HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Yang Tersembunyi di Pelosok Wonogiri

Minggu, 19 Juli 2015, 06:03 WIB

Di sore hari itu, gerimis tampak segan beranjak dari suatu dusun di pelosok Wonogiri, Jawa Tengah. Meskipun demikian, aktivitas penduduk seakan tak terganggu. Beberapa masih bertahan di sawah. Sementara beberapa yang lain pulang dari sawah tanpa mempercepat langkah kaki mereka.

 

Di tengah suasana syahdu dan bentang alam dusun di puncak gunung purba yang memesona itu, aku baru saja selesai menyalurkan “panggilan alam” yang sedari tadi aku tahan-tahan. Maklum, kalau nggak terpaksa banget, aku agak sungkan “mengeksekusi” di dalam lebatnya hutan. Beruntung ada warga yang merelakan toiletnya dipakai secara cuma-cuma. #hehehe

 

Begitu keluar dari toilet, aku berpapasan dengan Ndop yang kemudian mengajakku menunaikan salat Ashar. Kami pun berjalan kaki di bawah rintik gerimis menuju masjid yang katanya sih nggak begitu jauh dari situ.

 

Di tengah jalan kami berpapasan dengan seorang bapak yang masih memanggul cangkul.

Numpang salat nggih Pak!”, ujar Ndop ramah

Nggih Mas, monggo!”, balas si bapak sambil berlalu

 

 

Tibalah kami di masjid yang ada di tengah dusun. Ndop celingak-celinguk mencari tempat wudu. Sementara itu aku celingak-celinguk menyapu pandangan ke dalam masjid yang tidak berpenghuni itu. Aku lihat ada beberapa ornamen penghias dinding. Lantas aku hampiri Ndop yang sedang bersiap untuk berwudu.

 

“Ndop! Iki masjid e **** !”

Lha njuk ngopo nda? Ndik mau wis diijinke toh?”, balas Ndop cuek

 

Memang betul kata Ndop. Bapak yang kami jumpai tadi tampak biasa-biasa saja menanggapi keinginan kami menunaikan salat di masjid. Aku sendiri pernah numpang salat di gereja dan di vihara, tapi nggak dengan perasaan gelisah seperti ini.

 

Khawatir kah? Apa yang mesti dikhawatirkan? Keselamatan? Atau reaksi penduduk bila tahu kami salat di sana? Bukankah salat itu hubungannya antara manusia dengan Gusti Allah SWT? Lalu mengapa harus khawatir dengan urusan manusia?

 

Arief yang kemudian datang menyusul salat membuyarkan lamunan nggak pentingku itu. Aku pun segera bergegas mengambil wudu dan menunaikan salat tanpa memberi tahu Arief. Tidak terjadi apa-apa selama kami menunaikan salat di sana. Di perjalanan pulang dari masjid pun ya juga tidak terjadi apa-apa. Sepertinya memang hanya pikiranku yang terlalu lebay.

 

 

Aku beberapa kali merenung sepanjang perjalanan pulang dari dusun. Kenapa ada komunitas seperti itu di tempat terpencil seperti ini? Kalau menurut Arief, keberadaan mereka di sini itu agar tidak terdeteksi. Beda jika misalnya mereka bermukim di kota besar.

 

Terus terang aku hanya punya pengetahuan sedikit tentang mereka. Itu pun hanya sebatas hasil nguping sana-sini dan baca ini-itu. Belum pernah aku bertemu orangnya langsung dan menginterogasi hingga terperinci.

 

Bisa jadi, sebenarnya mereka nggak seperti apa yang disinggung oleh kebanyakan orang. Atau bisa jadi, sebenarnya mereka seperti apa yang disinggung oleh kebanyakan orang tapi kebetulan saja kami nggak menyaksikan hal tersebut. Ah, entahlah! Kalau semua didasarkan pada asumsi “bisa jadi” maka seakan-akan semua hal terbuka peluang untuk bisa terjadi. Ya toh?

 

 

Menurutku orang-orang terbagi ke dalam dua golongan, yaitu golongan fanatik dan tidak fanatik alias biasa-biasa saja. Mereka yang tidak fanatik kan cenderung tidak terlalu tegas dalam bersikap. Mungkin seperti itulah penduduk di dusun di puncak gunung purba Wonogiri ini. Mereka memilih hidup terpencil karena ingin hidup damai sesuai keyakinannya. Bukan karena tersingkir dari gejolak perbedaan.

 

Lagi-lagi kita semua harus menerima kenyataan bahwa penduduk Indonesia ini beragam sekali, dari mulai suku bangsa, adat-istiadat, hingga keyakinannya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya.

 

Kadang aku mikir. Semua bakal terasa baik-baik saja bilamana saling tak menyebut apa yang diyakini.

 

Ah, terserah Pembaca lah mau menanggapi apa ocehanku kali ini. #hehehe

 

Semoga mereka juga merayakan hari kemenangan dengan bahagia.

NIMBRUNG DI SINI