HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Tiada Ekstensi, Vokasi UGM Galau

Senin, 12 Desember 2011, 13:19 WIB

Camping alias berkemah di tengah hutan itu sudah hal yang biasa. Yang tidak biasa adalah berkemah di depan gedung rekrorat. Sudah tentu, pelakunya bukan para anggota pramuka yang tengah menghadiri hajat persami atau jambore. Melainkan para mahasiswa Sekolah Vokasi UGM yang sedang menyatakan aspirasi. Istilah tenarnya, aksi.

 

Ada apakah gerangan?

 

Kliping

Semenjak tahun 2009, UGM telah menutup semua program ekstensi atau yang disebut program swadaya. Hal ini dilakukan untuk menjaga mutu dan profesionalisme pendidikan di universitas tersebut.

 

Wakil Rektor Senior Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Gadjah Mada (UGM) Retno Sunarminingsih Sudibyo mengatakan, dengan penutupan tersebut, UGM tidak lagi menyediakan program alih jalur dari jenjang diploma ke sarjana. ”Alih jalur tidak bisa lagi secara otomatis dilakukan karena materi di jalur sarjana dan diploma sudah berbeda,”  kata Retno di Yogyakarta, Senin (23/02/2009).

 

Hal ini juga sesuai dengan keputusan senat dan surat keputusan rektor yang menyatakan bahwa program diploma adalah program belajar yang terminal. Artinya, untuk meraih gelar sarjana, seorang lulusan diploma harus mulai sebagai mahasiswa baru serta melalui proses matrikulasi terlebih dahulu. ”Ini dilakukan karena kami tidak ingin mengeluarkan ijazah yang bisa dibilang mudah, tetapi tidak sesuai dengan standar mutu pendidikan di UGM,” kata Retno menambahkan.

 

Sumber: Kompas.com, 24 Februari 2009.

 

 

 

Bagi para mahasiswa Sekolah Vokasi UGM (yang dahulu dikenal dengan program Diploma 3 alias D3), ketetapan rektorat tersebut bagaikan mimpi buruk. Bahwa hingga akhir hayat, mereka harus rela bersanding dengan gelar Amd. Tak ada secuilpun jalan bagi mereka untuk merasakan jenjang pendidikan sarjana.

 

Sebagaimana yang dikabarkan oleh situs FORKOMSI UGM ini.

 

Kliping

Mahasiswa Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada MENUNTUT:

 

  1. Rapat pleno SA universitas Gadjah Mada dimajukan hari senin tanggal 12 Desember 2011.
  2. Universitas gadjah mada memberi kesempatan Prodi S-1 Lingkungan UM untuk melaksanakan Proram alih jenis.
  3. Universitas  Gadjah Mada memberi jaminan akan membahas dan mencantumkan prasyarat alih jenis yang diajukan mahasiswa Vokasi dalam rambu-rambu umum antara lain:
    1. Tidak ada pembatasan IPK 3.5/cumlaude.
    2. Tidak ada pembatasan prodi untuk alih jenis ke jenjang sarjana.
    3. Tidak ada pembatasan angkatan kelulusan.
    4. Kuota minimal mahasiswa alih jenis yang harus diterima minimal 50% dari jumlah mahasiswa yang mendaftar pada setiap fakultas/jurusan.
    5. Lulusan Diploma III sekolah Vokasi UGM berhak melanjutkan Alih Jenis di fakultas/jurusan S-1.
    6. Rambu- rambu khusus program alih jenis yang ditentukan fakultas/ jurusan terkait tidak bertentangan dengan rambu-rambu umum.

 

Sumber: forkomsiugm.wordpress.com, 9 Desember 2011.

 

Berhubung aku bukan mahasiswa Sekolah Vokasi, jadi aku meminta pendapat Paris, seorang kawan yang dahulu menempuh program D3 Elins Komputer dan Sistem Informasi UGM dan berlanjut ke ekstensi S1 Elins Program Swadaya Ilmu Komputer UGM.

 

Kebanyakan mahasiswa yang masuk D3 itu hampir 80% ke atas karena nggak keterima di S1. Aku ya dulu begitu #senyum.lebar. Jarang banget yang masuk karena memang pilihan utama.

 

Program D3 atau D4 harusnya lebih ditekankan ke keahlian (praktikal) dengan memperbanyak praktikum, berbeda dengan S1 yang lebih ke analisis. Tapi, mata kuliah untuk S1 sedikit banyak ada juga di D3, begitu pula sebaliknya.

 

Yang perlu diperhatikan sebenernya pola pikir calon mahasiswa baru dan orang tuanya bahwa tujuan dari program D3 dan S1 itu berbeda. Jangan karena gagal masuk S1 lantas pelarian ke D3. Ada temenku yang sudah kuliah D3 tapi ikut tes S1 lagi.

 

Tapi pasar di Indonesia juga belum sepenuhnya terbuka untuk lulusan D4. Mana ada lowongan kerja untuk D4? Paling ada beberapa, tapi kebanyakan D3.

 

Hmmm, sepertinya aku mulai paham.

 

 

 

Pertama, program D3 dan S1 itu berbeda. Walau sama-sama bertempat di universitas, tapi keduanya jelas berbeda. Program D3 lebih menekankan kepada praktikum, sedangkan S1 lebih condong kepada akademis.

 

Sebagai contoh, dalam proses membuat kue (nggak apa-apalah contohnya sedikit nyeleneh #hehehe). Mahasiswa D3 diajarkan untuk terampil berkreasi mencipta berbagai macam kue. Namun perihal proses yang terjadi pada kue saat dimasak, seperti bagaimana kue bisa mengembang, bagaimana kandungan kalorinya, pokoknya segala sesuatu yang berkaitan dengan teori dan pemahaman, itu yang lebih menguasai ya mahasiswa S1.

 

Jadi, menurutku program ekstensi atau alih jenis dari D3 menjadi S1 itu “sebenarnya” tidak bisa dilakukan, sebab ya itu tadi, tujuan dari pendidikannya sudah berbeda. Jikalau mahasiswa D3 ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, mau tidak mau harus memilih program D4. Namun program D4 ini belum tersedia di Sekolah Vokasi UGM. Di lain pihak, banyak yang merasakan bahwa D3 dan S1 sebenarnya “hampir sama”, jadi mengapa tidak bisa “disatukan”?  

 

 

Kedua, sepertinya “pelarian” hingga saat ini masih kerap terjadi, seperti yang diungkapkan Paris, tidak keterima di S1 ya ke D3 saja. Yah, tinimbang menganggur. Toh, sama-sama kuliah juga. Bedanya “nyaris tak terlihat”. Namun jangan salah, program diploma (juga program sarjana) itu ibarat jebakan betmen. Once you get in, you can’t never get out.

 

Ini menjadi kendala bagi mereka yang memilih program D3 sebagai pelarian. Bagi yang mendamba pendidikan sarjana yakni S1, S2, hingga S3, semua itu hanya tinggal impian belaka jika sudah bergelar Amd. Kecuali ya itu, mengulang kembali program sarjana dari awal (S1) dan yang demikian tak bisa disebut sebagai ekstensi karena semuanya harus fresh from beginning.

 

 

Ketiga, sudah menjadi semacam rahasia umum di antara kita bahwa ada semacam “kasta” dalam jenjang pendidikan tinggi. Yakni, kita tahu bahwa S1 dipandang lebih tinggi dari D3, bahkan mungkin D4 sekalipun. Sebagai contoh dalam dunia kerja, CPNS yang bergelar ahli madya ditempatkan pada golongan II/C, sedangkan yang bergelar sarjana pada golongan III/A. Di berbagai lowongan kerja, lebih banyak yang mencari lulusan S1 dibandingkan D3 dan D4. Jadi kalau lantas banyak calon mahasiswa yang mendamba-dambakan gelar sarjana muda itu hal yang lumrah bukan?

 

Kabarnya, Sekolah Vokasi UGM memang berencana untuk membuka program D4.

 

Kliping

"Untuk pengembangan ke depan, Sekolah Vokasi akan membuka jalur D4 untuk kelanjutan studi mahasiswa D3," kata Direktur Sekolah Vokasi UGM M Arrofiq ST MT PhD di kampus UGM.

 

Mengenai jadwal pembukaan jalur tersebut, Dia belum dapat memastikan karena menunggu kesiapan masing-masing Prodi. Di samping itu, pihaknya juga harus mempelajari pasar, peluang kerja sama, serta fasilitas yang ada agar program itu menjadi satu kesatuan yang utuh. "Kalau Prodi sudah siap, maka jalur D4 akan dibuka, tapi saya tidak punya data Prodi mana saja yang siap," katanya.

 

Sumber: suaramerdeka.com, 8 Desember 2011.

 

Jadi, alangkah baiknya jika pihak Sekolah Vokasi tak berlama-lama membuat mahasiswanya galau dengan segera membuka program D4. Di lain pihak, mahasiswa program D3 pun semestinya harus sadar, bahwa “jalur yang benar” bagi mereka adalah melanjutkan ke D4 dan bukan S1.

 

Bagi calon mahasiswa, sebaiknya pikirkan matang-matang program studi apa yang akan ditempuh beserta resiko yang bakal dihadapi. Jangan lagi memilih program D3 hanya karena tidak diterima di program S1.

 

 

Jadi, bagaimana pendapat Pembaca?

Apa Pembaca juga mahasiswa D3 yang mendambakan S1?

NIMBRUNG DI SINI