HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Jelajah Sejarah Stasiun Maguwo Lama

Selasa, 4 April 2017, 00:09 WIB

Namanya Satria. Kepadaku, mahasiswa prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat ini bercerita bahwasanya dia sempat nyasar-nyasar saat mencari keberadaan Stasiun Maguwo Lama.

 

“Saya tanya ke orang-orang malah ditunjukinnya ke Stasiun Maguwo yang ada di dekat bandara Mas.”, ujarnya

 

 

Serupa seperti yang dialami Satria, Galih sang penyiar yang kebetulan berjalan di sebelah kami ikut nimbrung dengan kisahnya,

 

“Kalau di Google Maps malah lokasi Stasiun Maguwo itu dekatnya Lotte Mart Mas!”

 

WHAT!?

 


Waduh! Mbah Google sepertinya sudah pikun! Eling mbah! Eling!

 


Nah, ini lokasi Stasiun Maguwo Lama yang betul. Lokasi di Google Maps klik di sini.

 

Sambil melangkahkan kaki ke arah Stasiun Maguwo Lama, cerita rekan-rekan muda di atas itu jelas bikin aku bingung plus bertanya-tanya,

 

“Memang orang-orang beneran pada nggak tahu lokasi Stasiun Maguwo Lama ya?”

 

“Masak iya orang-orang tahunya Maguwo ya cuma sebatas stadion bola thok?”

 

“Apa malah... jangan-jangan... kalau banyak orang nggak tahu tentang Stasiun Maguwo Lama bisa-bisa sejarah Stasiun Maguwo Lama terlupakan?”

 

Gawat dong kalau gini ceritanya!? #sedih

 

 

Eh, tapi omong-omong... Stasiun Maguwo Lama itu apaan sih? #hehehe

 


Tampak belakang Stasiun Maguwo Lama. Penumpang masuk dari sini.

 

Yang dimaksud dengan Stasiun Maguwo Lama ya jelas stasiun kereta api tua yang penampakannya seperti foto di atas itu.

 

Klasik. Antik. Unik.

 

 

Stasiun Maguwo Lama dibangun pada tahun 1873 bersamaan dengan jalur kereta api lintas Jawa Tengah. Awalnya ukuran stasiun hanya sebesar pos kamling. Barulah pada tahun 1909 stasiun direnovasi menjadi mirip seperti pada foto. Stasiun ini menganut gaya arsitektur Indische langgam Tudor yang menyerupai rumah di pedesaan Eropa sana.

 

Seperti yang bisa dilihat pada foto. Stasiun Maguwo Lama terbuat dari kayu. Kayunya adalah kayu jati walaupun bukan jenis jati Belanda. Perlu diketahui, Stasiun Maguwo Lama adalah satu-satunya stasiun berkonstruksi kayu yang masih berdiri utuh di provinsi DI Yogyakarta.

 

Wow! Hari gini masih eksis bangunan stasiun dari kayu!?

Umumnya sekarang ini bangunan stasiun kan terbuat dari batu bata toh?

 

Menarik. Menarik. Menarik. #senyum.lebar

 


Hiasan sulur-suluran di atap Stasiun Maguwo Lama.

 

 

Ada Stasiun Maguwo Lama, Ada Stasiun Maguwo Baru

Nama asli stasiun ini sebetulnya ya hanya Stasiun Maguwo thok tanpa ada embel-embel kata “Lama”. Maguwo(harjo) sendiri adalah nama desa di Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.

 

Stasiun ini kemudian dipanggil Stasiun Maguwo Lama karena ya... karena saat ini sudah ada Stasiun Maguwo yang baru, hehehe. #hehehe

 

 

Stasiun Maguwo Baru berdiri pada tahun 2008. Letaknya sekitar 300 meter di timur Stasiun Maguwo Lama. Persis di seberangnya area parkir kendaraan pengunjung Bandara Adisucipto.

 

Dengan berjalan kaki menyusuri rel kereta api dari Stasiun Maguwo Baru ke arah barat nanti ya bakal menjumpai Stasiun Maguwo Lama. Hanya saja “jalan normal”-nya nggak ada. Lha, kalau jalan di atas rel nanti bisa-bisa diseruduk sama kereta lewat dong? #hehehe

 


Stasiun Maguwo Baru yang lokasinya dekat parkiran Bandara Adisucipto.
Foto dari Wikipedia.

 

Boleh dibilang akses jalan normal menuju Stasiun Maguwo Lama itu agak tricky alias mblusuk-mblusuk masuk kampung. Panduannya itu:

 

  1. Posisikan diri di Jl. Adisucipto, di pertigaan Bandara Adisucipto, arah ke Kota Yogyakarta
  2. Jalan lurus terus melewati parkiran Bandara Adisucipto
  3. Ketemu kantor Imigrasi Yogyakarta masih lurus lagi
  4. Ketemu kantor PT Angkasa Pura masih lurus lagi
  5. Ketemu lapangan bola Angkasa Pura masih lurus lagi
  6. Jalan pelan-pelan, bakal ada pertigaan di sisi kiri jalan dekat RM Hegar
  7. Belok kiri di pertigaan itu kemudian jalan lurus mentok sampai ketemu rel kereta api
  8. Selanjutnya belok kanan lurus terus sampai ketemu bangunan Stasiun Maguwo Lama   

 

Gampang kan? Kira-kira 3 menit lah kalau dari pertigaan Jl. Adisucipto. Kalau nggak salah, beberapa tahun silam di pertigaan itu aku masih melihat ada papan petunjuk arah ke Stasiun Maguwo Lama. Tapi sewaktu aku ke sana papannya sudah nggak ada. #sedih

 


Penampakan Stasiun Maguwo Lama saat awal dinonaktifkan.
Foto milik Shirko di forum Kaskus.

 

Dengan dibangunnya Stasiun Maguwo Baru, moda transportasi udara dengan kereta api menjadi terintegrasi. Penumpang pesawat atau kereta pun jadi mudah pindah angkutan umum. Wis do padha mudeng toh? #hehehe

 

Jadi ya begitu. Setelah adanya Stasiun Maguwo Baru dan jalur rel ganda (double track), pada tahun 2008 Stasiun Maguwo Lama pun dinonaktifkan. Tidak ada lagi kereta api yang berhenti di sini. Tidak ada lagi geliat aktivitas yang membuat stasiun ini hidup. Stasiun ini pelan-pelan berubah menjadi sekedar bangunan tua di pinggir rel.

 

Lumrah kan bilamana orang-orang lambat laun mulai melupakan keberadaan Stasiun Maguwo Lama?

 

Sedih deh ceritanya... hiks... #sedih

 

 

Kelas Mewarnai Indonesia di Stasiun Maguwo Lama

Nah, daripada terjebak dengan yang sedih-sedih, pada hari Minggu pagi (2/4/2017) yang lalu aku ikutan nimbrung di acara “Kelas Mewarnai Indonesia: Seri Menulis & Jelajah Heritage” yang bertempat di Stasiun Maguwo Lama.

 

Eh iya, walaupun di nama acaranya ada kata “mewarnai” tapi ini BUKAN acara melukis, menggambar, mewarnai, dan semacamnya itu lho! #hehehe

 

 

“Mewarnai Indonesia” di sini maksudnya adalah membuat Indonesia lebih berwarna dengan kegiatan-kegiatan yang positif, damai, dan kreatif melalui kanal media sosial. Harapannya peserta menjadi lebih peduli dengan Indonesia sekaligus mencegah diri dari perilaku yang negatif seperti terorisme, radikalisme, narkoba, kriminalisme, dan lain sebagainya.

 

Indonesia kan ya memang berwarna-warni. Nggak sebatas hanya dihuni sama golongan A dan golongan B. #hehehe

 


Pembukaan acara Kelas Mewarnai Indonesia di bekas ruang tunggu penumpang.

 

Kelas Mewarnai Indonesia ini merupakan kerja sama bareng sejumlah pihak seperti:

 

  1. Duta Damai Yogyakarta
  2. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
  3. Pusat Media Digital
  4. PT Kereta Api Indonesia
  5. Dinas Kominfo DIY
  6. Dinas Kebudayaan Sleman
  7. Komunitas Malam Museum
  8. Komunitas Roemah Toea
  9. Masyarakat Digital Jogja

 

Punggawa dari acara ini adalah Mbak Elsa yang notabene adalah mbaknya Mbak Puput yang sekaligus merangkap jadi temannya Denmas Brindhil. Aku sendiri datang ke acara ini karena diundang sama Mbak Pipit yang dahulu kala ikut sibuk mengurusi Kelas Heritage di Candi Borobudur.

 

Yah... ternyata dunia pertemanan itu hanya sebatas daun kelor, wekekeke. #senyum.lebar

 


Foto jadul para peserta Kelas Mewarnai Indonesia.
Foto milik Pojok Damai.

 


Totalitas memotret dari tengah rel. #senyum.lebar

 


Kereta Argo Lawu
numpang "ngiklan" di sesi pemotretan. #hehehe

 

 

Stasiun Maguwo Lama Saksi Agresi Militer

Setelah sambutan dari Mbak Elsa, Mas Hari (dari komunitas Roemah Toea), dan Pak Bhurhani (Kepala Stasiun Maguwo Baru) rombongan peserta dan tamu undangan pun dipecah menjadi 2 kelompok yaitu kelompok menulis dan kelompok foto/video.

 

Aku sendiri ikut gabung di kelompok menulis di bawah asuhan duet dinamis Aga dan Lengkong. Keduanya merupakan anggota komunitas Roemah Toea yang sudah fasih dengan sejarah Stasiun Maguwo Lama.

 

Ibarat buku sejarah berjalan lah mereka berdua ini, wekekeke. #senyum.lebar

 


Geli melihat duet Aga sang juru cerita (baju lurik) dan Lengkong sang arsip foto (kacamata)
Aga: Ngkong! Peta Ngkong!
Lengkong: Sik, nang ngendi yo?

 

Perjalanan mengupas sejarah Stasiun Maguwo Lama dimulai dari peron stasiun. Tepat di belakang kami adalah landasan pacu (runway) Bandara Adisucipto yang ramai oleh burung-burung besi yang terbang dan mendarat.

 

Sejarah Stasiun Maguwo Lama rupanya masih berhubungan dengan peristiwa yang duluuuuu pernah terjadi saat Bandara Adisucipto masih bernama Lapangan Udara Maguwo.

 

 

Seperti yang pernah kita pelajari di sekolah, pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda mengingkari Persetujuan Renville dan melancarkan serangan ke Yogyakarta. Peristiwa ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II dengan kode sandi Operasi Gagak.

 

Kenapa Belanda menyerang Indonesia lagi?
Itu karena Belanda nggak ikhlas Indonesia merdeka. Masih hobi njajah. #hehehe

 

Kenapa Belanda menyerang Yogyakarta?
Itu karena pas waktu itu pusat pemerintahan Indonesia ya di Yogyakarta.

 


Lokasi yang disinyalir adalah pemakaman masal korban agresi militer.

 

Kembali ke tanggal 19 Desember 1948. Pada pukul 9 pagi, Lapangan Udara Maguwo sukses dikuasai oleh tentara Belanda. Kadet Kasmian yang sewaktu itu bertugas piket dengan dibantu oleh 40 personil dan peralatan yang seadanya nggak berkutik melawan tentara Belanda yang berjumlah ratusan dan dibantu serangan udara. #sedih

 

Setelah menguasai Lapangan Udara Maguwo, langkah Belanda selanjutnya adalah menguasai jalur darat. Stasiun Maguwo Lama yang hanya berjarak sepelemparan batu dari Lapangan Udara Maguwo pun menjadi sasaran empuk.

 

Menurut penuturan warga sepuh, warga sempat memberikan perlawanan saat tentara Belanda menjamah Stasiun Maguwo Lama. Karena perbedaan kekuatan yang njomplang, sejumlah warga tak ayal merenggang nyawa. Konon, korban yang tidak diketahui identitasnya dikuburkan massal di tanah kosong dekat stasiun yang kini ditumbuhi pohon kamboja.

 

 

Peninggalan yang Tersisa di Sekitar Stasiun Maguwo Lama

Aga dan Lengkong pun mengajak kami melihat-lihat peninggalan Stasiun Maguwo Lama yang masih tersisa.

 

Di dekat situs pohon kamboja tampak sumur yang dahulu kala adalah bekas toilet. Tak jauh dari bekas toilet ada tiang telegraf yang walaupun sudah berkarat tapi masih komplit dengan jaring kawat pelindung.

 


Bekas kamar mandi. Sumur timba tidak pernah absen.

 


Cagak tiang bendera. Dahulu kala Stasiun Maguwo Lama terlihat jelas dari jalan raya.

 

Bergerak ke sisi barat stasiun, Aga menunjukkan kepada kami bekas cagak tiang bendera yang kini tak ubahnya penghias kandang ayam. Aga juga menunjukkan lokasi bekas gudang gula yang tinggal tersisa pondasinya saja.

 

Perlu diketahui, Stasiun Maguwo Lama dahulu kala difungsikan sebagai stasiun angkut produk gula yang diproduksi PG Wonocatur. Gula-gula produksi PG Wonocatur tersebut disimpan di gudang sebelum diangkut pakai kereta api.

 

Kini, PG Wonocatur juga sudah tinggal kenangan. Bangunannya sudah bersalin rupa menjadi Museum Dirgantara Mandala.

 


Pondasi bekas gudang gula yang ambruk saat gempa bumi tahun 2006.

 


Gudang Pupuk Sriwijaya
yang berada tidak jauh dari Stasiun Maguwo Lama.

 

Aga kemudian mengajak kami menyambangi salah satu rumah yang berada nggak jauh dari Stasiun Maguwo Lama. Eh, mungkin lebih tepat kalau disebut bekas rumah sih. Soalnya ya... yang terlihat oleh mata telanjang hanya rumah yang kondisinya sudah porak-poranda. #sedih

 

Aga bercerita bahwa rumah tua ini dahulunya adalah rumah dinas Kepala Stasiun Maguwo Lama. Almarhum Pak Narso (Kepala Stasiun Maguwo Lama masa jabatan 1955 – 1970) tercatat sebagai penghuni terakhir rumah bergaya Indische ini. Rumah ini diyakini sudah berdiri sejak tahun 1938 sesuai dengan cetakan angka tahun di kayu atap yang pernah dilihat Aga.

 

Sayang kami tidak bisa menjelajah bekas rumah dinas Kepala Stasiun Maguwo Lama ini karena pada pagi itu putra Pak Narso yang bernama Pak Lakso selaku pemegang kunci gerbang rumah sedang pergi. #sedih

 


Bekas rumah dinas Kepala Stasiun Maguwo Lama yang kondisinya mengenaskan.

 

Kalau katanya Aga sih rumah dinas ini dilengkapi 2 kamar utama, halaman belakang, dan 2 kamar terpisah sebagai dapur dan kamar pembantu. Batu bata yang digunakan lebih besar dan produk impor dari Belanda. Kalau batu bata lokal hanya sekedar bisa bikin kepala benjol, kalau batu bata Belanda bisa bikin gegar otak, hehehe. #hehehe

 

Oh iya, bekas gudang gula dan bekas rumah dinas ini juga rusak parah sewaktu terjadi bencana gempa bumi Yogyakarta – Jawa Tengah pada tahun 2006 silam. #sedih

 

 

Rel SS dan Rel NIS di Stasiun Maguwo Lama

Nggak afdol rasanya ngobrolin tentang sejarah perkeretaapian di Yogyakarta kalau belum menyinggung perusahaan yang mengoperasikan kereta api. Jujur ya, aku baru tahu kalau pada zaman dulu perusahaan kereta api di Indonesia itu ADA BANYAK!

 

Nggak seperti sekarang yang dimonopoli oleh PT Kereta Api Indonesia thok. #hehehe

 

 

Di Yogyakarta sendiri ada 2 perusahaan yang turut meramaikan kancah perkeretaapian, yaitu:

 

  1. Staatsspoorwegen
    Singkatannya SS. Ini adalah perusahaan kereta api milik negara.
  2. Nederlandsch-Indische Spoorwegmaatschappij
    Singkatannya NIS. Ini adalah perusahaan kereta api swasta.

 

Karena ada dua perusahaan kereta api jadi ya sudah jelas dong kalau setiap perusahaan punya kereta, rel, dan stasiunnya masing-masing!

 

Ada kereta SS. Ada kereta NIS.
Ada rel SS. Ada rel NIS.
Ada stasiun SS. Ada stasiun NIS.

 

Ada juga rel dan stasiun yang saling berbagi kepemilikan dan penggunaan. Seperti Stasiun Tugu Yogyakarta itu peron utara dahulu miliknya SS sedangkan peron selatan miliknya NIS. Kalau Stasiun Lempuyangan itu 100% miliknya NIS.

 

Beda Rel NIS dan SS...

Yang membedakan rel NIS dan rel SS itu salah satunya adalah lebar rel (gauge). Rel NIS memakai ukuran gauge 1.435 mm sementara rel SS ukuran gauge-nya 1.067 mm. Keretanya NIS nggak bisa jalan di relnya SS. Tapi, keretanya SS bisa jalan di relnya NIS dengan modifikasi tambahan batang besi yang melintang vertikal di tengah rel NIS.

 

Sedangkan Stasiun Maguwo Lama?

 

Stasiun Maguwo Lama dahulunya adalah stasiunnya NIS dan termasuk stasiun kecil. Alhasil, hanya kereta-kereta ekonomi yang berhenti di Stasiun Maguwo Lama.

 

Walaupun begitu, dahulu Stasiun Maguwo Lama juga difungsikan sebagai stasiun pengawas kereta ekspres milik SS yaitu Eendaagsche Expres (1929) dan Java Nacht Expres (1936). Kereta ekspres itu kalau pada zaman sekarang ya setara dengan kereta eksekutif gitu lah.

 

Eendaagsche Expres beroperasi pada siang hari sementara Java Nacht Expres beroperasi pada malam hari. Java Nacht Expres dengan rute Batavia – Soerabaia kelak menjadi cikal bakal lahirnya kereta eksekutif Bima. #senyum

 

Oh iya, Aga juga cerita bahwa kereta ekspress di era kolonial itu dilengkapi pendingin udara yang bahan bakunya berupa es balok! Jadi, setiap berhenti di stasiun selain mengisi bahan bakar kereta juga menyetok ulang persediaan es balok. Bekas pabrik es di wilayah Yogyakarta salah satunya berada di Jl. Tentara Pelajar dekat dengan SMA 17-1.

 


Berjalan kaki menyusuri jejak sejarah Stasiun Maguwo Lama. #senyum.lebar

 


Jalan kampung yang pada zaman dahulu merupakan jalur rel SS.

 

Walaupun Stasiun Maguwo Lama merupakan stasiun NIS, tapi stasiun ini juga dilalui oleh relnya SS. Meskipun ya boleh dibilang kalau relnya SS itu hanya sekedar “say hello” sih. #hehehe

 

Rel kereta api modern yang saat ini melintasi Stasiun Maguwo Lama dahulunya adalah relnya NIS. Sedangkan relnya SS saat ini sudah hilang lenyap tak bersisa. Meski demikian posisi jejaknya masih bisa kita endus dari jalanan kampung.

 

Bersama Aga dan Lengkong, kami pun menyusuri jalanan kampung bekas rel SS menuju ke lokasi di mana dahulu kala rel NIS dan rel SS bercabang. Rel NIS melewati Stasiun Maguwo Lama sementara rel SS menjauhi stasiun. Kedua rel ini nantinya bersilangan kembali di bekas flyover di dalam kompleks AAU.

 


Dahulu kala di tempat ini ada dua jalur rel yang bercabang seperti ilustrasi pada foto.
Jalur warna kuning adalah jalur rel SS.

 

Di tanah kosong yang banyak ban bekas ini Aga melanjutkan ceritanya tentang sejarah perkeretaapian Indonesia. Bagaimana jalur-jalur kereta api yang sudah direncanakan oleh Belanda bubar berantakan tatkala Jepang gantian menjajah Indonesia pada era Perang Dunia kedua.

 

Jepang mengeliminasi jalur-jalur kereta api yang dianggap tidak efisien. Rel-rel di jalur tersebut kemudian diangkut ke Myanmar dan Thailand untuk membangun jalur kereta api di sana. Tentu pekerja-pekerja di sana membangun jalur kereta api dengan kerja paksa yang kita kenal dengan sebutan romusha. #sedih

 

Suasana kerja paksa pembangunan jalur kereta api di Myanmar dan Thailand itu digambarkan secara apik pada film Bridge on River Kwai.

 


Aga sedang menceritakan kisah Stasiun Tugu di masa lampau.
Bahwa dahulu Gubernur Hindia Belanda terakhir pernah singgah di Yogyakarta.

 

Perjalanan menjelajah sejarah di seputar Stasiun Maguwo Lama akhirnya berakhir kembali di bangunan stasiun. Sesuai janji, Aga memperlihatkan kepada kami tegel asli stasiun di bekas ruangan PPKA.

 

Meskipun seluruh lantai Stasiun Maguwo Lama kini dilapisi keramik modern, kita masih dapat melihat tegel asli yang tersembunyi di bawah papan kayu. Keberadaan papan kayu ini semata-mata untuk menutupi lubang besar yang dahulunya merupakan tempat mesin persinyalan.

 

Tegel asli Stasiun Maguwo Lama ini bermotif kotak-kotak dengan dua ceruk jalur air yang saling bersilangan. Motif tegel yang seperti ini katanya supaya tidak licin saat terpapar air. Katanya lagi tegel-tegel ini adalah produksi luar negeri. Sebab, untuk urusan bangun-membangun, Belanda selalu menguatamakan kualitas bahan nomor satu. #senyum.lebar

 


Tegel lama stasiun yang masih sedikit terlihat.

 


Papan kayu yang kini menutupi lubang bekas tempat mesin persinyalan.

 


Lubang menganga bekas tempat mesin persinyalan.
Foto milik Shirko di forum Kaskus.

 

 

Menanti Sejarah Baru Stasiun Maguwo Lama

Pada tahun 2017 ini, usia Stasiun Maguwo Lama sudah lebih dari 100 tahun. Selama ratusan tahun tersebut, tentu stasiun ini menjadi saksi bisu berbagai peristiwa yang terjadi di sekitarnya.

 

Tidak hanya periode perjuangan kemerdekaan saja. Pada tahun 1955 stasiun ini juga menjadi saksi tatkala sang proklamator bangsa kita, Pak Soekarno, bertolak dari Stasiun Maguwo Lama menuju Purwokerto dengan menumpang kereta luar biasa. Sayang, dokumentasi foto-fotonya hilang karena gempa bumi tahun 2006 silam. #sedih

 

Stasiun Maguwo Lama juga pernah menjadi latar film Janur Kuning produksi tahun 1977 lho! #senyum

 


Personil kelompok menulis dibawah asuhan Aga dan Lengkong. #senyum.lebar

 

Pada hari Minggu itu Stasiun Maguwo Lama terasa lebih hidup dari biasanya. Keceriaan kami seakan meniupkan nyawa baru bagi stasiun yang (Alhamdulillah!) dikonservasi pada tahun 2013 itu.

 

Meski sudah dikonservasi, sungguh miris rasanya ketika mendengar kabar bahwa selama ini aktivitas bersih-bersih Stasiun Maguwo Lama hanya bertumpu pada orang-orang yang sukarela membantu. Beruntunglah ada Komunitas Roemah Toea yang para personilnya bersedia turun tangan dengan menyapu, mengepel, serta menyiangi rumput liar. Baru-baru ini katanya Mas Hari juga menyuntikkan obat ke sejumlah tiang yang sudah mulai digerogoti rayap.

 

Dengan kepedulian kami yang hanya ala kadarnya ini, entah sampai kapan Stasiun Maguwo Lama bisa bertahan. Aku pribadi berharap, dengan usaha kami dan juga dengan artikel ini Stasiun Maguwo Lama akan tetap lestari.

 

Setidaknya, kisah-kisah sejarah seputar Stasiun Maguwo Lama dapat kami estafetkan ke generasi selanjutnya. Alhamdulillah jika kiranya kelak mereka mengukir sejarah baru untuk stasiun ini. Tentu saja sejarah yang membanggakan. Bukan sejarah yang sekilas hadir untuk kemudian... terlupakan. #sedih

 

 

Akhir kata, terima kasih untuk semua yang sudah mengenalkan aku lebih dekat dengan Stasiun Maguwo Lama. #senyum.lebar

 

Terus... tujuan kita berikutnya ke stasiun tua yang mana ya?

 

Stasiun Kalasan mungkin? #hehehe

 

Eh, tapi kan Stasiun Kalasan itu sekarang....

 

Catatan:
Terima kasih kepada Mas Hari dari Komunitas Roemah Toea untuk koreksinya. #senyum

NIMBRUNG DI SINI