HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Ikut Pakdhe Prap Motret Waisak di Candi Borobudur

Kamis, 24 Januari 2008, 21:12 WIB

Aku sudah lama ingin memotret acara Waisak di Candi Borobudur. Alhamdulillah, pada hari Sabtu (13/5/2006) yang lalu kesempatan itu akhirnya datang juga. Bersama Pakdhe Prap aku pergi melihat acara Waisak di Candi Borobudur naik mobil Honda yang usianya lebih uzur dari usiaku.

 

Pakdhe Prap adalah pamanku yang hobinya memotret. Beliau adalah kakak tertua nomor duanya Bapak. Kebetulan pada minggu Waisak ini Pakdhe Prap sedang ada di Jogja karena berjadwal tugas mendampingi Eyang.

 

 

Kami berangkat dari rumah pukul setengah enam pagi kurang. Alhamdulillah cuaca cerah. Gunung Merapi pun terlihat jelas menghiasi langit di utara Kota Jogja.

 

Nah, berhubung Gunung Merapi sedang terlihat jelas, sebelum menuju ke Candi Borobudur kami sempat singgah di suatu area persawahan di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Kalau nggak salah, persawahan ini berada di pinggir jalan menuju lokasi Golf Merapi sebelum dam Kali Kuning.

 

Di tengah pematang sawah Pakdhe Prap memotret kemolekan Gunung Merapi menggunakan DLSR Canon EOS 5D. Pakdhe Prap sangat senang memotret Gunung Merapi. Seringkali Pakdhe Prap pergi di pagi buta hanya untuk memotret Gunung Merapi dari sekitaran Cangkringan. Aku sendiri karena nggak punya DSLR jadinya memotret dengan kamera saku Canon Powershot A620.

 

 

Kami sampai dengan selamat di Candi Borobudur sekitar pukul delapan pagi lebih sedikit. Walaupun ini hari Sabtu dan sekaligus hari Waisak aku perhatikan pengunjung Candi Borobudur masih sedikit. Mungkin karena masih pagi ya?

 

Sama seperti para pengunjung yang lain, aku dan Pakdhe Prap mulai mengelilingi Candi Borobudur. Nggak lupa sambil diselingi kegiatan memotret-motret. #senyum.lebar

 

Semakin siang pengunjung Candi Borobudur pun semakin banyak. Sejumlah pengunjung ada yang mengenakan seragam ibadah umat Buddha. Mungkin mereka adalah peserta acara Waisak pada hari ini.

 

 

Kami pun tiba di lapangan luas yang terletak di sisi barat laut Candi Borobudur. Rupanya di tempat inilah acara Waisak akan dilangsungkan.

 

Di lapangan ini berdiri panggung yang lumayan besar. Panggungnya apik dihiasi oleh rangkaian bunga dan penjor. Di tengah panggung terpajang patung Buddha emas.

 

 

Sejumlah panitia acara terlihat sibuk mempersiapkan panggung. Salah satu dari mereka berkata bahwa acara Waisak baru akan dimulai selepas siang. Wah, pantas saja nggak terlihat adanya para biksu di tempat ini.

 

Karena waktu pelaksanaan acara Waisak masih lama jadinya aku dan Pakdhe Prap memutuskan untuk membuang waktu dengan makan dan salat. Kami pun meninggalkan Candi Borobudur dan bertolak ke Kota Magelang. Kami mengisi perut di warung sate kambing yang terletak nggak begitu jauh dari Bukit Tidar.

 

 

Kami tiba kembali di Candi Borobudur mendekati pukul dua siang. Suasana Candi Borobudur sudah mulai ramai. Panggung acara pun mulai dipadati oleh umat dan juga para biksu.

 

Di seputar lapangan ini Pakdhe Prap bertemu dengan seorang kawannya yang juga berniat memotret acara Waisak. Bedanya kawan Pakdhe Prap ini nggak memotret menggunakan DSLR, melainkan kamera medium format. Kata Pakdhe Prap kamera jenis medium format itu lebih berat daripada DSLR.

 

 

Lagi-lagi, karena pada siang hari itu Gunung Merapi masih terlihat jelas, jadinya Pakdhe Prap beserta kawannya dan sejumlah pehobi foto lain serempak memotret penampakan keindahan alam yang cukup langka tersebut.

 

Aku sendiri juga sempat memotet Gunung Merapi dari puncak Candi Borobudur. Untungnya lensa kamera sakuku masih bisa mengabadikannya dengan besar dan jelas.

 

Kalau melihat dari foto seakan-akan puncak Gunung Merapi itu sangat dekat bahkan bisa dijangkau dengan tangan. Apakah mungkin ini yang menjadikan Pakdhe Prap kecanduan memotret Merapi ya? #senyum.lebar

 

 

Acara Waisak dimulai pukul empat sore lewat. Kondisi Candi Borobudur semakin ramai oleh umat dan juga pengunjung. Aku pun kesulitan untuk mengabadikan momen di Candi Borobudur. Jadinya aku hanya menjadi penonton saja.

 

Aku kurang begitu paham rangkaian acara Waisak. Pada saat itu acaranya kebanyakan hanya pembacaan doa dan ceramah. Menurutku ya bukan objek foto yang menarik. Tapi senggaknya aku jadi punya gambaran seperti apa acara Waisak yang merupakan ritual ibadah umat Buddha itu.

 

 

Pukul enam sore kami pun meninggalkan Candi Borobudur dan pulang ke Kota Jogja. Kondisi jalanan di sekitar Candi Borobudur macet-cet-cet karena pinggir-pinggir jalan dipadati oleh mobil-mobil yang parkir.

 

Akan tetapi, yang membuat suasana macet ini menjadi terasa “agak” syahdu adalah keberadaan obor-obor di pinggir jalan. Seandainya suasana seperti ini terjadi puluhan tahun silam sebelum mobil-mobil marak mungkin ya bakal terasa lebih syahdu ya? #senyum.lebar

 

 

Jadi begitulah pengalaman memotret acara Waisak di Candi Borobudur. Dengan banyaknya manusia yang memadati Candi Borobudur, memotret pada momen ini jelas bakal terasa kurang nyaman. Tapi memang sebetulnya acara Waisak itu kan ya fokusnya untuk beribadah toh? #hehehe

NIMBRUNG DI SINI