak menggunakan filter.
Sedangkan untuk ketajaman foto menurutku tidak ada perubahan. Baik pada foto yang memakai filter CPL dan foto yang tanpa filter CPL ketajamannya masih sama.
Nggak puas hanya dengan objek Masjid At-Tauhid, aku pun meluncur turun ke kampus Universitas Gadjah Mada tercinta. Aku keliling-keliling di seputar kampus UGM dengan misi mencari objek menarik untuk pengujian lanjutan. #senyum.lebar
Di Jl. Teknika Selatan (tempatku dahulu menunggu bus kota jalur 2 atau 4) filter Athabasca CPL(W) berfungsi baik untuk “meredupkan” pantulan cahaya matahari pada dedaunan. Hasil foto pun terlihat lebih teduh. #senyum
Di persimpangan Jl. Kesehatan di muka cabang jalan masuk menuju Fakultas Teknik UGM, langit pun tampak berwarna biru tua pekat saat menggunakan filter Athabasca CPL(W). Semisal fotonya aku edit lagi di Adobe Lightroom, besar kemungkinan nuansa gelap pada foto bisa aku hilangkan. #senyum
Filter Athabasca CPL(W) juga sanggup untuk menghilangkan pantulan cahaya matahari yang menyilaukan di atap gedung Grha Sabha Pramana. Ini salah satu kegunaan filter CPL yang sering aku manfaatkan untuk menghilangkan pantulan cahaya matahari yang menghiasi bebatuan air terjun. #senyum.lebar
Objek pengujian yang terakhir adalah lapangan Grha Sabha Pramana dengan latar gedung Fakultas Ilmu Budaya yang belum lama ini selesai dibangun. Awalnya, aku berencana motret gedung di Fakultas MIPA. Tapi apa daya, ternyata pintu masuk ke kampus ditutup dan banyak SKK berjaga di dalam, hahaha. #senyum.lebar
Hasil Pengujian Filter Athabasca CPL(W)
Kesimpulan dari hasil pengujian di atas adalah aku puas dengan kualitas filter Athabasca CPL(W). #senyum.lebar
Oh iya! Ketika dipasang, filter Athabasca CPL(W) ini menurunkan kecepatan rana (shutter speed) sekitar 1 stop.
Hal yang bikin aku agak kurang sreg mungkin harganya ya. Karena kok kualitas hasil foto pakai filter Athabasca CPL(W) nggak jauh berbeda dengan hasil foto pakai filter CPL murah yang aku punya?
Ya, nantilah aku terbitkan artikel yang membahas perbandingan filter CPL mahal dan filter CPL murah, hahaha. #senyum.lebar
Akhir kata, selamat menimang-nimang filter CPL dengan isi dompet! #senyum.lebar
Saya sudah cari artikel di gugel bahkan video yang bahas CPL Haida Pro di YouTube gak nemu juga.
Mohon responnya.
Dibandingin Athabasca, apa Marumi dan Haida termasuk filter yang recommended tidak?
Trims
bisa di-push sampai 30 detik. Jadi apa kelebihannya kalau pakai filter ND? Lalu kalau foto
Light Trail di malam hari sepertinya tidak pakai filter ND ya. Jadi .... ND itu apakah vital?
Suwun
Kalau di model shutter-priority DSLR (simbolnya Tv atau S), batas shutter speed memang 30 detik.
Tapi, kalau pakai mode Manual sebenarnya setelah 30 detik itu masih ada satu lagi settingan waktu selanjutnya yaitu BULB.
Nah, kalau shutter speed di-set ke BULB ini selama tombol shutter ditekan eskposurnya jalan terus.
Jadi, kalau mau memotret dengan shutter speed (katakanlah) 5 menit ya pakai mode Manual, atur shutter speed ke BULB, kemudian tekan dan tahan tombol shutter selama 5 menit, hehehe. Biasanya biar nggak begitu capek nahan tombol shutter pakai alat yang namanya CABLE RELEASE.
Filter ND dipakai kalau kondisi pencahayaan pada pemotretan terang benderang sehingga nggak memungkinkan untuk mendapatkan shutter speed yang lambat.
Kalau motret light trail ya nggak perlu filter ND karena pas malam hari kan gelap jadi shutter speednya selalu lambat.
Filter2 murah termasuk yang clone-nya HOYA sih saat baru-nya biasanya juga hasil sama bedanya kalau udah beberapa lama dipake mulai tuh su onar di color cast-nya terutama saat menghadapi sinar matahari. Kayak HD itu gak jauh beda, tapi enaknya lebih lama dan tahan gores dibanding yang standar.
jadi ND itu memungkinkan fotografer menurunkan kecepatan rana/menambah waktu eksposure mencapai nilai yang tidak akan bisa dicapai oleh kamera tanpa ND.
Mas? Jadi kalau tetep pakai 0.6s dengan ND, gambar selain gelap juga air terjunnya tetep terlihat tidak halus ya?
Sama seperti tidak pakai ND dengan waktu
eksposure 0.6s.
Jadi sensor tdk panas krn dpt kecepatan rana setara 240s saat memakai padahal kecepatan rana di kamera tetap 0.6s. Benerkah?
Atau saya tetap hrs setting kecepatan rana ke 240s meskipun sdh pakai ND400?
Misalkan lensa tanpa pakai filter, DSLR mencatat nilai shutter speed 0.6 detik. Perlu diketahui bahwa nilai shutter speed hasil hitungan DSLR itu BISA SALAH lho! Selain karena keterbatasan otak-nya DSLR, kan ya tergantung selera kita juga mau hasil fotonya lebih terang atau malah gelap. Ya toh? :D
Nah, kalau secara teori. Jika lensa dipasang filter ND400 (ini beneran filter ND400 yang kualitas gelapnya bagus lho!) dan didasarkan pada nilai shutter speed hitungan DSLR, shutter speed yang ideal itu benar 240 detik.
Tapi, sepengalamanku otak-nya DSLR UMUMNYA sering salah menghitung nilai shutter speed saat lensa dipasangi filter ND.
Jadi, mau nggak mau nilai shutter speed secara hitungan teorilah yang menjadi acuan. Tapi ya itu, kadang nilai shutter speed hasil hitungan teori pun juga nggak serta-merta menghasilkan eksposur yang pas. Intinya, butuh coba-coba dan nggak bisa berpaku pada satu nilai hitungan shutter speed.
Kalau lensa dipasang filter ND400 dan tetap memotret menggunakan nilai shutter speed 0.6 detik seperti saat sebelum dipasang filter ND, hasil fotonya ya malah jadi gelap. :D
Dana terbatas. Grad ND tdk jd pilihan.
Seumpama ND400 kurang gelap, kalau dananya memungkinkan bisa diakali dengan nambah satu filter ND8 biar totalnya ND400 + ND8 = ND1000
Saya baca 10 stop hasilnya lebih bagus, tapi butuh waktu yang lebih lama ya.
Oh iya, apa pernah coba merek Haida?