HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Nanjak ke Gua Jepang Pundong Bareng Mari Kita Dolan

Kamis, 4 Februari 2016, 07:18 WIB

Semua bermula dari senggol-menyenggol komentar di media sosial antara aku dan Indra sang punggawa blog Mari Kita Dolan. Sepertinya cocok tuh kalau satu hari di akhir Desember 2015 silam (yang hari liburnya dempet-dempetan itu) dipakai untuk sepedaan. #senyum.lebar

 

Berhubung aku kalau memilih rute sepeda ujung-ujungnya pasti bakal “begitu” (Pembaca artikan sendiri lah ya #hehehe), alhasil aku pasrahkan saja deh ke Indra perkara mau dibawa ke mana sepeda kita. #nyanyi Eh, malah Indra menjawabnya manut-manut. Weleh, repot ini!

 

Apa boleh buat. Memutar otaklah aku memilah-milih rute sepeda. Aku tanya mau rute datar atau nanjak. Dijawab Indra nanjak boleh asalkan manusiawi. Waduh! Tanjakan manusiawi itu yang macam mana ya Ndra? #bingung

 


Bersepeda ke Parangtritis sih sudah biasa. Nah, kalau bersepeda ke Gua Jepang di Pundong?

 

Setelah mencari inspirasi sambil ngendog, akhirnya mencuatlah ide bersepeda ke Gua Jepang di Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul. Selain karena aku merasa sudah lama bingits nggak menyapa wilayah Pundong, Gua Jepang ini aku pilih karena lokasinya masih di seputar Bantul (yang notabene daerah kekuasaannya tim Mari Kita Dolan) plus... ya... ada tanjakannya #hehehe.

 

Eh, eh, eh, tapi tanjakan Gua Jepang Pundong ini menurutku sih manusiawi ya. Dengar-dengar hanya perlu menempuh sekitar 3 km jalan nanjak. Lagipula, aku belum pernah tahu cerita kalau tanjakan Gua Jepang Pundong ini lebih jahanam dibanding tanjakan Mangunan atau tanjakan Cinomati.

 

Dari Jogja Menuju Pundong

Jadilah di hari Kamis pagi (24/12/2015) yang bertepatan dengan libur Maulid Nabi Muhammad SAW, aku bersama tim Mari Kita Dolan ~ Male Version (Indra, Novi, Charsidi, dan Yudho) berangkat bersepeda menuju Gua Jepang Pundong dari Pasar Jejeran, Pleret pukul 6 pagi.

 

Kalau dolan sama anak-anak muda ini, aku jadi sregep bangun pagi. Kalau sama kawan-kawan sepuh eks-SPSS sih janjian pukul 6, berangkatnya setengah 8, gyahahaha. #senyum.lebar

 


Persawahan Pundong yang mendung di pagi hari.

 

Perjalanan dari Pasar Jejeran menuju Pundong terbilang was-wus-was-wuus. Sampai di wilayah Pundong sekitar pukul 7 pagi. Kemudian langsung mengarah ke Kali Opak. Lebih tepatnya, mencari jembatan penyebrangan untuk berpindah sisi ke wilayah Pundong yang ada di seberang selatan Kali Opak.

 

Weh! Kagetlah aku pas sampai di jembatan. Dulu banget, aku ngertinya jembatannya ini ya jembatan gantung yang warnanya kuning. Eh, nggak bener-bener jembatan gantung juga sih. Soalnya jembatannya ya masih pakai pondasi kaki beton di Kali Opak juga.

 


Jembatan lama Pundong yang menggantikan jembatan sesek. Kalau lewat sini mesti satu-satu.
Difoto pada Agustus 2013.

 


Jembatan lama Pundong dilihat dari jembatan baru.

 

Di tahun 2015 ini kok ujug-ujug sudah ada jembatan beton yang lebih kokoh dan lebih besar. Lokasi jembatan baru dan jembatan lama itu hanya terpaut jarak sekitar 100 meter. Kalau ada jembatan jembar seperti ini kan mobil, truk, atau bus bisa lebih enak wira-wiri-nya.

 


Dengan adanya jembatan baru yang besar ini nggak mesti satu-satu pas melintas. Cuma hilang sensasinya saja. #hehehe

 

Sepertinya, kalau aku dan Pembaca mau lebih update lagi perihal info-info Pundong atau lokasi-lokasi menarik di Pundong, wajib hukumnya mlipir ke blog-nya Mbak Dwi Susanti selaku wanita berdarah Pundong. #senyum.lebar

 

Semangat Menanjak ke Gua Jepang!

Wokey! Selepas beristirahat sejenak di jembatan, mengambil napas sembari mengumpulkan niat, perjalanan pun dilanjutkan menuju dasar tanjakan Gua Jepang. Letaknya persis di pinggir Jalan Raya Siluk – Parangtritis. Kalau dari jembatan baru ini, kira-kira jaraknya sekitar 3 km lah.

 

Begitu sampai di dasar tanjakan lagi-lagi aku kaget.

 


Eh, fotonya nggak begitu kelihatan nanjak ya? #hehehe

 

Kok intro tanjakannya sudah vertikal begini yak?

 

Glek... mendadak dengkul jadi lemas. Niat yang sudah susah-payah dikumpulkan jadi pada berceceran entah ke mana...

 


Nah, kalau ini baru deh terasa tanjakannya. #hehehe

 

Tapi, melihat anak-anak muda yang tampak bergairah melibas tanjakan, aku sebagai member yang paling uzur pun tergugah nggak mau kalah. Mau ditaruh di mana harga dengkul seandainya Mbah Gundul tahu? #hehehe

 

Woladalah... ternyata mereka menggeh-menggeh juga di 200 meter pertama... #hehehe

 

Aku pun didaulat untuk berada di posisi terdepan. Ya sudah lah...

 


Gimana Ndra? Mantap tanjakannya? #senyum.lebar

 

Sekitar 600 meter dari dasar tanjakan adalah titik pemberhentian pertama yang berwujud tanah lapang. Di sini Yudho undur diri karena mau menghadiri acara nikahan. Alhasil, rombongan tersisa 4 orang. Waktu menunjukkan pukul setengah 9 pagi.

 


Belum ada 1 kilometer nanjak tapi stamina sudah terkuras.

 

Berjarak 200 meter dari titik pemberhentian pertama adalah titik pemberhentian kedua yang berwujud pos ronda dusun Payahan. Anggota rombongan mulai pada mumet. Kok nggak sampai-sampai ke Gua Jepang sih? Kan jaraknya hanya 3 km dari dasar tanjakan? Menurut omongan bocah-bocah dusun, katanya sih lokasi Gua Jepang masih jauh. Weleh...

 


Istirahat lagi di Pos Ronda. Nggak sekalian ngeronda Mas? #senyum.lebar

 


Diajak balapan pada nggak mau. Senengnya njumping-njumping.

 

Di sini aku belajar pengalaman yang mana jarang terpikirkan sewaktu aku bersepeda sendiri atau bareng Mbah Gundul CS. Sepertinya, aku harus siap sedia bekal semacam biskuit, roti, atau sejenisnya. Bukan buatku, tapi buat teman-teman yang sepertinya butuh asupan tenaga ekstra guna melibas tanjakan.

 

Agaknya aku terlalu “sombong” dan lupa kalau kekuatan bersepeda setiap orang itu berbeda-beda. Duh! Jadi merasa berdosa ini sudah mengajak mereka bersepeda ke mari. #sedih

 

Leren Dengkul di Sendang Surocolo

Berjarak 300 meter dari pos ronda adalah titik pemberhentian ketiga yang melegakan. Kenapa aku sebut melegakan? Karena titik pemberhentian ketiga ini adalah kawasan Gua Sunan Mas atau yang dikenal juga sebagai Gua Surocolo.

 

Meskipun objeknya adalah gua, tapi yang dominan terlihat dari pinggir jalan raya adalah Sendang Surocolo yang asri (sekaligus wingit #hehehe) dinaungi pohon besar nan rindang. Benar-benar ibarat oase bagi para musafir yang kelelahan. #senyum.lebar

 


Kok ya ke mana-mana mesti ketemu sendang alias mata air.

 

Di kawasan Gua Surocolo ini juga ada warung yang kemudian dimanfaatkan Indra untuk menimbun perbekalan. Selain warung, ternyata juga ada toilet umum! Sepertinya sih untuk memfasilitasi para peziarah Gua Surocolo. Tapi ya lumayan lah, seandainya aku bersepeda ke sini lagi aku nggak perlu mumet menjajah semak-semak jadi tempat ngendog. Hahaha. #senyum.lebar  

 


Sekilas sih layak buat tempat ngendog. Yang jelas airnya kan melimpah ruah.

 

Kayaknya kapan-kapan aku mesti ngajak Mbah Gundul bersepeda kemari untuk “menerawang” Gua Surocolo. Siapa tahu ada batu meteorit nyasar di sini Mbah? #hehehe

 

Tanjakan Jilid 2 yang Penuh Tantangan

Sekitar pukul 9 pagi lebih sedikit dimulailah petualangan jilid 2 menuju Gua Jepang Pundong. Eh, anggap saja perjalanan dari dasar tanjakan ke Gua Surocolo tadi sebagai petualangan jilid 1 alias intro.

 

Petualangan jilid 2 ini aku istilahkan sebagai petualangan yang sesungguhnya. Kenapa? Karena wujud jalan dari Gua Surocolo menuju Gua Jepang Pundong adalah seperti foto di bawah ini.

 


Ya Allah! Cobaan apalagi ini...

 

Pembaca paham? #senyum.lebar

 

So far, medan jalan di petualangan jilid 2 ini berwujud tanjakan yang lumayan tidak manusiawi. Dengan remah-remah tenaga yang tersisa, kami pun melibas tanjakan dengan banyak-banyak menuntun sepeda.

 


Mau dituntun, mau dikayuh, semuanya HALAL! MUI nggak peduli deh sama yang seperti ini. #hehehe

 


Jalan menanjak masih panjang Bro...

 

Sorry ya Indra CS. Aku nggak nyangka tanjakannya seperti ini. #sedih

 

Pukul setengah 10 siang lebih sedikit, kami dengan sangat terpaksa menggelar lapak di pinggir jalan aspal yang jarang dilalui kendaraan itu. Lokasi di pemberhentian keempat ini sebetulnya ideal untuk menggelar tenda. Sebab, terlihat ada bekas-bekas api unggun di salah satu sudut lapangan.

 


Ngobrolin perkara mesin tik yang bisa bergerak-gerak sendiri...#horor

 

Yang Istimewa dari Puncak Bukit

Pucuk dicinta, ulam pun tiba! 

 

Sekitar pukul 10 siang akhirnya kami mendarat dengan selamat di Gua Jepang Pundong pertama! #senyum.lebar

 

Eh, Gua Jepang pertama?

 

Iya, soalnya di kawasan ini terdapat total 18 gua yang dibangun pada masa penjajahan Jepang. Bisa dibilang kawasan ini adalah benteng pertahanan Jepang terbesar dan tersembunyi di wilayah Yogyakarta.

 


Apa ada mahasiswa KKN yang diterjunkan ke sini dan berniat membuat peta yang lebih bagus? #senyum.lebar

 

Welcome to Japanese Hidden Fortress in Yogyakarta!

Let’s Save Our Heritage! #senyum.lebar

 

Oh iya, sebetulnya lokasi Gua Jepang ini berada di perbatasan kabupaten Bantul dan Gunungkidul. Sebab, di jalan aspal menuju kemari, kami sempat melewati patok batas kabupaten. Semoga saja letak Gua Jepang ini nggak membuat kedua pihak saling mengklaim wilayah. Nggak seperti kasusnya Gua Cerme itu. Bener nggak sih kalau Gua Jepang ini masuk wilayah Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta?

 

Karena keterbatasan waktu dan juga tenaga, kami nggak sempat mengunjungi ke-18 gua Jepang tersebut. Meski begitu, dari sejumlah gua yang kami sambangi, kiranya bisa ditilik karakteristik unik dari gua-gua Jepang Pundong ini.

 


Pintu masuk dan penampakan sejumlah gua di kawasan Gua Jepang.

 

Berbeda dengan gua Jepang di Kaliurang atau di Berbah, gua-gua Jepang di Pundong ini berukuran lebih kecil. Gua-gua ini dibuat dengan membuat lubang-lubang di dinding bukit yang kemudian disamarkan dengan susunan batu karst. Mungkin di masa lampau, bagian luar gua-gua ini juga disamarkan oleh rimbunnya semak belukar.

 

Konstruksi gua Jepang terbuat dari beton. Alhamdulillah, masih bertahan kuat hingga saat ini. Hanya saja, akses masuk ke gua-gua jepang ini umumnya harus menuruni jalan tanah yang curam. Jalan ini rawan longsor saat dipijak.

 


Beginilah suasana di dalam Gua Jepang. Nggak seseram yang dibayangkan toh?

 


Manusia kurang kerjaan yang kesulitan keluar dari gua karena tanahnya longsor. #hehehe

 

Sejumlah gua yang kami temui dilengkapi dengan cerobong sebagai lubang udara. Ada pula gua yang dilengkapi jendela intai. Pokoknya, benar-benar lokasi yang pas deh untuk main perang-perangan. #eh

 


Kalau nggak ada lubang ini, yang bersembunyi di dalam gua ya nggak bisa bernapas lah.

 


Semacam bekas penampungan air?

 

Yang aku nggak habis pikir adalah lokasi gua Jepang ini berada di puncak bukit yang berlatarkan pemandangan indah Pantai Parangtritis. Tempat yang cukup romantis untuk menikmati terbenamnya matahari senja.

 


Pemandangan indah Pantai Parangtritis dan Samudera Hindia dari atas bukit Gua Jepang Pundong.

 

Tapi mungkin orang-orang di waktu itu nggak begitu ambil urusan dengan panorama indah tersebut. Warga pribumi jadi romusha yang  membangun gua-gua pertahanan ini. Sedangkan prajurit Jepang sibuk mengintai pesisir laut selatan, kalau-kalau tentara sekutu mendarat via Samudera Hindia.

 

Ah, hidup di zaman perang-perangan memang sulit. Makanya, hidup damai lebih enak toh? Kalau misalkan ada yang merasa tidak damai, bisa jadi yang demikian disebabkan karena hati yang sedang bermasalah. #ngelatur

 


Ujung dari jalan aspal di kawasan Gua Jepang. Pertanda saatnya pulang! #senyum.lebar

 

Sampainya kami di ujung jalan aspal kawasan Gua Jepang ini merupakan suatu isyarat bahwa kami harus pulang ke kediaman masing-masing #senyum.lebar. Sekitar pukul setengah 11 siang, kami pun pulang. Medan jalan yang semula berwujud tanjakan tidak manusiawi itu pun berubah menjadi turunan. Eh, kok ya hanya butuh waktu sekitar 7 menit untuk turun dari Gua Jepang menuju Jl. Raya Siluk – Parangtritis. #hehehe

 

Pembaca mau main perang-perangan di Gua Jepang Pundong? #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI