HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Pak Jumali dari Boyolali

Sabtu, 26 Mei 2012, 04:45 WIB

Gerimis yang kian lama kian deras membuatku urung untuk berlama-lama mengagumi keindahan Air Terjun Moramo yang ada di Taman Nasional Tanjung Peropa, Sulawesi Tenggara. Bergegas aku simpan kembali DSLR ke dalam tas, melipat tripod, dan menutupinya dengan jas hujan yang aku kenakan. Dengan langkah yang dipercepat, aku berusaha menyusul Bapak, Ibu, dan Tiwul yang sekitar setengah jam yang lalu memutuskan kembali ke lokasi parkir mobil.

 

Jangan sampai deh nyasar di tengah hutan, di luar Jawa lagi, duh ... >.<

 

Di bawah rintik hujan yang tidak kunjung mereda, Alhamdulillah aku sampai dengan selamat di gerbang masuk dengan dengan lokasi parkir mobil. Basah-basah dan dingin-dingin begini sepertinya nikmat menyantap yang hangat-hangat. Semacam mie rebus atau mungkin teh panas yang manis dan kental.

 

Sepertinya Bapak, Ibu, dan Tiwul yang tiba lebih dulu juga punya pemikiran serupa. Mungkin ini yang disebut dengan ikatan batin keluarga ya? Hahaha #senyum.lebar. Aku perhatikan mereka sedang berkumpul di suatu warung kecil di dekat gerbang masuk.

 

"Le, le, sini le", undang Ibu sambil melongokkan kepalanya dari balik pintu

 

Aku merasa sedikit bingung ketika berada di dalam warung. Bukan karena melihat mangkuk-mangkuk mie instan rebus yang nyaris habis disantap anggota keluargaku. Melainkan karena Bapak dan Ibu yang sedang bercakap-cakap dengan pemilik warung dengan bahasa Jawa.

 

Eh, ini betul kan di pelosok Sulawesi Tenggara dan bukan di pelosok Jawa?

 


 

Ya, ini memang benar masih di pelosok Sulawesi Tenggara. Masih di area Taman Nasional Tanjung Peropa. Masih di desa kecil nan terpencil bernama Desa Sumber Sari yang letaknya di Kecamatan Moramo, Kabupaten Konawe Selatan.

 

Wajar kan kalau kemudian terbesit pikiran, “Kok bisa ada orang Jawa nyasar di tempat terpencil seperti ini?”

 

 

 

Pria paruh baya yang kami jumpai di warung itu akrab disapa Pak Jumali. Asal beliau dari Boyolali, Jawa Tengah. Usianya aku taksir sekitar 60-an. Di tahun 1980-an beliau ikut program transmigrasi ke Sulawesi Tenggara. Sehari-harinya beliau adalah petani. Adalah putrinya yang mengelola warung kecil di Taman Nasional Tanjung Peropa ini. Suaminya juga seorang anak keturunan perantau Jawa pula.

 

Pak Jumali sendiri sudah tak pernah menginjakkan kaki kembali ke Boyolali. Alasannya klasik, tak ada biaya. Ironi bagi program transmigrasi yang konon katanya untuk mensejahterakan masyarakat di tanah rantau.

 

 

Nggih, ngeten niki

(artinya: Ya, seperti ini)

 

Itu jawaban dari Pak Jumali ketika kami menyinggung kehidupan kesehariannya. Jalan yang rusak. Listrik yang sering padam. Sinyal telepon seluler yang hilang. Bahkan, gonjang-ganjing politik yang tengah terjadi di tanah Jawa tidak terdengar hingga ke sini. Benar-benar kondisi yang nyaris terisolir dari peradaban.

 

 

Desa Sumber Sari agaknya pilihan yang sesuai bagi orang-orang yang ingin lepas dari geliat peradaban. Adapun Desa Sumber Sari sendiri adalah desa para transmigran. Selain transmigran dari Jawa, ada juga transmigran yang berasal dari Bali. Di sepanjang perjalanan kerap dijumpai rumah-rumah berarsitektur bali dan juga pura.

 

Menyaksikan kehidupan transmigran seperti Pak Jumali ini membuatku teringat akan beberapa kawan yang tengah mengadu nasib ke luar Jawa demi memburu kesejahteraan. Ah, semoga nasib mereka tak seperti Pak Jumali dari Boyolali ini.

 

Pembaca berkenan ikut program transmigrasi?

NIMBRUNG DI SINI