Seperti yang kerap diberitakan, belum lama ini Jogja diwarnai oleh berbagai macam aksi kekerasan. Nah, kalau bicara tentang kekerasan, aku jadi teringat sebuah spanduk yang aku jumpai saat melahap tanjakan menuju desa wisata Krebet. Seperti ini wujud spanduknya.
Seperti yang kita ketahui, ada berbagai cara untuk melarang seseorang untuk tidak melakukan sesuatu. Dari sekadar himbauan persuasif hingga ancaman agresif seperti yang termuat pada spanduk tersebut.
Menurutku, yang seperti itu tuh bisa dikategorikan sebagai kekerasan. Tentu, bukan berbentuk kekerasan fisik, melainkan kekerasan verbal.
“Buang sampah disini? Nyawa taruhannya.”
Tentu, membuang sampah tidak akan pernah menyebabkan seseorang mati. Benda mati yang kita buang tak akan mencederai kita secara langsung. Satu-satunya yang bisa mencederai kita saat membuang sampah tentu disebabkan oleh faktor luar, secara tidak langsung. Salah satunya adalah ....
“Dibacok warga, jangan salahkan kami!”
Mencederai orang apakah sebuah kesalahan atau kebenaran? Saat kita menyimak ancaman di atas, pertanyaan tersebut menjadi bias bukan? Siapakah “kami” hingga ia tak berkenan disalahkan? Kenapa pula warga yang membacok luput dari kesalahan? Seharusnya kan pelaku pembacokan (yaitu warga) yang disalahkan dan bukan “kami”?
Jangan-jangan “kami” ini adalah ....
“Bagi yang nekat tidak selamat dunia akhirat”
Ya. Pasti. Tentu saja. Aku yakin “kami” itu adalah Tuhan! Sebab hanya Tuhan yang mampu menjamin keselamatan dunia sekaligus akhirat. Dhemit saja mana bisa seperti itu? Apalagi manusia?
Sudah tentu, segala macam kejadian yang dialami manusia sudah digariskan oleh Tuhan. Sehingga, kita tidak boleh menyalahkan Tuhan. Benar begitu kan?
Jadi, sudah jelas bahwa “kami” adalah Tuhan dan spanduk itu adalah “peringatan” dari Tuhan bagi umat manusia! Spektakuler!
Benar-benar...
Pembaca percaya bahwa spanduk itu dibuat oleh Tuhan? Bahlul ente kalau percaya!
Ah, mana mungkin Tuhan mengajarkan kekerasan? Beda soal ini dengan kelakuan orang-orang yang melakukan kekerasan mengatasnamakan Tuhan. Jadi, pastilah spanduk ini dibuat oleh manusia yang menyaru sebagai Tuhan.
Eh, kenapa aku jadi melantur membicarakan Tuhan ya?
Yang jelas melihat spanduk itu membuatku rindu akan slogan “Yogyakarta Berhati Nyaman”. Ah, tapi itu kan di kota Jogja. Berhubung ini di sekitar wilayah Bantul jadi mungkin slogan itu tak berlaku.
Namun mungkin, bilamana tak ada spanduk ancaman itu, bisa jadi masih ada orang-orang bahlul yang membuang sampah tidak pada tempatnya. Ah, lama-lama tingkah-polah warga Jogja makin membuatku bingung.
disebuah masjid, pernah juga liat papan peringatan bertuliskan, mencuri di sini hukumnya syariat islam (http://kalamata.me/20110812/mencuri), yang berarti potong tangan. tp tentu, ini sama spt spanduk diatas. hanya sekedar kekesalan saja, atau mungkin, keputus asaan berharap kesadaran masyarakat.
saya seringkali manruh sampah di tas/kantong celana kemudian membuangnya di
tempat sampah. mungkin perlu disediakan tempat sampah juga disana kali yah biar
orang ga sembarangan lagi
tidak bisa, kayaknya memang perlu gertakan semacam ini deh...