Yogyakarta, hari Rabu (18/1/2017), pukul tujuh pagi.
Di penghujung Jalan Godean, aku berdiri di tugu pembatas jalan.
Di langit, cuaca tampak mendung berawan.
Di sekitarku, sepeda motor dan mobil ramai berseliweran.
Di pagi yang berhawa dingin itu, kutatap lekat-lekat jembatan yang membentang di atas Kali Progo seraya melantunkan salam dari dalam hati,
“Selamat Datang di Kulon Progo”
Kulon Progo.
Kabupaten yang terletak di barat Yogyakarta ini sudah lama mengawe-awe. Dengkul pun seia sekata, meraung-raung memohon tanjakan.
Sehingga dengan demikian, agenda bersepeda pada Januari 2017 ini adalah ke Kulon Progo. Adapun misi pada pagi hari ini cukup simpel. Bisa diringkas ke dalam empat kata, yaitu,
“Nanjak di Kulon Progo”
Dan tanjakan yang terpilih di antara sekian banyak tanjakan yang ada di Kulon Progo adalah tanjakan ke arah Gua Kiskendo. Nama resmi ruas jalan tanjakan ini adalah Jl. Gua Kiskendo.
Eh iya! Ini hanya sekedar bersepeda jauh lho!
Bukan termasuk kategori PEKOK! #hehehe
Awal di Girimulyo
Aku tiba di Kulon Progo dengan perut yang belum terisi. Jadi, sebelum melahap tanjakan Jl. Gua Kiskendo, ada baiknya aku mengisi bensin perut terlebih dahulu.
Kedua bola mataku mulai jelalatan mencari warung makan. Tapi sayang, pagi itu belum banyak warung yang buka. Yang sudah ready paling ya warung soto. Akan tetapi, pagi itu aku mendamba sarapan selain soto.
Akhirnya, aku menemukan warung lontong sayur yang sudah buka. Lokasinya nggak begitu jauh dari perempatan Nanggulan ke arah Sentolo. Rasa lontong sayurnya lumayan. Harganya juga murah. Cukup Rp5.000 perut pun puas. #senyum.lebar
Kalau ditanya apa nikmatnya hidup di Kulon Progo, makanan enak dan murah adalah salah satunya. #senyum
Dari warung lontong sayur aku bergegas mengayuh pedal menuju Jl. Gua Kiskendo. Petunjuk dari Google Maps serta kenangan yang belum sepenuhnya memudar aku gunakan sebagai panduan menanjak Perbukitan Menoreh.
Eh, kenangan?
Ya, aku pernah bersepeda melewati ruas jalan ini tiga tahun silam bersama Mbah Gundul dan Paris. Kini, hanya aku seorang diri yang kembali ke TKP.
Entah apa karena aku ingin bersepeda dalam kesendirian. Ataukah karena aku mengejar suatu pembuktian.
“Mbah! Aku berhasil bersepeda nanjak tanpa nuntun ke Kiskendo lho!”
Kira-kira, mungkin seperti itu....
SILAKAN DIBACA
Suasana di sepanjang Jl. Gua Kiskendo nggak jauh berbeda dengan ingatan tiga tahun silam. Masih alami khas pedesaan Yogyakarta. Masih asri dengan deretan rumpun bunga khas Girimulyo.
Sungguh suatu suasana yang aku harap tetap lestari untuk selama-lamanya.
Entah mengapa, di tengah pesatnya pertumbuhan wisata Yogyakarta (tak terkecuali di Kulon Progo #hehehe), terbesit rasa khawatir bahwa suasana pedesaan seperti ini nggak lama lagi akan bersalin rupa.
Semoga kekhawatiran itu nggak terwujud.
Aamiin....
Tanpa kusangka, di pinggir jalan aku melihat ada objek menarik. Aku lantas berhenti dan mengamati.
Objek itu mirip-mirip monumen. Mirip bangku juga. Catnya putih. Dihiasi motif batu. Lebarnya sekitar tiga meter. Tingginya paling dua meter. Di dekatnya ada dudukan tiang bendera.
Dari adanya lambang Praja Cihna yang bercat emas, aku yakin ini bukan objek sembarangan. Petunjuk kedua adalah tanggal yang tertera, 8 Sapar 1871 Dal atau 18 Maart 1940.
Maart itu Maret dalam bahasa Belanda kan?
Masak ya mini-Maart-ket? #hehehe
Berdasarkan tanggal tersebut, Google memberi petunjuk ketiga. Itu adalah hari suksesi penobatan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Sayang, petunjuk-petunjuk yang bisa kuhimpun hanya sebatas itu. Tapi, aku menduga monumen ini masih menyimpan banyak cerita. Ah, seandainya ia bisa berbicara.....
Tanjakan di Girimulyo
Selepas melewati Kantor Kecamatan dan Pasar Girimulyo tantangan yang sesungguhnya telah menanti.
“Halooo! Silakan menikmati tanjakan!”
Mungkin seperti itulah sapaan marka-marka jalan berwarna kuning kepadaku.
Kalau aku hitung-hitung, sepanjang tanjakan Jl. Gua Kiskendo ini ada tiga marka kuning. Tapi menurutku, jumlah marka kuningnya harusnya lebih dari tiga. Sebab, medan Jl. Gua Kiskendo itu kan menanjak terus. #hehehe
Pagi itu (masih) terasa dingin.
Mendung masih merundung langit.
Sinar mentari tak sampai membuat hangat.
Bulir-bulir gerimis turun memerciki kulit.
Benar-benar cuaca yang menggoyahkan semangat. #sedih
Meski demikian, bersepeda tetap harus lanjut.
Aku yakin, cuaca muram ini kan segera ingsut.
Sebab niat yang terpancang itu pantang untuk dicabut!
MARI NANJAK!
#semangat
Aku senang menantang diri. Terutama ketika bersepeda seorang diri, di tanjakan seperti ini.
Aku ingin tahu saja, sampai sejauh mana aku berkembang sejak bersepeda ke sini tiga tahun silam.
Apakah kuat bersepeda tanpa berhenti?
Apakah masih banyak nuntun?
Jawabannya adalah aku masih sering berhenti.
Ingin rasanya aku berteriak, memprotes kondisi tubuh yang rasanya jauh berbeda saat dahulu aku masih aktif ber-SPSS ria.
Dahulu, ketika bersepeda nanjak, rasanya jantung nggak berdegup sekencang ini.
Aku ngos-ngosan ketika melahap tanjakan. Padahal, kedua kaki rasanya masih sanggup untuk diajak mengayuh pedal.
Alhasil, di setiap tanjakan aku banyak menghabiskan waktu untuk berhenti. Aku mencoba mengatur irama detak jantung agar kembali normal.
Rasa-rasanya, kalau dipaksa nanjak terus jantung serasa mau copot.
Rasa-rasanya, lebih cepat menuntun sepeda daripada tetap mengayuh di tanjakan.
Apa aku terlampau memaksakan diri?
Salah satu tempat pemberhentianku adalah di seberang pos ronda.
Menyaksikan pos ronda ini mendadak membangkitkan kenangan. Tiga tahun silam, aku, Mbah Gundul, dan Paris sempat berteduh dari hujan deras di emperan bangunan di sebelah pos ronda.
Aku masih ingat, pada waktu itu pos ronda dipenuhi oleh berbagai hasil bumi. Dari penuturan seorang ibu yang ada di sana, pos ronda tersebut memang dipakai sebagai pos pengumpul hasil bumi warga desa. Sekarang pun sepertinya pos ronda tersebut masih difungsikan serupa.
Aku juga masih ingat, pada waktu itu kami bertiga menanti hujan reda sembari menyantap terang bulan (alias martabak manis #hehehe) yang dibawa Mbah Gundul.
Dan entah kenapa, pada malam hari saat menulis paragraf ini mendadak aku jadi kepingin makan terang bulan dan memutuskan keluar rumah sebentar untuk membeli terang bulan, gyahahaha. #senyum.lebar
Mari, makan terang bulan dari pertigaan Jl. Jambon dulu. #hehehe
Tompak View dan Tanjakan yang Masih Panjang
Jadi, sampai di mana kita tadi? #sambil.ngunyah.terang.bulan
Oh iya, setelah melewati pos ronda jalan masih tetap menanjak. Aku merasa tanjakannya lebih terjal dari semua tanjakan yang sudah aku lewati tadi. Entah karena staminaku yang sudah babak belur ataukah memang karena benar-benar terjal.
Yang jelas, sejauh ini aku masih memegang kuat prinsip untuk tidak menuntun sepeda.
Berhenti istirahat ya bolehlah. #hehehe
Akhirnya malah jadi keseringan berhenti kan?
Sekitar pukul setengah sepuluh siang aku disambut oleh sebuah papan di kanan jalan.
“Selamat Datang di Padukuhan Tompak”
Begitu tulisannya.
Ada rasa lega saat memasuki pemukiman warga. Itu karena bekal air minum sudah semakin menipis. Umumnya, mesti di pemukiman warga ada warung yang menjual air minum toh?
Kalau nggak ada warung ya apa boleh buat.
Mungkin harus menebalkan muka, mampir ke salah salah satu rumah, kemudian mengiba air minum? Hehehe. #hehehe
Nggak seberapa jauh dari papan selamat datang, aku lihat ada bangunan di sisi kiri jalan. Semacam pos ronda atau pos jaga. Yang jelas bisa dipakai untuk beristirahat.
Berhenti lagi deh aku. #hehehe
Tompak View
Itulah yang tertulis di papan dekat pos tersebut. Rasa-rasanya, tiga tahun silam belum ada tuh bangunan pos Tompak View ini. Apa akunya yang kurang perhatian ya?
Mungkin karena sekarang ini orang-orang pada keranjingan piknik, jadinya didirikanlah pos pengamatan Tompak View. Pemandangan bentang Kulon Progo dari Tompak View memang sedap dipandang mata.
Subhanallah!
Sejauh mata memandang, yang ada hijaaauuu semua!
Eh, masih ada warna biru sedikit dink dari langit yang mendung. #hehehe
Dan juga, Masya Allah!
Ternyata aku bersepeda nanjak sampai setinggi ini! Hahaha. #senyum.lebar
Lanjut bersepeda dari Dukuh Tompak.
Masuk wilayah Dukuh Gandu.
Jalan masih menanjak.
Tapi, prinsip bertahan di atas sadel tak lagi jadi candu.
Menuntun sepeda tak bisa kutolak.
Jaga-jaga, daripada nanti berakhir sendu. #hehehe
Di warung pinggir jalan aku berhenti (lagi) untuk menyetok perbekalan. Air minum 600 ml berganti penuh jadi 1,5 liter. Ini bikin aku merasa sanggup untuk melanjutkan bersepeda nanjak sekian puluh kilometer lagi, hahaha. #senyum.lebar
Eh iya, sempat beli camilan juga. Tapi ketinggalan di warung! Hehehe. #hehehe
Setelah empat jam bersepeda dari Kota Jogja, tanda-tanda tanjakan Jl. Gua Kiskendo bakal berakhir terlihat juga!
Di pinggir jalan berdiri dengan kokoh papan besar petunjuk arah Dishubkominfo. Ini tandanya, sebentar lagi bakal ketemu pertigaan. Di pertigaan itu, kalau belok kanan nanti bakal ketemu jalan menurun yang ujungnya balik ke dasar tanjakan di Perempatan Nanggulan.
Ah, jalan pulang sudah dekat...
Hah? Pu - lang?
Masih pukul setengah sebelas siang sudah mau pulang?
Sudah bersusah-payah bersepeda nanjak Girimulyo terus pulang?
Baru bersepeda 30 km dari rumah kepingin pulang?
Yakin pulang?
Ya, NGGAK DONG! #hehehe
Jadi, dari pertigaan itu aku mengambil cabang jalan yang lurus ke arah Gua Kiskendo, Waduk Sermo, Jatimulyo, dan Purworejo.
Tapi, sebenarnya sih cuma mau mampir ke Pasar Jonggrangan. Niatnya sarapan kedua alias brunch. Maklum, sehabis nanjak tadi perut sudah meronta-ronta minta diisi. #hehehe
Jadi, mari lanjut bersepeda ke Pasar Jonggrangan!
Petualangan hari ini masih berlanjut... di artikel selanjutnya! #senyum.lebar
Soalnya kalau digabung sama artikel ini nanti malah jadi kepanjangan. #hehehe
Sebentar deh ya, aku istirahat nulis dulu...
Selamat malam! #tidur
pegunungan,kanggoku sangat istimewa
amargo pancen aku lair neng daerah
iki.mugo2 wae sanak kadangku sing ijik
manggon neng tompak kene podo bregas
waras sak klgane....amin
memang kalau nanjak serasa jantung mau copot ... haha ...
nggak usah ikut nanjak