HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Suvenir Paksa di Danau Batur Bali

Selasa, 6 Agustus 2013, 13:29 WIB

Kunjungan singkat di Danau Batur pada hari Kamis sore (4/4/2013) itu hanyalah sebagai “pemanasan” acara hunting foto yang bakal aku dan Radit lakukan selama beberapa hari ke depan di Pulau Bali. Danau Batur yang terletak di kawasan Bali utara ini kami pilih karena jaraknya yang lumayan jauh dari Denpasar (apalagi Kuta). Katanya nih, semakin jauh dari Denpasar, obyek fotonya semakin bagus.

 

Eh, itu baru kaaa-taaa-nyaaa lhoo... #hehehe

 

Perjalanan dari Denpasar menuju Danau Batur pun relatif tanpa hambatan. Hanya sedikit ragu-ragu apakah kalau lurus terus ke utara bakal sampai Kintamani ataukah Tampaksiring. Alhasil, kami sempat keluar dari jalan raya utama dan “nyasar” ke Desa Tegalalang.

 


Foto di atas ini di Selopamioro, Bantul. Yang di desa Tegalalang kurang lebih mirip lah.

 

Desa Tegalalang terkenal dengan pemandangan persawahan teraseringnya. Buat turis asing mungkin luar biasa menarik, tapi buatku tak jauh beda dengan persawahan di Selopamioro, Bantul. Oke, lanjut lagi pergi menuju Kintamani.

 

“Bos, sini Bos, berhenti dulu Bos!”

 

Dengan polosnya, kami pun meminggirkan sepeda motor dan mendekat pada dua orang pemuda yang melambai-lambaikan tangan di muka kantor polisi yang dekat dengan jalan turunan menuju Danau Batur.

 

“Bos, mau nyebrang nggak? Murah kok!”

 

Wah, ini pasti ada apa-apanya nih. Kalau memang murah, nggak perlu ditawarkan pasti orang-orang sudah pada berdatangan dengan sendirinya. Oleh sebab kami mencium gelagat yang nggak beres tersebut, ya... kami tolak. Ternyata, sepanjang jalan menuju Danau Batur banyak banget orang-orang yang menawari jasa naik perahu. Wew....

 


Ini tarif nyebrang pakai perahu di danau Batur. Cara bacanya, kalau penumpangnya hanya satu orang bayarnya Rp376.810. Kalau penumpangnya bertujuh, masing-masing membayar Rp433.810 / 7 = Rp61.972.

 

Sesampainya di dermaga dusun Kedisan, tawaran jasa perahu berganti dengan tawaran suvenir oleh seorang ibu. Ibarat lepas dari mulut macan langsung masuk ke mulut buaya. Ibu ini bersikukuh memaksa kami untuk membeli suvenirnya. Wealah Bu....

 

Kejadian-kejadian seperti ini seakan memunculkan anggapan bahwa turis-turis yang singgah di Danau Batur itu punya banyak uang. Sedangkan warga lokal miskin-miskin. Oleh sebab itu para turis harus memberi "santunan" bagi warga lokal dengan membeli jasa atau barang yang mereka dagangkan.

 

Perkara suvenirnya ya... menurutku sih biasa-biasa saja. Harganya pun lambat-laun diturunkan. Rasa iba lenyap berganti dengan perasaan jengkel. Ingin rasanya aku memarahi sang Ibu supaya menjual dengan cara yang lebih santun.

 


Ibu-ibu yang "bertugas" menawarkan dagangan ke wisatawan yang pakai mobil.

 

Dari penuturan sang ibu, beliau dapat tugas untuk menjajakan suvenir ke turis yang datang mengendarai sepeda motor. Ibu itu tidak boleh menjajakan suvenir ke turis bermobil, sebab itu sudah jadi tugas penjaja yang lain. Beliau mengeluh, kalau seharian ini suvenirnya tidak ada yang laku terjual dan mungkin itu sebabnya beliau terus-menerus memaksa kami.

 

Ya iya lah Bu, ini kan bukan hari libur, wajar kalau Danau Batur sepi turis! #sedih

 


Wisatawan yang dikerubuti penjaja suvenir di atas buatku sih nggak nyaman.

 

Namun sepertinya ibu-ibu penjaja suvenir itu tidak berputus asa tatkala tak ada yang berminat dengan suvenir mereka. Asal mereka bisa mendapat balas berupa uang, mereka tak segan-segan menawari turis dengan layanan lain. Seperti misal memijat turis yang kelelahan. Benar-benar gigih usaha mereka untuk mendapatkan imbalan uang.

 


Dermaga dusun Kedisan yang terlihat sepi, padahal ya...

 

Merasa tak nyaman, kami pun meninggalkan dermaga Kedisan. Niatnya sih blusukan aja, mencari spot foto bagus di sepanjang danau Batur yang luas. Nah, begitu menemukan spot foto yang lumayan menarik, kami lantas memarkir motor di pinggir jalan desa. Pikirku, di tempat yang sepi ini kami bisa memotret dengan tenang tanpa ada gangguan.

 

Ealah ternyata pikiranku itu hanya sebatas angan! Nggak seberapa lama, kami dihampiri oleh seorang bapak yang mengendarai sepeda motor. Lagi-lagi, sang bapak menawari kami menyebrang ke Desa Trunyan dengan perahu. Jengkelnya pula, sang bapak nggak beranjak pergi dari tempat motor kami diparkir! Mungkin beliau menunggu kesempatan. Siapa tahu kami berubah pikiran. Duh!

 

Tapi nggak apa-apa deh. Syukur karena ada sang bapak jadinya ada orang yang menjaga motor sewaan kami secara cuma-cuma, hehehe #hehehe. Padahal ya kami lumayan lama juga itu motret dari pinggir Danau Batur. Mungkin ada lah sekitar setengah jam.   

 

 

Merasa nggak ingin terus-menerus "diteror" oleh warga lokal, kami pun meninggalkan danau Batur dan kembali ke Denpasar. Syukur, dari sekian hari perjalanan kami di Bali, hanya di Danau Batur inilah yang menurutku “tekanan” dari warga lokalnya sangat terasa sekali.

 

Aku sempat berpikir, apakah memang sebegitu menggiurkannya uang di kawasan wisata Danau Batur. Sehingga hampir semua warga lokal tak ingin menyia-nyiakan celah di antara celah untuk mendapatkannya.

 

Pembaca juga sudah pernah ke Danau Batur di Bali?

NIMBRUNG DI SINI