HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

5 Alasan Tidak Naik Bus Kota Jogja

Jumat, 14 Desember 2012, 08:50 WIB

Kota Jogja itu mirip magnet, menarik banyak orang untuk datang kemari. Katanya sih kotanya asyik gitu. Tapi, untuk urusan naik angkutan umum, misalnya bus kota, sepertinya jauh dari kata asyik deh. Makanya, banyak yang kemudian memilih naik kendaraan pribadi deh.

 

Jadi, langsung to the point aja deh, ini dia 5 alasan untuk tidak naik bus kota Jogja.

 

1. Tidak Melewati Semua Tempat (Jalan)!

Kebayang nggak sih kalau bus kota itu harus melewati setiap jengkal tempat di kota Jogja? Macamnya perumahan, tempat usaha, sekolah, rumah sakit, dsb? Pasti rutenya bakal berbelit-belit kan?

 

Kalau misalnya nih ada zonasi perumahan, tempat usaha, dll kan rutenya bakal lebih enak. Apalagi kalau bangunannya berwujud gedung, yang bisa menampung banyak kepentingan jadi satu. Bus kota kan jadi nggak perlu muter-muter ke banyak tempat kan?

 

Sayangnya ya di Kota Jogja nggak seperti itu.

 

Sebabnya Kota Jogja itu masih punya ciri khas desa yang masih tradisional. Bukan karena masih banyak sawah dan juga ayam kejar-kejaran di jalan lho ya!

 

Kita tahu kalau bangunan desa nggak mengenal konsep gedung. Perumahan desa pun tidak mengenal konsep rumah susun. Rata-rata suatu bangunan desa itu menempati lahan yang cukup luas dan itu hanya untuk satu kepentingan, misalnya rumah, tempat ibadah, atau balai rakyat.

 

Semakin banyak tempat, maka jumlah jalan jadi banyak. Akibatnya, mengatur rute bus untuk melewati semua jalan itu adalah sesuatu yang repot! Kalau mau cepat sampai tujuan yang ada di pelosok Kota Jogja pakai aja taksi atau ojek, walau ya....

 


Bus Kota Jogja seperti Bus Kota pada umumnya.

 

2. Tidak Tertib!

Kalau perilaku pengemudi bus kota yang suka seenaknya sendiri sih, yaaah ... sepertinya kita sudah paham ya? #hehehe

 

Tapi, sebetulnya yang sering dipermasalahkan adalah tidak tertibnya jadwal bus kota. Yah, kan tidak semua orang yang naik punya jadwal yang lenggang. Misalnya saja siswa sekolah atau pekerja kantoran, mereka kan perlu tiba di lokasi tepat waktu kalau nggak mau kena hukuman, hehehe. Solusinya ya harus berangkat lebih awal.

 

Nah sayangnya ya itu, untuk kondisi dan situasi yang serba ketat bin mendesak, sangat tidak nyaman bila kita menggantungkan harapan pada bus kota. Kalau situasinya begini lebih baik naik taksi atau becak, walaupun....

 

3. Armadanya Terbatas!

Terbatas yang aku maksud ini bukan terbatas dalam hal fasilitas di dalam bus kota lho ya! Namanya juga bus kota itu angkutan umum = angkutan rakyat. Rakyat yang dimaksud di sini adalah rakyat pada umumnya. Jadi, fasilitasnya ya disesuaikanlah dengan apa yang sehari-hari dinikmati, seperti nggak ada AC, joknya keras, dan asap rokok masih melayang di mana-mana. Hal biasa itu.

 

Perlu diingat bahwa angkutan umum tradisional warga Jogja dahulu kala (dan masih ada hingga kini) adalah becak dan andong. Jadi, bus kota yang “merakyat” itu bisa dibilang adalah evolusi, bahkan mungkin akulturasi budaya. Anggaplah seperti orang Indonesia menyantap steak bersama nasi pakai tangan kosong gitu deh. #hehehe

 

Terbatas yang aku maksudkan ini lebih kepada jumlah armada angkut yang terbatas, yang tidak tersedia setiap saat ketika warga kota membutuhkannya. Apalagi, jam beroperasi bus kota pun juga terbatas hanya sampai azan magrib. Untungnya ada bus TransJogja yang beroperasi sampai malam, tapi ya....

 


TransJoga diharapkan menjadi angkutan yang nyaman,
tapi banyak orang lebih "nyaman" naik kendaraan beroda dua.

 

4. Tarifnya Mahal!

Kalau pembaca naik taksi sih memang mahal! Jadi, mari kita tidak membahas taksi, hahaha. Naik becak sebenarnya juga sama mahalnya, tapi masak ya tega membayar jernih-payah pak becak dengan upah murah?

 

Tarif bus kota di Kota Jogja ini tarifnya flat Rp2.500 sekali jalan. Sekilas memang terlihat murah nan menggiurkan. Bisa keliling Kota Jogja hanya dengan Rp2.500 aja lho!

 

Tapi, uang Rp2.500 itu kalau di Jogja sudah bisa buat makan. Di banyak angkringan yang tersebar di kota Jogja, rata-rata 1 bungkus nasi kucing ditambah 2 gorengan dihargai Rp2.500. Bukan melebih-lebihkan, tapi kenyataannya memang uang makan dan uang transportasi itu bisa sama nilainya di kota Jogja, hahaha.

 

Nah, tarif yang relatif murah itu bisa jadi mahal tatkala seseorang harus berpindah-pindah angkutan umum. Apalagi kalau dihitung ongkos pergi-pulang, kan jadinya dilipat-gandakan.

 

Bayangkan, kalau ada orang yang rumahnya di Bantul, dia mesti 3 kali naik angkutan umum yang berbeda untuk sampai di tempat kerjanya. Bisa-bisa dia mengeluarkan uang lebih dari Rp10.000 dalam sehari hanya untuk pergi-pulang. Dalam sebulan berapa pengeluarannya? Mahal kan?

 

Untungnya sekarang sudah ada angkutan TransJogja. Tarifnya memang lebih mahal, Rp3.000 sekali jalan. Tapi untuk berganti angkutan TransJogja yang beda jalur, pengguna tidak ditarik tarif lagi asalkan masih berada dalam halte. Sayangnya ya itu....

 

5. Tidak Efisien!

Nah! Ini dia nih alasan paling top untuk tidak naik angkutan umum di kota Jogja. Apa saudara-saudara?

 

Tidak Efisien!

 

Lha terus yang efisien apa? Menurut orang Jogja pada umumnya, berhubung satu liter premium di SPBU masih dihargai Rp4.500 dan satu liter premium bisa menggerakkan sepeda motor hingga belasan kilometer, maka ... ya ... begitu deh #hehehe

 


 

Sepengamatanku, orang-orang baru mau berubah ketika hidup dalam kondisi yang serba terpaksa. Ketika faktor alam tidak menjadi hal utama yang membuat hidup susah, ya... untuk apa berubah? Sehingga yang bisa membuat orang berubah adalah “paksaan” dari orang-orang di sekitar.

 

Kalau harga BBM menembus angka belasan ribu rupiah, pajak kendaraan pribadi yang tinggi, mungkin baru bakal banyak orang yang beralih ke angkutan umum. Lantas sesuai permintaan pasar, semakin banyak orang yang membutuhkan angkutan umum, jumlah armada yang tersedia pun semakin banyak dan jumlah jalan yang dilalui juga makin banyak. Efek lainnya adalah bisa jadi angkutan umum jadi makin tertib dan tarifnya tidak lagi mahal.

 

Selama pengandaian di atas belum terjadi, ya jangan harap deh angkutan umum menjelma menjadi moda transportasi yang efisien. Walaupun begitu, kalau pembaca orangnya termasuk penyabar, tidak diburu oleh waktu, mungkin poin-poin yang aku sebutkan di atas bakal tidak terlalu berpengaruh.

 

Eh iya, setelah aku baca ulang, secara garis besar sepertinya bukan hanya berlaku di Kota Jogja saja deh, tapi di kota-kota Indonesia pada umumnya ya?

NIMBRUNG DI SINI