Senin sore (12/6/2017) menjelang Magrib, Sarang Penyamun mati listrik. Padahal ini bulan Ramadan. Jadi ya, terpaksalah aku dan yang lain berbuka puasa sambil gelap-gelapan. #sedih #sedih
Akibat mati listrik, niat buat salat tarawih di masjid dekat Sarang Penyamun pun pupus. Jadi, setelah salat Magrib aku pulang ke rumah. Nanti salat tarawihnya di dekat rumah saja lah.
Saat perjalanan pulang, aku sempat mampir ke Gereja Papringan. Ketemuan sebentar sama Pakdhe Timin. Ngambil motherboard yang sudah divonis mati sama sekalian ngintip gudang gereja yang disinyalir jadi sarang dhemit. [horor]
Aku tiba di rumah beberapa menit menjelang azan isya. Mandi kilat kemudian bersalin pakaian bebas keringat.
Sebetulnya, musala di samping rumah juga menyelenggarakan salat tarawih. Tapi, aku pingin suasana yang beda. Jadilah aku berjalan kaki ke arah Malioboro, nyari masjid di sekitar sana.
Malam itu, suasana menuju Jalan Malioboro cukup ramai. Lesehan warung Kopi Joss penuh pengunjung. Adapun di sepanjang sisi barat Jalan Margo Utomo (dulu Jalan Pangeran Mangkubumi), banyak wisatawan yang berlalu-lalang.
Serasa malam Minggu, padahal masih malam Selasa.
Apa mungkin karena sudah musim libur sekolah?
Di tengah keramaian itu, aku mempercepat langkah. Sirene teteg sepur Malioboro meraung keras. Palang pagar perlintasan bergerak menutup. Kereta api sebentar lagi lewat. Untung bapak petugas penjaga palang masih memperbolehkan aku nyeberang. #senyum.lebar
Setelah menyeberang teteg sepur, tibalah aku di muka Jalan Malioboro. Perjalanan pun berlanjut menyusuri Jalan Pasar Kembang, salah satu jalan “legendaris” di Kota Jogja.
Jalan Pasar Kembang (disingkat: Sarkem) sejak lama identik sebagai lokasi prostitusi. Gang esek-esek yang dimaksud bertempat di kampung Sosrowijayan Kulon. Sedangkan masjid yang menjadi tujuanku terletak di kampung Sosrowijayan Wetan. Aku melihat papan arah ke masjid di muka gapura kampung.
Berbeda dengan tetangganya, kampung Sosrowijayan Wetan sejak lama identik sebagai kawasan penginapan murah. Banyak rumah warga yang disulap menjadi penginapan. Papan-papan nama penginapan menggantung di sepanjang gang kampung. Beberapa kali aku juga sempat berpapasan dengan turis asing.
Suasananya serasa bukan di Jogja. Mungkin karena aku terlalu lama mengidentikkan Jogja sebagai kampung sederhana nan bersahaja. Sampai-sampai aku jadi ragu. Apa benar di kampung Sosrowijayan Kulon ini ada masjid yang bernama Nurul Huda?
Di muka suatu rumah, keraguanku mendadak sirna. Dua bocah laki-laki berdiri di ambang pintu. Di leher mereka terbelit sarung. Kepada orang di dalam rumah mereka izin pamit salat tarawih.
Aku berjalan di depan mereka. Sesekali melirik ke belakang. Memastikan apakah mereka juga berjalan searah denganku.
Tidak seberapa lama, lantunan ikamah terdengar. Tanda salat Isya akan segera dimulai. Masjid Nurul Huda pun tampak di pelupuk mata.
Berdiri di sisi gang yang lumayan sempit, bangunan masjid Nurul Huda terbilang sederhana. Sepintas, bangunan masjid tak ubahnya gedung dua tingkat. Tak ada kubah. Tak ada menara. Bahkan tak ada tempat parkir. Walaupun demikian, di dalam masjid terdapat tempat berwudu, aula mungil, dan juga ruang takmir.
Buatku, masjid Nurul Huda ibarat oase yang bisa menjernihkan pikiran dari hiruk-pikuk kampung Sosrowijayan dan juga mendekatkan seorang hamba kepada Sang Pencipta. #senyum
Tanpa canggung aku berbaur dengan jamaah lain. Jamaah dewasa menempati ruang salat di lantai dasar. Sementara anak-anak menempati ruang salat di lantai atas.
Selepas salat isya, pak imam salat memberikan ceramah singkat sebelum memulai salat tarawih. Isi ceramahnya sederhana, mengena, tanpa kesan menggurui, dengan intonasi yang lembut. Sebagaimana ketika beliau menegur seorang jamaah yang marah terhadap anak-anak yang berisik di lantai atas,
“Tidak apa-apa anak-anak lari-lari di masjid daripada mereka lari dari masjid. Karena mereka itulah generasi yang kelak memakmurkan masjid ini.”
Dalam ceramahnya beliau menceritakan tiga nasihat Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Tiga nasihat tersebut kurang-lebih adalah,
- Hiduplah sesukamu. Tapi ingat, kelak kamu akan mati.
- Cintailah sesukamu. Tapi ingat, kelak kamu akan berpisah dengannya.
- Berbuatlah sesukamu. Tapi ingat, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk kelak akan mendapatkan balasannya.
Ketika hendak memulai salat tarawih, pak imam salat bertanya ke para jamaah termasuk ke anak-anak apakah mau salat tarawih yang cepat atau yang lama. Sontak anak-anak di lantai atas menyeru,
“Yang pendek Pak! Biar cepet pulang!” #senyum.lebar
Dan salat tarawih pun berlangsung khidmat. Delapan rakaat salat tarawih diakhiri tiga rakaat witir dengan pembacaan surat Ar-Rahman yang ayat-ayatnya dibagi per rakaat.
Kira-kira pukul delapan kurang beberapa belas menit salat tarawih pun berakhir. Ini termasuk salat tarawih berjamaah tercepat dan terkhusyuk yang pernah aku ikuti.
Sambil menyusuri kembali gang kampung Sosrowijayan Wetan ke arah Jalan Pasar Kembang, aku mengamati rona kehidupan di sana. Tentang turis-turis yang bersenang-senang. Tentang anak-anak yang riang berlarian. Tentang manusia yang masih mengingat Tuhan di antara pekatnya kehidupan duniawi.
Sangat kontras memang. Akan tetapi aku menyukainya, menikmatinya, dan mensyukurinya dengan berucap pelan “Alhamdulillah” dari lubuk hati yang terdalam.
Inilah Sosrowijayan Wetan pada bulan Ramadan yang sudah memasuki babak tiga perempat final. #senyum
mas? :p
Enak baca ceritanya, ilustrasinya membantu
pembaca menyelami peristiwa malam itu di
Sosrowijayan wetan, keheningan tarawih di
tengah hiruk pikuk sampai sempat merekam
pesan ceramah :))
Padahal ilustrasinya aku gambarnya keburu-buru lho itu.
keren. Pesannya apalagi. Barakallah