Hari Minggu (16/9/2012) kemarin, di alun-alun utara Kota Jogja digelar acara bernama Festival Bentara Upacara Adat 2012. Sesuai dengan namanya, acara ini menampilkan ritual upacara adat dari empat kabupaten dan 1 kotamadya yang ada di provinsi DI Yogyakarta. Menarik bukan?
Eh, tunggu dulu!
Secara konsep sih sudah oke. Panitia ingin lebih mengenalkan ritual upacara adat kepada masyarakat umum. Oleh sebab itu diboyonglah beragam ritual upacara adat ke satu lokasi untuk dipertontonkan kepada masyarakat. Praktis, sebab sebagian besar upacara adat hanya dilangsungkan pada saat-saat tertentu dan di tempat tertentu pula.
Sayangnya konsep menarik seperti itu pada hari-H sering tersandung-sandung oleh hal-hal kecil bernama ... teknis pelaksanaan.
Sebelum aku mengulasnya lebih lanjut, secara keseluruhan aku memberi nilai 5 (dari skala 10) untuk pelaksanaan acara ini. Kenapa begitu? Berikut ulasanku.
Tempat Parkir
Tempat parkir kendaraan untuk pengunjung tampak tak tertata apik. Beruntung sebab acara dilangsungkan di alun-alun utara yang notabene lapangan luas, jadi mungkin banyak yang beranggapan “asalkan tertib, silahkan parkir di mana saja”.
Tempat Nonton
Pengunjung bebas memposisikan diri untuk menonton acara, di mana pun termasuk di area pementasan. Mayoritas pengunjung berdiri untuk menyaksikan acara. Jadi, pengunjung yang datang belakangan akan kesulitan untuk menyaksikan karena terhalangi oleh pengunjung di depannya. Yah... lagi-lagi mungkin semua maklum dengan anggapan “asalkan tidak menganggu penonton dan peserta, bebaslah memposisikan diri di mana saja”.
Kaki-kaki Peserta yang Kepanasan
Mungkin terdengar sepele, tapi beberapa peserta (umumnya anak-anak) tampak berjingkat-jingkat tatkala menunggu giliran tampil. Sebab, kaki mereka kepanasan memijak konblok yang panas. Terang saja, wong acaranya dilangsungkan pukul 2 siang saat matahari masih panas. Ini panitia yang menyiksa peserta atau kaki peserta yang tidak tahan panas ya?
Ritual tanpa Penjelasan
Aku duduk di tanah sembari merenung, mengira-ngira maksud dari gerakan-gerakan yang diperagakan para peserta.
Ritual yang Kurang Greget
Harus aku akui, menyaksikan ritual upacara adat secarang langsung (live) di daerah asalnya jauh lebih terasa gregetnya dibandingkan di acara massal seperti ini. Harus diakui bahwa mayoritas upacara adat berkaitan dengan unsur-unsur yang terdapat di daerah asalnya. Mudahnya, untuk upacara adat yang berkenaan dengan sungai ya kan tidak mungkin dilakukan tanpa sungai toh?
Bukan Best of the Best
Aku beranggapan tiap-tiap kabupaten dan kotamadya mengirimkan wakil terbaik mereka untuk mengikuti acara ini. Istilahnya, best of the best dari tiap kabupaten dan kotamadya. Jadi, penonton akan disuguhi oleh pertunjukan spektakuler tapi sayangnya ya ... tidak terjadi.
Dibuat Pertunjukan Skala Kecil Saja
Jadi, untuk ke depannya mungkin panitia bisa membenahi teknis pelaksanaan agar konsep mulia yang diusung menjadi tepat sasaran. Menurutku, fokus saja ke pelaksanaan kecil. Misalnya, satu upacara adat dalam satu hari yang dilaksanakan di tempat pementasan yang benar-benar terkonsep untuk penonton, peserta, dan juga fotografer. Ibaratkan seperti melangsungkan pementasan teater lah.
Aku tak begitu paham akan hitung-hitungan biaya. Aku hanya ingin menyaksikan pertunjukan rakyat yang meninggalkan kesan yang mendalam bagi penontonnya.
Aku khawatirnya, konsep pelaksanaan seperti ini malah terkesan hanya untuk menghabiskan dana pemprov saja. Kalau acara seperti ini terus-menerus berpegang pada prinsip “Pokoknya ...”, “Mau Bagaimana Lagi ...”, “Boleh, Asalkan ...” tidak bakal ada terobosan yang bisa dilakukan untuk memasyarakatkan upacara adat. Yah, jangan sampai marah-marah kalau diklaim negara tetangga ya! #hehehe
mandangin kaki sendiri