Berhubung hari Minggu kemarin (14/4/2013) adalah hari yang "spesial" bagi beberapa orang, aku mau bercerita tentang peristiwa yang terjadi sekitar 3 tahun yang lalu. Tepatnya di hari Sabtu (12/6/2010).
Di hari Sabtu itu, jam masih menunjukkan pukul 10 pagi, yang mana sebagian kawan SPSS menganggapnya masih terlalu pagi untuk bersepeda pulang ke rumah masing-masing. Oleh sebab itu, setelah mangkuk soto wisuda yang kesekian telah licin tandas, bersabdalah Mbah Gundul bahwa dirinya punya rute bersepeda yang tak kalah menarik dari tanjakan jahanam Cinomati.
Memang, dari puncak Cinomati pilihan untuk kembali turun ke dasar adalah lewat Patuk, lewat Imogiri, atau berbalik lewat tanjakan Cinomati yang kini berubah menjadi turunan tajam. Berhubung ada prinsip “rute pulang tak boleh sama dengan rute pergi” dan didorong oleh rasa penasaran, alhasil ya dengan lugunya kami mengikuti ajakan Mbah Gundul itu. #hehehe
Boleh dibilang rutenya memang menarik, sebab medan jalannya menurun terus. Girangnya hati kami, tak perlu lagi susah payah menerjang tanjakan. Semoga tetap seperti ini sampai menyentuh jalan raya menuju kota Jogja.
Hingga tibalah kami di sebuah persimpangan jalan dengan petunjuk ala kadarnya. Berhubung Wonosari itu jauh dan Dlingo/Imogiri terlalu biasa, maka Mbah Gundul memilih arah menuju Banyu Urip. Yang dimaksud dengan Banyu Urip adalah nama suatu dusun di Desa Jatimulyo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.
Di tengah perjalanan menuju dusun Banyu Urip, kami berjumpa dengan pohon jati kluwih. Ini pohon yang sangat unik dan langka, karena pohon ini... galau! Hahaha. #senyum.lebar
Pohon jati kluwih ini punya batang pohon jati (Tectona grandis), namun daunnya mirip daun pohon kluwih (Artocarpus altilis). He? Apakah pohon ini bermutasi?
Menurut referensi di internet, keanehan pohon jati kluwih ini tidak lepas dari kisah pengembaraan Sunan Kalijaga dan muridnya Sunan Geseng. Yang mana mereka berdebat menentukan “nasib” pohon tersebut apakah kelak menjadi pohon jati ataukah pohon kluwih. Apa pun kisah mistik yang melekat itu, bagi kami pohon ini hanyalah satu dari sekian objek menarik untuk berfoto bareng. #senyum.lebar
Titik akhir dari rute Banyu Urip ini adalah sebuah sendang (mata air) yang bernama Sendang Banyu Urip atau Sendang Panguripan. Keberadaan sendang ini juga tak lepas dari kisah pengembaraan Sunan Kalijaga dan muridnya Sunan Geseng. Air sendang ini dipergunakan untuk “menghidupkan” kembali Sunan Geseng dari kondisinya yang sekarat karena terbakar.
Berhubung hari itu bertepatan dengan ulang tahun mas Arief, maka kami tidak lupa memberikan hadiah kaos “DEORE: Dengkule ora Rewel” yang disertai bonus tepung terigu, hahaha. #senyum.lebar
Tentu yang seperti ini sudah masuk dalam rencana busuk kami #hehehe. Toh dekat dengan sendang Banyu Urip, jadi mas Arief gampang untuk bersih-bersih.
Apa lantas kisah ini berakhir bahagia? Hahaha... TIDAK!
Dari Banyu Urip menuju jalan raya arah Jogja, kami harus mendaki tanjakan yang lebih jahanam dari Cinomati. Apalagi saat itu hari sudah beranjak siang dan makin panas. Inilah rencana busuk yang disiapkan oleh Mbah Gundul untuk kami. Beh!
Eh, tapi jangan salah! Nggak ada satu pun dari kami yang bersepeda dengan bantuan tandem dari Mbah Gundul. Tanjakan Cinomati telah mengubah kami menjadi pesepeda yang gagah perkakas, hahaha. #senyum.lebar
Rute tanjakan penuh penderitaan menuju Jogja ini berakhir di Jl. Wonosari, tepatnya di dekat pos polisi Patuk. Dari sana kami hanya tinggal menuruni tanjakan Patuk untuk mampir di warung mie ayam Jl. Wonosari, Piyungan demi mengisi bensin perut yang kian menipis.
Selesai!
Pesan moral dari kisah ini adalah, jangan pernah menyerah! Sebab kita telah terbukti, pernah, menjadi orang-orang yang tangguh dalam menghadapi penderitaan.
Semoga kalian hidup berbahagia selamanya!
dari postingan ini makan mie ayam. OMG padahal baru kemarin makan mie juk pengen lagi.
Terus itu pohonnya ajah bisa galau apalagi manusia ya .