Dalam hidup, kita kerap disodori oleh dua pilihan: mudah atau sulit. Salah satu harus dipilih, dan kita biasanya selalu memilih yang mudah dibanding yang sulit.
Ya toh? #hehehe
Seperti yang biasa dialami oleh para pesepeda (termasuk aku dan sahabat SPSS lainnya), pada suatu ketika takdir mengantar kami ke suatu persimpangan jalan dan mengharuskan kami untuk memilih satu di antara dua jalur. Tentu saja, secara dengkul sehat, kami akan memilih jalur yang “manusiawi” dan bukan yang “jahanam”.
Ya toh? #senyum.lebar
Aku kira Pembaca pun pasti akan memilih pilihan yang sama, jika di hari Sabtu pagi (17/9/2011) itu Pembaca hadir bersama kami di pertigaan Desa Wonolelo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.
Oleh karena kami sudah berkali-kali merasakan “jahanam”-nya Tanjakan Cinomati, maka akal sehat kami tentunya akan mengarahkan untuk memilih jalur selain lewat Cinomati. Jalur itu disebut oleh warga sekitar sebagai Jl. Wonolelo – Piyungan.
Kami berharap, dengan menyusuri jalur ini kami akan terbebas dari siksaaan Tanjakan Cinomati. Tentang ke mana arah dan tujuan kami, terus terang aku sendiri tidak tahu. Yang jelas, kami gemar menyusuri jalur yang belum pernah kami lalui dan kami tidak ingin perjalanan kami dipenuhi tanjakan. Itu saja. #hehehe
Dengan dipandu oleh Mbah Gundul, kami menyusuri Jl. Wonolelo – Piyungan dengan harap-harap cemas. Berharap kami dapat sampai dengan selamat ke Piyungan tanpa bertemu tanjakan jahanam sedikit pun. Sekaligus cemas, sebab berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, Mbah Gundul berkali-kali memilih rute yang kerap menyiksa dengkul. #hehehe
Jadi, apakah Jl. Wonolelo – Piyungan ini lebih “manusiawi” dibanding jalur Cinomati?
Jawabannya adalah: Ya, tapi relatif.
Kenapa?
Di sepanjang perjalanan, kami memang tidak berjumpa dengan tanjakan curam dan terjal serupa dengan yang tersaji di Jalur Cinomati. Tanjakan sih tetap ada. Kira-kira, ada 2 tanjakan yang lumayan panjang, agak terjal, dan tentu menguras tenaga. Secara umum, medan Jl. Wonolelo – Piyungan didominasi oleh medan jalan yang menanjak landai dengan titik puncak sekitar 250 meter dpl atau setara dengan ketinggian Patuk.
Namun, tanjakan dari arah Wonolelo menuju Piyungan relatif lebih manusiawi dibanding tanjakan dari arah sebaliknya, yaitu Piyungan menuju Wonolelo. Setelah titik puncak, jalur akan didominasi oleh turunan terjal dan berkelok-kelok. Bilamana mencoba jalur ini dengan menanjak, aku pikir hampir setara dengan Cinomati.
Di Jl. Wonolelo – Piyungan ini tidak kami jumpai adanya warung makan. Namun ada beberapa warung sebelum titik puncak, yang menjajakan makanan dan minuman ringan. Walaupun begitu, di sepanjang jalur ini banyak terdapat pemukiman warga. Jadi, saran dariku adalah hematlah perbekalan atau stok lebih dahulu perbekalan sebelum menyusuri Jl. Wonolelo – Piyungan.
Oh iya, Jl. Wonolelo – Piyungan ini menyajikan pemandangan yang memesona dari atas bukit. Hampir serupa dengan pemandangan di Mangunan walaupun di sini tak ada hutan pinus. Sayangnya, kami bertandang kemari di saat musim kemarau. Aku yakin saat musim hujan, kala dedaunan menghijau kembali, pemandangan di Jl. Wonolelo – Piyungan ini akan terlihat jauh lebih menyejukkan mata.
Jalan ini berujung di Jl. Wonosari km 14. Siap untuk mencoba? #senyum
*lum pernah kesana* :D
Nice post beeerrrroo! :)
tapi aku milih pakai motor aja hehehe