Seumur-umur hidup di Jogja, baru sekali ini aku berkesempatan masuk ke dalam kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Rasanya, bagaikan masuk ke dalam teritori “musuh”, hahaha. #senyum.lebar
Lebay banget! #hehehe
Jadi ceritanya, pada hari Minggu pagi (9/4/2017) itu aku ke UNY semata-mata untuk menghadiri acara “Sosialisasi Cagar Budaya dan Aspek-Aspek Kepurbakalaan” yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPCB) Yogyakarta dan Komunitas Malam Museum.
Acaranya bertempat di Museum Pendidikan Indonesia di dalam kawasan UNY. Peserta yang hadir di acara ini didominasi oleh para mahasiswa sejarah #serasa.salah.tempat #hehehe. Adapun setelah dari UNY acara bakal dilanjutkan dengan Kelas Heritage di Candi Sambisari.
Menarik toh? #senyum.lebar
Tur Singkat Museum Pendidikan Indonesia
Pada pukul setengah 8 pagi, sebelum acara sosialiasi cagar budaya dimulai, para peserta diajak untuk mengenal lebih dekat Museum Pendidikan Indonesia. Tentu dengan didampingi oleh para petugas museum.
Dijelaskan bahwa pendidikan di Indonesia itu sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu–Buddha. Hanya saja, pada zaman tersebut penyelenggaraan pendidikan formal terbatas untuk kalangan bangsawan dan anggota kerajaan. Sebab, mereka yang dididik adalah mereka yang kelak menjalankan roda pemerintahan.
Selain pendidikan formal ada juga pendidikan nonformal. Misalnya pendidikan untuk para seniman atau pengerajin. Pendidikan seperti ini umumnya diselenggarakan oleh para empu. Ada pula pendidikan agama yang diselenggarakan oleh para ahli agama. Metode pendidikan yang terakhir inilah yang hingga saat ini masih bisa kita jumpai di berbagai pusat kegiatan keagamaan.
Masuk ke era penjajahan kolonial. Pendidikan di Indonesia dari pihak Belanda bermula dari proses penyebaran agama nasrani. Pada saat pemerintah Belanda mengambil alih Indonesia dari VOC barulah pendidikan formal mulai mendapatkan perhatian. Meskipun begitu pendidikan di Indonesia masih diskriminatif karena berbeda kualitasnya untuk anak Belanda, anak Tionghoa, dan anak pribumi. #sedih
Pada masa penjajahan Jepang kondisi pendidikan Indonesia sedikit menjadi lebih baik. Jepang menghapuskan berbagai tingkatan dan diskriminasi yang diterapkan Belanda. Selain itu, Jepang juga memberikan kesempatan pembangunan madrasah. Walaupun ya tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang keputusan Jepang tersebut semata-mata karena ingin merebut hati bangsa Indonesia. #hehehe
Belum lengkap rasanya bicara tentang sejarah pendidikan Indonesia kalau belum menyinggung tokoh yang berjasa bagi perkembangan dunia pendidikan Indonesia. Siapa lagi kalau bukan Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. #senyum.lebar
Museum Pendidikan Indonesia memiliki satu ruangan yang khusus didedikasikan kepada Ki Hajar Dewantara. Di dalam ruangan ini tersimpan sejumlah foto dan dokumen yang berkaitan dengan beliau. Termasuk di antaranya adalah foto rumah beliau di Jalan Gajah Mada yang menjadi cikal bakal lahirnya Perguruan Taman Siswa.
Acara Inti Sosialisasi Cagar Budaya
Setelah para peserta dijamu dengan sejumlah kudapan pengganti sarapan #hadeh, pada pukul 9 pagi acara bincang-bincang “Sosialisasi Cagar Budaya dan Aspek-Aspek Kepurbakalaan” pun dimulai. Acara ini mengambil tempat di auditorium lantai 2 Museum Pendidikan Indonesia.
Dua orang narasumber dari BPCB Yogyakarta hadir pada kesempatan ini, yaitu Bu Wahyu Astuti dan Pak Ign. Eko Hadiyanto. Acara bincang-bincang ini dipandu oleh Erwin selaku founder Komunitas Malam Museum.
Di sesi presentasi pertama, Bu Astuti menjelaskan sejumlah poin terkait pengertian cagar budaya seperti yang tertuang pada UU No. 11 Tahun 2010. Bahwasanya, suatu hal dapat digolongkan ke dalam cagar budaya apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Berusia 50 tahun atau lebih
- Mewakili masa gaya paling singkat 50 tahun
- Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan
- Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa
BPCB sendiri berperan dalam hal pengelolaan, pelestarian, pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya.
Pada kesempatan ini Bu Astuti juga menjelaskan beberapa cara yang bisa digunakan untuk melestarikan rumah tradisional, yang mana merupakan benda cagar budaya yang umum dimiliki masyarakat. Yang perlu diperhatikan dari rumah tradisional adalah kondisi kayu yang akan menjadi lapuk dan rusak. Apabila pemilik rumah tradisional kesulitan untuk melakukan perawatan pada kayu-kayu tua tersebut bisa berkonsultasi ke pihak BPCB Yogyakarta.
Pada sesi presentasi kedua, giliran Pak Eko menjelaskan sejumlah poin mengenai aturan hukum yang berlaku bagi benda cagar budaya. Khususnya dalam hal penegakan hukum.
Perlu diketahui, meskipun saat ini sudah ada UU No. 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya, namun Peraturan Pemerintah (PP) untuk pelestarian cagar budayanya sendiri belum ada! Weh! Alasannya sih diduga kuat karena faktor politis karena kita paham bahwa benda cagar budaya itu kan bernilai tinggi. #hehehe
Karena belum adanya PP yang mengatur tentang pelestarian cagar budaya itu praktek pelestarian di lapangan pun menjadi kurang maksimal. Misalnya saja tentang kompensasi pajak bagi bangunan-bangunan tua di Yogyakarta yang hanya berjalan 1 – 2 tahun. Alasannya, lagi-lagi karena urusan birokrasi. #hehehe
Hal senada juga terjadi di bidang penegakan hukum. Sejumlah kasus yang melibatkan benda cagar budaya sebetulnya bisa diproses menggunakan UU cagar budaya agar hukuman yang ditimpakan pada pelaku bisa maksimal. Sayangnya, beberapa kasus perusakan benda cagar budaya masih diproses menggunakan KUHP. #sedih
Sesi tanya jawab dengan peserta pun turut menghadirkan hal-hal yang menarik. #senyum.lebar
Bu Astuti mengungkapkan bahwa BPCB Yogyakarta sangat-sangat terbuka bagi masyarakat umum. Silakan jika hendak berkunjung melihat-lihat koleksi ataupun membaca buku-buku referensi yang terdapat di kantor BPCB Yogyakarta di Jl. Solo km 15 (dekat bakul penjual es dawet, seberangnya bong supit #hehehe).
Tapi, sebelum berkunjung harap terlebih dahulu mengirimkan surat permohonan kunjungan ya! #senyum.lebar
Sedangkan terkait dengan kompensasi penemuan benda-benda cagar budaya, nilai kompensasi yang diberikan oleh pihak BPCB tidak terbatas pada nilai instristik, melainkan juga nilai-nilai lain seperti kelangkaan. Misalnya karena lebih langka, kompensasi untuk menhir yang ditemukan di luar Gunungkidul akan lebih tinggi dari menhir yang ditemukan di Gunungkidul.
Sehubungan dengan penemuan benda-benda yang diduga cagar budaya, harap untuk segera melaporkannya ke BPCB setempat. Karena ya kalau tidak dilaporkan dan apalagi dijual nanti bisa diperkarakan. #sedih
Menurutku acara sosialisasi ini cukup bagus untuk mengenalkan perihal cagar budaya kepada generasi muda. Sayangnya, materi presentasinya cenderung didominasi teks dan terasa membosankan. #hehehe
Saranku, mungkin pihak BPCB harus mengubah metode presentasi supaya tampak lebih menarik. Mengingat pesertanya kan juga anak-anak muda.
Yah, semoga setelah acara ini para peserta lanjut menularkan pentingnya pelestarian cagar budaya kepada yang lain. Aamiin....
NIMBRUNG DI SINI
-
#AVANT GARDESenin, 17 Apr 2017, 19:07 WIBaku pernah ke bpcb jambi bawa surat izin namun ditolak, huhuhuwah, BPCB Jambi nggak kawan itu Bang
-
#YUDHAKamis, 13 Apr 2017, 16:52 WIBMenarik sekali.Terima kasih. :D