HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Pikiran Liar Sepanjang Jalan Aspal 4 km

Senin, 10 Agustus 2015, 08:27 WIB

Jalan aspal sepanjang 4 kilometer (lebih sedikit) itu berwujud seperti foto yang terpajang di artikel ini. Benar-benar jalan aspal yang mulus tanpa lubang sedikit pun. Garis putih putus-putus membagi jalan menjadi dua ruas. Di kanan-kiri nggak ada patok kilometer. Yang ada hanya semak-semak rimbun. Pohon peneduh jalan? Nggak ada.

 

Di saat yang sama, matahari pelan-pelan mulai merayap ke atas ubun-ubun. Panasnya bukan main. Walau jelas nggak sepanas India di bulan Juni 2015 silam. Mungkin karena cuaca panas itulah pikiranku jadi meliar hingga ke mana-mana.  

 

Jalan? Panas. Berhenti? Ya, panas. Lha wong nggak ada tempat berteduh sama sekali di pinggir jalan!

 

Untung jalannya datar. Untung sesekali masih disapa semilir angin. Untung aku bawa air minum. Walaupun... semakin lama semakin berkurang sih #hehehe.

 

 

Eh, ngapain sih aku sudi berjalan kaki di sana?

 

 

Jawaban terakhir itulah yang bikin aku ragu-ragu untuk mengeksekusi aksi "kreatif”, semisal meminta tebengan warga yang kebetulan lewat pakai kendaraan bermotor. #hehehe

 

Buat mereka yang hobi naik gunung, jalan kaki sejauh 4 kilometer di jalan aspal boleh jadi nggak ada apa-apanya. Tapi ya ada orang-orang yang beranggapan bahwa berjalan kaki dengan jarak tempuh yang jauh seperti ini adalah sesuatu aktivitas yang cenderung (maaf) “hina”. Kenapa?

 

 

Makanya, wajar kalau kendaraan (bermotor) menjadi primadona untuk ditunggangi ke mana-mana, sebab lebih cepat, nggak bikin capek, dan penampilan tetap terjaga. Betul nggak?

 

 

Aku jadi teringat cerita seorang bapak yang aku jumpai saat bersepeda ke Pantai Bekah beberapa tahun silam. Beliau bilang zaman dulu sebelum marak sepeda motor, beliau kalau mau ke Imogiri dari rumahnya di Panggang itu ya dengan jalan kaki. Pergi pagi sampai sana sore.

 

Terus jadi ingat lagi ucapannya Andreas yang entah kapan aku lupa. Soalnya dulu sering banget jalan keliling candi-candi sama dirinya. Kalau nggak salah sih,

 

“Orang zaman dulu kalau ke candi ya jalan kaki!”

 

Kebayang nggak sih kalau orang dulu itu pada kuat jalan kaki? Terbiasa mungkin ya?

 

 

Aku akui kalau aku sendiri nggak terbiasa jalan kaki. Beda sama anggota keluarga yang lain. Bapak dan Ibu hampir setiap pagi olahraga berjalan kaki supaya sehat. Sedangkan si Tiwul sejak beberapa tahun terakhir punya program berjalan kaki minimal 10.000 langkah (sekitar 6 km) setiap hari.

 

Yah, boleh dibilang aku terlahir di keluarga yang hobi jalan kaki. Jauh sebelum aku hobi blusukan sambil bersepeda, sewaktu masih kecil, kami sekeluarga sering olahraga jalan kaki di Minggu pagi. Pas kuliah aku masih sering jalan kaki (kan ke mana-mana naik bus). Tapi setelah terbiasa bersepeda malah jadi jarang jalan kaki. Ah, payah! #hehehe

 

 

Pikiran untuk menyetop dan meminta tumpangan kendaraan yang lewat sempat muncul beberapa kali. Sempat pula ada pula mobil yang berhenti. Pikirku, sang pengemudi mobil berbaik hati mau memberikan tumpangan. Tapi eh ternyata cuma tanya arah! Mungkin karena aku jalan kaki makanya aku dikira penduduk sana ya? Padahal bukan #senyum.lebar. Untung aku bisa jawab.

 

Eh, mungkin itu juga yang ada di pikiran warga yang melintas di sana. Mungkin mereka semua beranggapan kalau aku itu ya penduduk sana. Makanya nggak ditawari tumpangan karena sudah “terbiasa” jalan kaki.   

 

Tapi pada zaman sekarang ini, di mana aksi-aksi kejahatan semakin variatif dan orang-orang semakin curiga satu sama lain, memberi tumpangan pada orang yang tidak dikenal bisa dibilang adalah perbuatan yang beresiko. Semacam ada pergulatan batin antara keinginan untuk menolong dan kekhawatiran akan keselamatan diri sendiri.

 

Sebetulnya, itu juga berlaku untuk orang yang meminta tumpangan sih. Seperti aku ini. Mana tahu nanti ada yang menawariku tumpangan tapi ternyata aku malah diculik dan keluarga dimintai uang tebusan? Ya memang lebay sih, tapi kan kalau dalam mata kuliah probabilitas, segala kemungkinan itu pasti ada, hanya saja persentase kejadiannya saja yang bervariasi.

 

Tapi menurutku dengan melakukan perjalanan, entah itu naik apa, sebetulnya kan kita bertaruh pada keselamatan diri sendiri, baik untuk hal-hal yang sudah diprediksi maupun yang dadakan. Ya toh?

 

Juga, yang seperti ini kadang bikin aku lebih banyak mengingat Gusti Allah SWT, hehehe #senyum.lebar. Tanpa kuasa-Nya, mungkin aku nggak bakal bisa ada di sini, walaupun ya harus ditempuh dengan berjalan kaki. Berpikir positif sajalah kalau jalan kaki sejauh 4 kilometer (lebih sedikit) ini adalah bagian dari rencana indah-Nya. #senyum

 

Alhamdulillah, selamat juga sampai di tujuan.

NIMBRUNG DI SINI