Kota Jogja itu mirip magnet, menarik banyak orang untuk datang kemari. Katanya sih kotanya asyik gitu. Tapi, untuk urusan naik angkutan umum, misalnya bus kota, sepertinya jauh dari kata asyik deh. Makanya, banyak yang kemudian memilih naik kendaraan pribadi deh.
Jadi, langsung to the point aja deh, ini dia 5 alasan untuk tidak naik bus kota Jogja.
1. Tidak Melewati Semua Tempat (Jalan)!
Kebayang nggak sih kalau bus kota itu harus melewati setiap jengkal tempat di kota Jogja? Macamnya perumahan, tempat usaha, sekolah, rumah sakit, dsb? Pasti rutenya bakal berbelit-belit kan?
Kalau misalnya nih ada zonasi perumahan, tempat usaha, dll kan rutenya bakal lebih enak. Apalagi kalau bangunannya berwujud gedung, yang bisa menampung banyak kepentingan jadi satu. Bus kota kan jadi nggak perlu muter-muter ke banyak tempat kan?
Sayangnya ya di Kota Jogja nggak seperti itu.
Sebabnya Kota Jogja itu masih punya ciri khas desa yang masih tradisional. Bukan karena masih banyak sawah dan juga ayam kejar-kejaran di jalan lho ya!
Kita tahu kalau bangunan desa nggak mengenal konsep gedung. Perumahan desa pun tidak mengenal konsep rumah susun. Rata-rata suatu bangunan desa itu menempati lahan yang cukup luas dan itu hanya untuk satu kepentingan, misalnya rumah, tempat ibadah, atau balai rakyat.
Semakin banyak tempat, maka jumlah jalan jadi banyak. Akibatnya, mengatur rute bus untuk melewati semua jalan itu adalah sesuatu yang repot! Kalau mau cepat sampai tujuan yang ada di pelosok Kota Jogja pakai aja taksi atau ojek, walau ya....
2. Tidak Tertib!
Kalau perilaku pengemudi bus kota yang suka seenaknya sendiri sih, yaaah ... sepertinya kita sudah paham ya? #hehehe
Tapi, sebetulnya yang sering dipermasalahkan adalah tidak tertibnya jadwal bus kota. Yah, kan tidak semua orang yang naik punya jadwal yang lenggang. Misalnya saja siswa sekolah atau pekerja kantoran, mereka kan perlu tiba di lokasi tepat waktu kalau nggak mau kena hukuman, hehehe. Solusinya ya harus berangkat lebih awal.
Nah sayangnya ya itu, untuk kondisi dan situasi yang serba ketat bin mendesak, sangat tidak nyaman bila kita menggantungkan harapan pada bus kota. Kalau situasinya begini lebih baik naik taksi atau becak, walaupun....
3. Armadanya Terbatas!
Terbatas yang aku maksud ini bukan terbatas dalam hal fasilitas di dalam bus kota lho ya! Namanya juga bus kota itu angkutan umum = angkutan rakyat. Rakyat yang dimaksud di sini adalah rakyat pada umumnya. Jadi, fasilitasnya ya disesuaikanlah dengan apa yang sehari-hari dinikmati, seperti nggak ada AC, joknya keras, dan asap rokok masih melayang di mana-mana. Hal biasa itu.
Perlu diingat bahwa angkutan umum tradisional warga Jogja dahulu kala (dan masih ada hingga kini) adalah becak dan andong. Jadi, bus kota yang “merakyat” itu bisa dibilang adalah evolusi, bahkan mungkin akulturasi budaya. Anggaplah seperti orang Indonesia menyantap steak bersama nasi pakai tangan kosong gitu deh. #hehehe
Terbatas yang aku maksudkan ini lebih kepada jumlah armada angkut yang terbatas, yang tidak tersedia setiap saat ketika warga kota membutuhkannya. Apalagi, jam beroperasi bus kota pun juga terbatas hanya sampai azan magrib. Untungnya ada bus TransJogja yang beroperasi sampai malam, tapi ya....
4. Tarifnya Mahal!
Kalau pembaca naik taksi sih memang mahal! Jadi, mari kita tidak membahas taksi, hahaha. Naik becak sebenarnya juga sama mahalnya, tapi masak ya tega membayar jernih-payah pak becak dengan upah murah?
Tarif bus kota di Kota Jogja ini tarifnya flat Rp2.500 sekali jalan. Sekilas memang terlihat murah nan menggiurkan. Bisa keliling Kota Jogja hanya dengan Rp2.500 aja lho!
Tapi, uang Rp2.500 itu kalau di Jogja sudah bisa buat makan. Di banyak angkringan yang tersebar di kota Jogja, rata-rata 1 bungkus nasi kucing ditambah 2 gorengan dihargai Rp2.500. Bukan melebih-lebihkan, tapi kenyataannya memang uang makan dan uang transportasi itu bisa sama nilainya di kota Jogja, hahaha.
Nah, tarif yang relatif murah itu bisa jadi mahal tatkala seseorang harus berpindah-pindah angkutan umum. Apalagi kalau dihitung ongkos pergi-pulang, kan jadinya dilipat-gandakan.
Bayangkan, kalau ada orang yang rumahnya di Bantul, dia mesti 3 kali naik angkutan umum yang berbeda untuk sampai di tempat kerjanya. Bisa-bisa dia mengeluarkan uang lebih dari Rp10.000 dalam sehari hanya untuk pergi-pulang. Dalam sebulan berapa pengeluarannya? Mahal kan?
Untungnya sekarang sudah ada angkutan TransJogja. Tarifnya memang lebih mahal, Rp3.000 sekali jalan. Tapi untuk berganti angkutan TransJogja yang beda jalur, pengguna tidak ditarik tarif lagi asalkan masih berada dalam halte. Sayangnya ya itu....
5. Tidak Efisien!
Nah! Ini dia nih alasan paling top untuk tidak naik angkutan umum di kota Jogja. Apa saudara-saudara?
Tidak Efisien!
Lha terus yang efisien apa? Menurut orang Jogja pada umumnya, berhubung satu liter premium di SPBU masih dihargai Rp4.500 dan satu liter premium bisa menggerakkan sepeda motor hingga belasan kilometer, maka ... ya ... begitu deh #hehehe
Sepengamatanku, orang-orang baru mau berubah ketika hidup dalam kondisi yang serba terpaksa. Ketika faktor alam tidak menjadi hal utama yang membuat hidup susah, ya... untuk apa berubah? Sehingga yang bisa membuat orang berubah adalah “paksaan” dari orang-orang di sekitar.
Kalau harga BBM menembus angka belasan ribu rupiah, pajak kendaraan pribadi yang tinggi, mungkin baru bakal banyak orang yang beralih ke angkutan umum. Lantas sesuai permintaan pasar, semakin banyak orang yang membutuhkan angkutan umum, jumlah armada yang tersedia pun semakin banyak dan jumlah jalan yang dilalui juga makin banyak. Efek lainnya adalah bisa jadi angkutan umum jadi makin tertib dan tarifnya tidak lagi mahal.
Selama pengandaian di atas belum terjadi, ya jangan harap deh angkutan umum menjelma menjadi moda transportasi yang efisien. Walaupun begitu, kalau pembaca orangnya termasuk penyabar, tidak diburu oleh waktu, mungkin poin-poin yang aku sebutkan di atas bakal tidak terlalu berpengaruh.
Eh iya, setelah aku baca ulang, secara garis besar sepertinya bukan hanya berlaku di Kota Jogja saja deh, tapi di kota-kota Indonesia pada umumnya ya?
Kelemahan bangsa kita itu adalah penataan moda transportasi yang memadai. Kita sebenarnya bisa kok asal niat dan mau berubah menjadi lebih baik.
jalan jalur berapa saja? Tahun kemarin (Desember 2014) yang saya liat cuma jalur 2, 12 dan
15. Itu pun udah beda banget. Dulu jalur 2 yang jaraknya sekitar 5 menitan jadi 1 jam-an
Menurut saya, sistem transportasi umum di Jogja itu paling cocok ketika era 80-2000an awal. Masih banyak bus kota. Sekarang TransJogja bikin susah aja. Tidak semua jalur bus kota lain dilewati. Alhasil masyarakat ogah nunggu dan pake kendaraan pribadi. Imbasnya kalau pas ada libur panjang sedikit aja langsung padat banget jalanan!!
Selain itu, taksi di Kota Jogja juga memprihatinkan. Mereka hanya muter-muter nyari penumpang di jalan protokol saja. Coba Anda nunggu taksi di pinggiran Kota Jogja. Nggak bakal ada yang lewat!! Dan ketika tengah malam mencari taksi, nelpon ke 8 operator taksi nggak ada yang ngangkat. Ada satu itu pun di jawab \"maaf armada kami sedang tidak ada di wilayah situ\".
Jogja kota tujuan wisata... ya gitu deh. Saya orang Jogja asli aja sudah seneb kalo ngeliat sistem transportasinya. Percuma di sini banyak orang pinter. Banyak kampus ternama. Tapi menata transportasi umumnya aja nggak bisa
Negara ini ikut-ikutan negara lain mending jadi negara sendiri brow!
Pernah naik trans jogja itu, padet dan ngebut. Gasuka :(
sangat singkat. Berangkat pagi pakai bus kota lantas pulangnya terpaksa ngojek atau taksi
karena tak ada bus yang lewat
kalau bus kota di kota saya bisa lebih gila lagi mas haha
monggo kunjungi palembang kalau mau liat bus kota yang wah wah haha..
Pernah naik Kobutri kuning yang kecil?
Saya setahun SMA naik itu, rasanya kayak di dalam kaleng Khong Guan
yang sudah terinjak-injak. Itu sih sedikit pengalaman saya naik bus di Jogja.
Kalau masalah point-point di atas, menurut saya masih spesifik ke akibat.
Saya lebih suka menilik dari sebabnya. Point 4 saya kira lebih tepat untuk merujuk ke
sebab mengapa bus di Jogja kondisinya seperti saat ini.
Sebab itu yang saya masih bingung adalah \"Mengapa yang disubsidi kok BBM bukan
kendaraan umum?\"
NB: kok harus centang dulu sebelum kirim?
Memang kalau ditelisik, tarif merupakan penyebab utama yang \"mengendalikan\" keempat faktor yang lain. Mungkin, selama kita masih berpegang pada prinsip value for money, faktor tarif masih akan tetap menjadi \"pengendali\" faktor yang lain.
Fitur centang itu kan pengaman, semacam captcha, memang sudah sejak lama kan?
Rp. 200 dan bisa keliling jogja... dari Gejayan sampai Alun2 ya cuma habis Rp. 200
cuma mengandalkan kartu mahasiswa.... hehehehe....
Cuma ya itu bis kota sering ngetem terlalu lama, dan tidak semua jalan dilalui... harus
ganti2 jalur, copet... dari rumah mau naik bis harus jalan kaki dulu... yah begitulah...
kalau pergi ke malioboro tidak bisa sampe malem2 soale habis jam maghrib bis habis
kalo habis pulang bisa jalan kaki.....
sebesar Rp 10.000,-....tp sedih banget lihat bis kota jogja skrg, jalur andalanku sdh mati
skrg alias ndak jln lg, pdhl dulu rebutan sampe nggandul...
sedang turun gunung saya pakai transj juga, hihi
Di Surabaya sama aja mas, transportasi umum mahal dan nggak efisien. Naik bus kota sekali naik 4.000. itupun nggak ngelewatin semua tempat. Cuma lewat jalan-jalan utama aja. Buat sampai ke rumah atau kantor mesti naik angkot lagi 3.000. Itupun kadang nunggu angkotnya sampe jenggotan nggak nongol-nongol. Beda sama di Jabodetabek yang angkotnya super banyak, di Surabaya juga banyak sih.. Tapi yang jalan satu per satu dengan jarak yang cukup jauh. Kalo di Jabodetabek sih angkot balap-balapan cari penumpang. Ya kalo dihitung udah berapa tuh? Sehari bisa habis 14.000 buat transport. Uang segitu bisa buat beli premium 3 liter yang bisa dipake buat motoran tiga hari.