Jam menunjukkan pukul setengah dua belas siang sementara gerimis masih belum mau beranjak pergi dari Desa Jatimulyo di Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Hawa dingin Perbukitan Menoreh yang berpadu dengan rintik hujan semakin merangsang gemuruh suara perut. Terlebih lagi, bekal martabak asin beserta terang bulan yang kami bawa telah lama ludes saat melibas tanjakan.
Maka dari itu, berhentilah kami bertiga di sebuah warung makan sederhana yang berada tak jauh dari Pasar Jonggrangan. Kami disambut oleh ibu pemilik warung yang sedang menggoreng panganan. Semerbak harum gorengan menggoda kami untuk segera mencicipinya.
Nama panganan itu cukup mengundang geli. Geblek. Panganan khas Kulon Progo ini terbuat dari tepung pati/tapioka basah. Geblek cocok disantap selagi hangat. Bila sudah dingin kekenyalannya nyaris menandingi kenyalnya ban sepeda.
“Hayo, tadi kamu sudah makan berapa?”, tanya Paris yang membuyarkan kenikmatanku mencomot geblek.
“Geblek ini satunya berapa Bu?”, tanyaku ke Ibu pemilik warung sambil mengacungkan satu bulatan geblek sebelum akhirnya masuk ke mulutku.
“Empat-seribu Mas, kalau yang itu tiga-seribu,” jawab sang Ibu sambil membolak-balik geblek yang sedang digoreng.
Yang dimaksud “itu” oleh sang ibu tak lain adalah inovasi terbaru dari geblek, yakni geblek yang di dalamnya diisi dengan sambal tempe. Geblek jadi lebih padat dan tentu berukuran lebih besar. Pantas harganya sedikit lebih mahal.
“Orang di sini kalau makan geblek jodohnya dengan koro benguk Mas,” lanjut sang Ibu.
Apa pula itu koro benguk? Oh, ternyata tempe! Bedanya tempe ini tidak memakai kacang kedelai melainkan kacang koro (Mucuna pruriens). Perbedaannya dari kacang kedelai adalah ukuran bulirnya yang jauh lebih besar. Tapi soal rasa ya sama-sama enak dan jelas bergizi. Nyam! Cocok sudah sebagai penghangat di tengah cuaca gerimis.
“Di sini kedelai susah dicari Mas, lebih gampang koro benguk”.
Sepertinya imbas nilai tukar dollar yang kian melangit membuat kedelai yang mayoritas barang impor sulit diperoleh di desa-desa perbukitan Menoreh. Bisa jadi warga tak sanggup menebus lonjakan harga kedelai dan mereka lantas berinovasi mengganti kacang kedelai dengan koro benguk sebagai bahan baku tempe. Yah, pada zaman yang serba sulit ini kita memang harus pintar-pintar mengakali hidup.
“Oh ya, tadi pesan teh panas ya? Hampir lupa saya,” sang Ibu pun lantas berpaling sebentar dari penggorengan dan menyiapkan teh panas untuk kami.
Ketika sang Ibu hendak menuang air panas ke dalam gelas-gelas berisi teh, aku menjumpai keunikan yang membuatku tak ragu untuk bertanya.
“Bu, kenapa tutup termosnya bohlam?”
“Biar panasnya awet Mas. Di sini kan dingin, kalau masak air pagi, siang sedikit airnya sudah dingin lagi. Kalau ditutup bohlam bisa awet sampai sore”.
Ini unik. Berarti benar yang aku anggap selama ini bahwasanya orang Indonesia itu tidak punya aturan baku untuk menggunakan suatu benda. Misalnya ya itu tadi, lampu bohlam jadi tutup termos. Lebih bagus lagi kalau lampunya bisa menyala ya? Hahaha. #senyum.lebar
Tepat sebelum kami meninggalkan warung, kami berjumpa dengan seorang simbah yang sedang merajang mahkota dewa (Phaleria macrocarpa). Uniknya, simbah ini juga mengasah pisaunya menggunakan genteng.
Inilah Indonesia, lebih tepatnya Kulon Progo. Bahwasanya hal-hal unik bisa dijumpai di sebuah warung makan yang sederhana. Perut sudah terisi, saatnya bersepeda lagi!
Mereka menilai bahwa tungsten, bahan yang digunakan sebagai media untuk mengalirnya arus listrik dan mengakibatkan lampu menyala, ternyata juga berbahaya bagi lingkungan meski masih lebih berbahaya timah dan merkuri.
Sebelumnya para ahli berkeyakinan bahwa tungsten jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan timbal ataupun merkuri.
penjualnya soalnya arti geblek dari jawa gitu deh.,,
liatin makananannya. Nasibb anak laut nggak pernah tahu makanan khas sana :-D
cen istimewa kok kulon progo ki :D
peramal) hhaha