HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Pembunuhan di Jembatan Sudirman

Selasa, 19 Juni 2012, 09:33 WIB

Kematian M. Yoga Bramana (24) di Jembatan Sudirman cukup membuat aku kaget. Ngeri, mungkin itu lebih tepatnya. Mengingat Jembatan Sudirman (yang bernama asli Jembatan Gondolayu) itu hanya berjarak 1 km kurang sedikit dari rumahku.

 

Bahwa kematian itu sungguh dekat.

 

Ah, bukankah itu juga selaras dengan sifat Tuhan yang senantiasa dekat dengan hamba-Nya?

 

Husy, cukup aku melantur berfilosofi! Yang jelas, peristiwa itu membuatku banyak merenung akhir-akhir ini. Seperti biasa, aku mencari jawaban atas pertanyaan, "mengapa pembunuhan itu bisa sampai terjadi?"

 

Dari sekian banyak jawaban yang singgah untuk mengobati rasa penasaranku, aku tertarik dengan sebuah pernyataan dari seseorang yaitu,

 

"Salah sendiri, kenapa malam-malam malah nongkrong di jembatan!"

 

Pernyataan itu sukses memicu rentetan pertanyaan lain dalam sanubariku. Yang pada akhirnya aku tak lagi menggugat mengenai peristiwa pembunuhan, melainkan menggugat kenyataan pahit bahwa

 

Di Indonesia amat minim ruang terbuka yang difungsikan sebagai taman atau tempat berkumpul

 

 

Oke, mungkin aku melantur lagi, tapi sebelum aku melantur terlalu jauh. Tentu kita semua mungkin akan bertanya, mengapa sang korban, M. Yoga Bramana, ada di Jembatan Sudirman pada malam hari itu. Lebih tepatnya malam menjelang pagi, pukul 03.30 WIB.

 

Jawabannya adalah: nongkrong 

 

Memang, Jembatan Sudirman itu terkenal sebagai tempat nongkrong di Kota Jogja. Di bawah jembatan mengalir Kali Code. Tapi aku yakin bukan pemandangan yang dicari, sebab di malam hari Kali Code bakal gelap, nggak terlihat.

 

Menurut sumber malesbanget.com disebutkan bahwa nongkrong di pinggir jalan adalah pilihan tempat nongkrong sejati. Memang, orang-orang yang nongkrong di Jembatan Sudirman itu memposisikan diri di trotoar, persis di pinggir jalan.

 

Apa yang dicari adalah: sensasi

 

 

Lantas, jangan salahkan budaya nongkrong.

 

Nongkrong di jembatan, sebab tak ada tempat nongkrong lain yang representatif. Sebenarnya, tempat nongkrong ada banyak, kafe dan angkringan misalnya, tapi kadang tak bisa mengakomodir banyak orang dan juga tak bisa disinggahi tanpa biaya. Juga, bukankah orang Jawa sendiri memiliki prinsip, mangan ora mangan sing penting kumpul?

 

Menurutku, mungkin bila ada tempat nongkrong yang representatif, yang aman dan nyaman, kejadian pembunuhan seperti itu akan langka untuk terjadi. Coba saja ada tempat nongkrong yang dilengkapi pihak keamanan dan bebas diakses tanpa perlu dipungut biaya dengan jam operasi tidak sampai larut malam.

 

Ya itu tadi, seperti yang aku utarakan bahwa,

 

Di Indonesia amat minim ruang terbuka yang difungsikan sebagai taman atau tempat berkumpul

NIMBRUNG DI SINI