Kalau menyinggung tentang masjid di Banda Aceh, yang pertama kali terbayang pastilah Masjid Raya Baiturrahman. Sepertinya, belum komplit singgah di Banda Aceh kalau belum mampir ke Masjid Raya Baiturrahman. Itu menurutku sih... #hehehe
Menurut catatan wikipedia sejarah, Masjid Raya Baiturrahman dibangun pada masa kesultanan Aceh, sekitar tahun 1612, oleh Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Sampai sekarang, Masjid Raya Baiturrahman sudah mengalami banyak renovasi. Sejumlah peristiwa bersejarah seperti Perang Aceh dan juga bencana tsunami turut menyumbang kerusakan pada sejumlah arsitektur masjid. Alhasil, wujud Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah bentuk seperti saat pertama kali dibangun.
Alhamdulillah di hari Rabu (24/9/2014) yang lalu aku berkesempatan menunaikan salat Zuhur di Masjid Raya Baiturrahman. Sekalian saja toh aku manfaatkan momen ini untuk mengabadikan suasana Masjid Raya Baiturrahman. Semua foto yang aku potret ini menggunakan lensa prime Nikkor 35mm DX yang setara dengan lensa prime 50mm pada format full-frame.
Aaah... kapan ya Nikon merilis lensa prime 16mm DX atau 18mm DX...#ngelatur
Kesan pertamaku terhadap Masjid Raya Baiturrahman adalah ini masjid megah. Ruangan di dalam masjid sejuk karena hawa dingin AC. Pintu masuknya pun otomatis yang membuka-tutup dengan sendirinya. Yang seperti ini kadang bikin KGB, akronim Jawa ngawur dari Kagetan, Gumunan, dan Bingungan. #hehehe
Kalau aku sih lebih berselera sama masjid yang sederhana tanpa banyak sentuhan teknologi. Apalagi Masjid Raya Baiturrahman kan termasuk masjid bersejarah. Nuansa heritage-nya jadi kurang terasa gitu. Tapi ya kecanggihan ini kan untuk kenyamanan jamaah juga. Walaupun ya rasanya ... #pergulatan.batin
Tapi dibalik segala kemegahan dan kecanggihan itu, Masjid Raya Baiturrahman juga menyimpan potret warga Aceh yang bergelut dengan kerasnya hidup. Sepertinya, di mana-mana mereka selalu memadati tempat-tempat ibadah yang tersohor.
Seputaran masjid pun nggak luput dari para pedangan asongan. Para juru foto wisata juga terlihat memadati halaman masjid. Aku mengurungkan niat memotret mereka. Sebab, begitu tahu aku menenteng DSLR, rasanya sorot mata mereka menjadi sedikit “berbeda”, hehehe. #hehehe
Siang yang mendung itu pun berlalu dengan singkat di Masjid Raya Baiturrahman. Saatnya menjelajah tempat lain di Banda Aceh.
mas wij?? hemm.... mbatin juga sih....
Aku setuju sama kamu, Mas. Lebih suka tempat bersejarah tanpa banyak sentuhan teknologi.
Jadi agak merusak keindahan sih menurutku.
Btw, awalnya aku pikir foto-foto ini diambil dengan menggunakan kamera film analog 35 mm. Ternyata pakai DSLR dengan lensa 35 mm tho? hehehe ....
Salam kenal yaaa :-)
Iya, bentuk masjidnya berbeda banget dari masjid di Jawa. Semoga bisa segera ke sana ya. :)
lagi :D
oh ya bang, masjid aslinya sudah terbakar musnah ketika perang aceh melawan belanda
:)
rata2 mesjid yang besar dan megah .. suka ramai sama pedagang yang berserakan dan
pengemis2 ....
Baiturrahman...kapan ya bisa kesana
minimalis tapi nilainya dan sejarahnya tetep berkesan gitu.
Btw fotonya tjakeupppp jadi ingin beli kamera baru aaak :)
terima kasih ya gambar2nya. bisa jadi bernostalgia deh
Ah ini lensa favorit saya. Tapi kalau pun rilis yg 24mm ke bawah pasti harganya ya gitu lah.
selanjutnya selama di Aceh mas.
ngomong-ngomong Masjid Raya Baiturrahman Mashaa Allah tenan, menunjukkan
kebesaran dan keagungan sang Pencipta Allah SWT. Perjalanan reliji yang membawa
kesan membekas tentunya ini, makasih mas.