HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Jalan Kemarau Seorang (Pakdhe) Timin

Rabu, 14 Oktober 2015, 08:05 WIB

Jalan kemarau seorang (Pakdhe) Timin bermula ketika seporsi soto belum sepenuhnya turun ke dasar perut namun tawaran “Habis ini masih kuat nanjak sedikit Dhe?” mendapat jawaban singkat Manut. #senyum.lebar

 

 

Hari Minggu (7/9/2015) yang bertepatan dengan pertengahan musim kemarau di Yogyakarta adalah masa ketika semilir angin pelan-pelan mulai tergusur oleh sengatan matahari. Tak ada lagi penyemangat di tengah suasana alam yang didominasi cokelat kering-kerontang.

 

 

Sunyi. Tak ada desir yang menyibak daun kering. Apalagi suara garimpung yang beberapa bulan yang lalu masih mencairkan penderitaan di tengah jalan yang konturnya menanjak.

 

 

Nuntun wae lah. Mesakne pit-e ora kuat nanjak.”

“Perutku nggak enak.”

 

Preeet... preet... tut... dhot... #suarakentut #hehehe

 

 

Ketika seorang Pakdhe Timin terkentut-kentut di belakangku adalah saat ketika DSLR terpaksa dimain-mainkan untuk sekadar membuang waktu dan mengabadikan suasana kemarau di Yogyakarta yang agaknya fotogenik.

 

 

Sampai kapan semua ini berlangsung? Ya sampai musim hujan datang dong! Yang dengar-dengar baru mulai nanti di awal tahun baru 2016.

 

Iya. Masih lama.

 

 

Sembari menanti saat itu datang, sunyi adalah kawan terbaik menemani hidup. Tatkala rintangan datang silih-berganti. Tatkala kesabaran manusia tengah diuji. Sunyi adalah pilihan terbaik sembari tetap diiringi kerja keras. Sekeras usaha untuk menggali sumur sedalam 20 meter lebih di wilayah perbukitan yang didominasi batuan gamping.

 

 

Perjalanan ini pun berlanjut sunyi. Terlebih, karena tak ada kejutan yang biasa dihadirkan oleh Mbah Gundul.

 

“Tobat Mbah! Tanjakann e ora entek-entek!”

“Sik Mbah! Leren sik Mbah!”

“Duh Mbah! Penak e turu, ngadem ng omah!”
 

“Nanjak! Ora sambat terus! Urip kok sambat?”

 

 

Di suatu kemarau, di daerah perbukitan, di wilayah Prambanan, di Yogyakarta.

NIMBRUNG DI SINI