Halo Pembaca semua! Tidak terasa hari ini sudah hari Kamis yang berarti lusa sudah akhir pekan dan sudah lewat 8 hari semenjak artikel terakhir di blog ini terbit, hehehe. #hehehe
Aku menulis artikel ini karena aku “terusik” oleh foto mencengangkan yang aku lihat di laman Facebook berikut ini.
Foto tersebut diambil oleh mas Danang Mahendra di objek wisata Goa Pindul, Karangmojo, Gunungkidul, DI Yogyakarta (pinjam fotonya yo Mas!). Goa Pindul menawarkan sensasi mengarungi sungai di dalam gua menggunakan ban terapung (cave tubing).
Seumur-umur, aku sendiri belum pernah ke sana. Namun, setelah melihat foto di atas aku merasa turut berdosa. Pembaca tahu sendiri lah, berapa banyak objek hasil blusukan-ku yang aku ekspos di blog ini. Aku khawatir, bisa jadi salah satu objek tersebut bakal bernasib serupa seperti Goa Pindul tersebut.
Saat aku sedang merenungi perasaan berdosaku itu, muncul suara lain (suara setan barangkali ya?) yang memberikan “perlawanan” bahwa kejadian ini tidak sepenuhnya salahku. Pertama, aku tak pernah mempromosikan Goa Pindul (tapi mempromosikan objek wisata lain). Kedua, kalau dipikir berdasarkan logika, suatu tempat kalau disinggahi banyak manusia ya bakal jadi sesak dan itu yang terjadi pada Goa Pindul saat foto tersebut direkam.
Setelah aku mencari inspirasi sambil ngendog, aku tiba pada kesimpulan berikut.
Semua ini terjadi karena objek wisata terlampau ramai oleh pengunjung.
Apakah ada akibatnya? Ada.
Akibat positif yang paling mudah dirasakan adalah pengelola memperoleh banyak pemasukan. Betul kan?
Sedangkan akibat negatifnya adalah pengelola bakal kerepotan menangangi banyak orang, pengunjung menjadi tidak nyaman, dan yang terpenting adalah besar kemungkinannya ekosistem Goa Pindul jadi rusak.
Yang terakhir ini yang paling penting. Sebab orang tertarik datang ke Goa Pindul adalah karena guanya. Kalau guanya rusak, tidak seperti dulu lagi, buat apa ke sana? Ya toh?
Menurutku, membeludaknya pengunjung Goa Pindul harus ditanggulangi agar kejadian yang serupa tidak terulang. Oleh sebab itu, baik pengelola maupun pengunjung harus sadar bahwa:
Alam memiliki keterbatasan untuk memenuhi hasrat manusia.
Paham? Nah, mari kita laksanakan hal-hal berikut. Dimulai dari hal-hal yang mesti dilakukan oleh pihak pengelola:
Pertama, hentikan promosi yang bersifat masif seperti iklan yang membombardir. Kenapa? Sebab promosinya sudah (terlalu) sukses sehingga mendatangkan (terlalu) banyak pengunjung.
Kedua, menetapkan batasan pengunjung per hari. Ini yang lumayan sulit dilakukan karena otomatis pemasukan tidak bakal membeludak. Tapi ini yang semestinya harus dilakukan sejalan dengan yang aku katakan di atas tadi.
Dengan cara ini, pengunjung yang hendak singgah bisa melakukan pemesanan tempat terlebih dahulu. Sedangkan informasi batasan pengunjung per harinya bisa diinformasikan lewat media sosial. Ini sudah zaman internet Bung!
Sedangkan bagi pengunjung yang hendak singgah, ini yang mesti dilakukan:
Pertama, datang ke lokasi sepagi mungkin. Kalau perlu menunggu objek wisatanya buka. Sebab, biasanya kalau datang awal, jumlah pengunjungnya masih sedikit.
Kedua, misalkan saat tiba jumlah pengunjung di sana sudah banyak ya jangan memaksakan diri untuk tetap berkunjung. Silakan mencoba esok hari seperti saran yang pertama atau bisa juga datang di hari kerja.
Kalau saran-saran yang aku sebutkan di atas diterapkan, aku yakin nggak bakal ada kejadian seperti foto di atas. Intinya sih salah satu harus ada yang mengalah, apakah itu pengelola, pengunjung, atau alam. Seringnya sih, alam yang dipaksa mengalah menuruti keinginan manusia, sebab alam tak bisa protes.
Nah, sudah tahu akhir pekan ini Pembaca mau ke mana? #senyum.lebar
lihat foto di atas... antri masuknya berapa lama tuh...:)