Setelah membaca artikel Pak Arbain Rambey yang dimuat di halaman 36 harian Kompas (11/9/2012), aku terinspirasi untuk menerbitkan tulisan ini. Kali ini aku akan menyinggung tentang shutter count.
Eh, nanti dulu...apa Pembaca tahu arti istilah itu? Shutter count?
Pengertian Shutter Count
Jadi gini nih, Pembaca semua tentu tahu piranti elektronik bernama kamera. Nah, saat kamera digunakan untuk merekam gambar, tentu sang tukang jepret menekan tombol rana yang kemudian diikuti oleh bunyi “pret” atau “klik” kan?
Shutter count adalah cacah (count) penanda berapa kali kamera pernah digunakan untuk merekam gambar (“dijepret”). Mudahnya, sudah berapa kali bunyi “pret” atau “klik” itu disuarakan oleh kamera. Sederhana toh?
Salah Kaprah
Sebenarnya, shutter count itu digunakan sebagai penanda usia pakai suatu kamera. Yang aku maksud dengan usia pakai itu adalah suatu ukuran untuk menjawab pertanyaan:
“Semenjak suatu kamera dibuat hingga detik ini, sudah digunakan untuk merekam gambar berapa kali?”
Seperti itu lho yang dimaksud. Sayangnya, shutter count lantas “disalah-artikan” sebagai umur dari kamera. Nah lho!
Pembaca mesti paham, kamera itu juga termasuk benda elektronik. Yakni masih “bersaudara” dengan kulkas, televisi, komputer, yang pembaca miliki dan pasti pernah terlihat di tempat reparasi (service center). Nah, kamera juga bisa mengalami hal serupa. Bisa rusak. Lha wong kamera kan buatan manusia, jauh dari sempurna. Manusia saja yang buatan Tuhan bisa rusak (baca: sakit) kok. Ya toh?
Termakan Promosi
Yang bikin “gara-gara” sebenarnya adalah promosi dari produsen kamera itu sendiri. Ketika dipromosikan bahwa:
“Kamera A telah teruji untuk bertahan sebanyak xxxxx shutter count”
Lantas konsumen akan berpikir:
“kalau kamera A sudah melampaui xxxx shutter count, maka kamera A bakal rusak”
Wedalah!
Mencari Ketenangan Semu
Alhasil, banyak konsumen yang cemas (mayoritas pengguna awam dengan kantong cekak sih #hehehe). Jangan-jangan kameranya nanti bakal bernasib sebagai pajangan di rumah. Sebabnya, kalau kameranya keseringan dipakai nanti takutnya rusak! Atau malah kameranya dipakainya jarang banget. Dalam sebulan hanya beberapa kali jepret, terus udah, dipajang lagi di dalam rumah. Doh!
...aku jadi paham, alasan kenapa foto nggak bagus, padahal orang itu sudah lama banget punya kamera...
Beberapa pengguna melakukan hal-hal di atas demi memperoleh “ketenangan” di hati, bahwa umur kamera yang dimiliki masih panjang. Diawet-awet lah, kan sayang kamera belinya mahal-mahal masak cepet rusak? #hehehe
Walaupun sebenarnya yaaa... itu tadi. Semua itu hanya ketenangan semu. Sebab, toh pasti kamera memiliki nasibnya... untuk rusak. Benar kan pembaca? Ada yang mau menambahkan? Monggo.
Catatan: Artikel ini bakal ada lanjutannya. Sengaja aku pisah-pisah, takut kepanjangan kalau dijadikan satu artikel. Hehehe.
kepake bro..
\"Mas, mau beli kamera. Yang ini berapa?\"
---\"Ini 5 juta.\"
\"Kalau yang mas pegang itu saya hargai 3.5 juta boleh?\"
---\"Ini tipenya sama kok sama yang itu.\"
\"Iya, tapi kan shutter-count nya udah jalan.\"
Lagian dipakai atau enggak, kamera juga pasti akan rusak. Kalau nggak rusak, gak ada
yang beli kamera lagi.