HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Mampir Dua Kali di Rumah Makan Siluk

Rabu, 22 April 2015, 16:30 WIB

Setiap orang selalu punya tempat favorit untuk memanjakan perut. Tidak terkecuali si Mbah Gundul. Apa yang dia makan, seringkali menentukan apa yang kami makan.

 

Doh!

 

 

Ceritanya, pada suatu pagi, kami berencana bersepeda menuju Desa Siluk di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Seperti biasa, pas berangkat dari Kota Jogja kami sengaja nggak sarapan. Pikir kami nanti saja lah sarapannya pas sudah dekat dengan objek tujuan.

 

Selama medan jalannya datar-datar saja, sebenarnya sih buat kami bersepeda dengan atau tanpa sarapan itu nggak terlalu berpengaruh banget, hehehe. #hehehe

 

 

Nah, begitu masuk wilayah Desa Siluk, Mbah Gundul ndilalah ngajak berhenti dulu buat sarapan. Maklum, habis ini kami kan bakal melibas tanjakan jahanam. Jelas butuh isi bensin dong untuk mendulang stamina? Toh, Mbah Gundul kan juga butuh tenaga seumpama mesti "nolong" kami nanjak, wakakaka. #senyum.lebar

 


Rumah makan prasmanan dengan menu rumahan khas Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Sebetulnya dari awal berangkat aku sudah “merengek-rengek” minta sarapan soto. Tapi Mbah Gundul nggak bergeming. Yang ada di dalam otaknya hanya satu, yakni nasi wader. Itulah yang akhirnya mengantarkan kami ke sebuah rumah makan di dekat jembatan Siluk. Sayang nama rumah makannya itu aku lupa, hehehe. #hehehe

 

Bila Mbah Gundul punya rencana, Tuhan pun juga punya rencana. Ndilalah, pukul 8 pagi itu Mbah Gundul kurang mujur. Belum ada titipan wader goreng yang datang. Ternyata, rumah makannya itu nggak memasak sendiri wadernya.

 

Wah, nggak bisa merasakan nikmatnya wader hangat dong kalau begini caranya? #sedih

 

 

Ya sudah. Daripada nggak bertenaga pas melibas tanjakan, kami lanjut saja sarapan dengan sajian yang sudah tersedia. Beragam menu rumahan khas Daerah Istimewa Yogyakarta bebas dipilih secara prasmanan. Nyam!

 

Seporsi kecil nasi dengan sayur pare, tahu opor, dan teh hangat ditebus seharga enam ribu rupiah. Meski perut laper, tapi sengaja aku nggak makan banyak. Buat jaga-jaga, supaya nanti nggak dapat “panggilan alam” pas melibas tanjakan, hehehe. #hehehe

 


Menu sarapan. Cemplon jadi pendamping makan nasi. #senyum.lebar

 

Sebagai penambah tenaga (terutama karena sebetulnya masih laper #hehehe), aku santap satu kudapan cemplon. Omong-omong tentang cemplon jadi teringat “Pantai” Cemplon di Moyudan, Sleman sana. Bentuknya sekarang seperti apa ya? Kabar burungnya sudah lenyap sejak erupsi Merapi tahun 2010 silam.

 


Kudapan Cemplon terbuat dari singkong dan berisi gula merah.

 

Satu lagi kudapan yang sangat fleksibel dibawa sebagai penambah tenaga ekstra di tanjakan adalah di bawah ini. Pertanyaannya, kudapan ini namanya apa ya?

 


Ini nama kudapannya apa ya?

 

Jam demi jam demi jam berlalu.

Pagi bergulir jadi siang.

Akhirnya, misi bersepeda hari ini pun usai.

 

Tanjakan jahanam yang pagi tadi kami libas kini berubah wujud jadi turunan tajam. Sepanjang perjalanan turun, aku berkali-kali ngoceh kalau nanti bakal menyantap sate kambing di Pleret. Tapi lagi-lagi Mbah Gundul berkehendak lain. Yang ada di dalam otaknya masih sama, nasi wader.

 

Duh, Mbah!

 

 

“Lha kok balik lagi ke sini Mas?”, Ibu rumah makan keheranan

“Nuruti kepinginannya si Mbah makan wader Bu!”, jawabku sewot

 

“Wadernya sudah dateng Bu?”, tanya Mbah Gundul

“Sudah, tapi lauknya sudah pada habis, seadanya saja ya”

 


Menu makan siang. Akhirnya nemu nasi wader juga.

 

Pukul setengah dua siang, akhirnya Mbah Gundul keturutan menyantap nasi wader juga. Menurutku sih rasa wadernya biasa-biasa saja. Tapi yang namanya selera orang kan ya beda-beda ya?

 

Eh, apa nasi wader itu salah satu syarat ilmunya Mbah Gundul agar kuat nanjak ya? Hmmm...

 

Pembaca suka nasi wader?

NIMBRUNG DI SINI