Bulan Juli kerap didaulat sebagai bulan panas. Maksudnya, bulan yang cuacanya panas, walau di Jogja sendiri panasnya baru terasa di minggu-minggu ini.
Kalau menengok ke belahan benua lain, bulan Juli kerap bertepatan dengan musim panas. Yaitu, musim di mana aktivitas belajar-mengajar sengaja diliburkan karena hawa di sana panasnya bukan main.
Beruntunglah Indonesia ini adalah negeri tropis yang enak dipakai belajar di segala bulan. Beruntung juga karena dengan itu Indonesia jadi kebanjiran warga asing yang kepanasan di negara mereka. #hehehe
Jadi nggak heran, kalau di "musim panas" seperti ini beberapa lembaga pendidikan menyelenggarakan summer school (sekolah musim panas) yang menyasar warga asing. Salah satunya adalah CRCS UGM, Center for Religious and Cross-Cultural Studies atau yang lebih dikenal dengan Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya UGM.
CRCS UGM menyelenggarakan International Summer School dengan tema Pluralism and Development. Nah kebetulan, aku juga turut nimbrung di acara itu. Bukan sebagai peserta, tapi membantu Pak Zain, Mba Ayu, Mba Jim, dkk perihal dokumentasi acara. Bener-bener kesempatan langka. Yah, jarang-jarang kan aku bisa motret dan ngobrol sama warga asing, hehehe. #hehehe
Apaan sih Pluralisme itu?
Kalau menurut Wikipedia, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Namun, seringnya pluralisme itu dikaitkan dengan ranah agama, soalnya wilayah ini nih yang paling rentan muncul konflik karena singgungan keyakinan.
Peserta summer school diajak untuk belajar lebih mendalam tentang pluralisme. Oh iya, para peserta summer school ini berasal dari 4 negara yaitu Indonesia, Belanda, India, dan Uganda.
Beberapa aktivitas yang menarik mewarnai hari pertama summer school. Semisal para peserta diajak untuk mendeskripsikan makna pluralisme dari sejumlah foto yang telah disediakan panitia. Mereka juga diajak untuk mengungkapkan kesan terhadap kelompok dari negara lain.
Lucu juga, begitu tahu kelompok Indonesia mendeskripsikan kelompok Belanda identik dengan penjajah, dan kelompok India identik dengan doyan menyanyi dan menari. Dari sini muncul konflik, muncul diskusi, bahwa ada kelompok yang tidak setuju dengan penuturan dari kelompok lain.
Sebenarnya, pluralisme itu selalu dimulai dari penilaian subyektif masing-masing individu. Namun, penilaian itu kadang tidak sepenuhnya benar. Bahayanya, banyak tindakan kita yang didasari oleh penilaian subyektif kita yang salah itu. Itulah yang memicu konflik. Jadi tetap, bagaimanapun caranya, kalau kita ingin menghindari konflik dan merajut toleransi antar kelompok yang berbeda, harus ada yang namanya dialog.
Walau aku itu jebolan matematika, tapi bukan berarti aku tidak peduli tentang pluralisme serta tolerasi. Sebab, yang seperti ini, kan ya lumrah terjadi di kehidupan kita sehari-hari toh?
Contoh yang paling mudah adalah di komunitas sepeda di kota Jogja. Ada perbedaan antara sepeda gunung, sepeda lipat, dan sepeda onthel tua, dari jenis sepedanya sampai perangai orang-orangnya. Perbedaan itu kadang bisa menimbulkan perang urat-saraf kalau ada salah kata dan perilaku. Menurutku, pluralisme itu terjadi dimana-mana kok, bukan hanya di agama aja.
Beruntunglah aku bisa curi-curi ilmu dari acara ini. Walau aku agak minder juga karena para pesertanya bergelar S2, dan fasilitatornya adalah profesor asing, hehehe. #hehehe
Jadi, apa pendapat Pembaca tentang pluralisme?
pluralisme harus ada
Pluralisme bisa dikaitkan juga dengan budaya, dll.
Tapi emang sih, lebih banyak yang berhubungan dengan agama karena berbicara soal agama adalah pembicaraan yang sangat rentan terjadinya konflik.
kelompok Indonesia mendeskripsikan kelompok Belanda identik dengan penjajah,
>> Anda benar
dan kelompok India identik dengan doyan menyanyi dan menari
>> Anda benar lagi !!
Tarik maaaaang :D