HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Dari Imogiri ke Panggang lewat Tanjakan Siluk

Minggu, 27 Juli 2014, 00:42 WIB

Nama Tanjakan Siluk memang tak setenar Tanjakan Cinomati maupun Tanjakan Pathuk. Walaupun demikian, Tanjakan Siluk punya peran penting. Bukan hanya sebagai urat nadi transportasi antar dua kabupaten di Yogyakarta, namun juga pemuas hasrat para pesepeda yang “gila tanjakan”. #hehehe

 

Tanjakan Siluk memiliki panjang sekitar 7 km kurang sedikit. Dasar tanjakan, berada di Dusun Siluk, Desa Selopamioro, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Sedangkan puncaknya, berada di Desa Giriharjo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul. Oleh sebab itu, banyak juga yang menyebut jalur ini sebagai Jl. Siluk – Panggang.

 


Rute Tanjakan Siluk dan posisinya dari kota Jogja.

 

Lokasi tanjakan dari pusat Kota Jogja hanya terpaut sekitar 24 km ke arah selatan. Jalur yang mudah adalah melalui Jl. Imogiri Barat hingga km 14. Kemudian dilanjut mengambil jalan menuju Dusun Siluk, Selopamioro sejauh 6 km.

 

Sebuah jembatan besi tua menjadi tanda kedatangan di Dusun Siluk. Jembatan yang berdiri di atas Kali Opak Oyo ini menjadi muara dari tiga cabang jalan: Tanjakan Siluk, Goa Cerme, dan Pantai Parangtritis.

 


Dari sinilah petualangan dimulai.

 

Para pesepeda biasanya memilih rute menuju Tanjakan Siluk. Namun, sebelum sampai di dasar tanjakan, sebagian besar berbelok arah menuju ikon desa Selopamioro. Apalagi kalau bukan jembatan gantung yang tersohor itu. Pembaca pasti pernah melihatnya di iklan-iklan surat kabar kan? #senyum.lebar

 


Jembatan gantung yang ini lho.

 

Sedangkan bagi sebagian kecil pesepeda macamnya aku ini... ah, sekiranya bolehlah ditelusuri sampai mana ujungnya Tanjakan Siluk. Dari SMP Negeri 3 Imogiri, silakan lanjutkan perjalanan menyusuri jalan beraspal. Lambat laun, medan jalan mulai terasa menanjak. Itu tandanya, Pembaca sudah berada di tanjakan yang tepat.

 


Tanjakan pembuka yang lumayan panjang.

 

Kabar gembiranya, Tanjakan Siluk BUKAN tergolong tanjakan jahanam. Tanjakan Siluk dapat dilibas seutuhnya dari atas sadel sepeda tanpa perlu menuntun. Tidak ada ruas dengan kemiringan nyaris 90 derajat layaknya Tanjakan Cinomati. Beberapa kali aku sempat beristirahat mengayuh pedal, namun tidak sampai menuntun sepeda.

 

Yang selalu terkenang dari Tanjakan Siluk adalah dua tikungan maut yang dijuluki Tikungan Irung Petruk. Sebab, bentuknya mirip seperti hidung (irung) tokoh pewayangan Petruk. Tikungan ini terletak di ruas km 3.

 


Tikungan irung petruk pertama.

 


Tikungan irung petruk kedua.

 

Melibas Tanjakan Siluk lebih nyaman dilakukan saat pagi hari, sekitar pukul 6 hingga 7 pagi. Hawanya masih sejuk dan hanya sedikit sepeda motor yang hilir-mudik. Seringkali kita akan berpapasan dengan sejumlah warga yang berjalan kaki menuju ladang atau sawah. Umumnya mereka sudah berusia lanjut, namun masih punya semangat tinggi. Salut.

 


Mereka saja jalan kaki, masak yang bersepeda kalah semangat?

 

Selepas memasuki Dusun Nawungan, itu tandanya sudah setengah perjalanan yang dilalui. Eits, jangan terlena dulu! Bukan berarti tanjakannya sudah habis lho #senyum.lebar.

 


Mari istirahat dan mencari inspirasi sambil...

 

Dusun Nawungan terbagi menjadi dua wilayah, Dusun Nawungan I dan Dusun Nawungan II. Yang membuatnya berbeda hanyalah letaknya. Dusun Nawungan II posisinya lebih “nanjak” dibandingkan Dusun Nawungan I.

 


Gapura masuk Dusun Nawungan II.

 

Sebagai satu-satunya pemukiman setelah sekian lama melibas tanjakan, Dusun Nawungan menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menghadapi kelanjutan medan di depan. Jangankan warung kelontong atau masjid, lha wong di sini ada SPBU juga kok. Sayangnya, yang dijual di SPBU ini hanya solar. Sepertinya SPBU ini juga bukan milik Pertamina. 

 


Kenapa ya tidak menjual premium? Padahal sepeda motor umumnya kan pakai premium?

 

Tidak seberapa jauh dari SPBU, ada penanda batas wilayah Bantul – Gunungkidul. Patok jalan pun berubah. Yang semula hanya menampilkan bilangan bulat, kini menampilkan bilangan pecahan. Wah, kok ya akurat betul?

 

Hmmm, seperti apa ya medan jalan di wilayah Panggang?

 


2 kilometer dan 370 meter? Apa iya sih?

 

Dusun kedua yang menyambut di tanjakan adalah Dusun Bibal di Desa Girikusumo Girisuko. Berbeda dengan Dusun Nawungan, Dusun Bibal tampak lebih ramai oleh warung makan. Oh, ternyata ada objek wisata alam dekat sini, namanya Watu Payung. Kapan-kapan aku coba mampir deh.

 


Mulai dikelilingi hutan lebat.

 

Dari sini, medan jalannya mirip trek roller-coaster, alias selang-seling tanjakan dan turunan. Hutan juga mulai lebat di kanan-kiri jalan. Ada dua objek menarik yang bakal dijumpai. Pertama, bangunan mirip kastil yang teronggok menyendiri. Kedua, rumah-rumah rusak yang tidak dihuni. Agak angker-angker ya objeknya...

 


Bangunan tua...

 


Rumah-rumah tua...

 

Nah, selang satu kilometer dari rumah-rumah rusak itu adalah turunan dengan titik ujung papan biru seperti foto di bawah ini. Selamat! Sudah berhasil sampai Panggang! Horeee! #senyum.lebar

 


Yes!

 

Terakhir kali aku merasakan Tanjakan Siluk itu pas hari Minggu (8/6/2014). Start dari dasar tanjakan pukul 06.35 WIB dan sampai di puncak pukul 08.00 WIB. Ada satu setengah jam lah ya. Nggak tahu deh itu rekornya si Mbah Gundul berapa. #hehehe

 

Nah, berhubung tangki perut sudah kelap-kelip minta diisi, mari isi bensin dulu di warung makan. Yang jadi pilihanku waktu itu adalah warung padang Tuah Saiyo. Letaknya di depan Puskesmas Panggang I. Dari logat ibu pemilik warung, sepertinya beliau bener-bener orang Padang. Wow, orang Padang ada juga ya yang merantau ke Panggang.

 


Warung Padang di tempat terpencil kayak gini?

 

Ya sudahlah, mari makan dulu. Seporsi nasi sayur padang dengan lauk hati-ampela ditambah segelas teh panas dihargai Rp11.000. Benar-benar hadiah istimewa untuk perut selepas melibas tanjakan. Sambil mengamati foto yang terpajang di kalender, aku mikir, enaknya ke mana lagi ya sehabis ini?

 


Berikutnya?

 

Apa balik turun lagi menuju Imogiri? Atau...

NIMBRUNG DI SINI