Dari Curug Dago, aku lanjut mengekor sejumlah pesepeda yang masih berjuang menaklukkan tanjakan Jl. Ir. H. Juanda. Sekitar 200 meter dari Terminal Dago, para pesepeda itu pun berbelok ke arah Dago Pakar. Belokan ini tepat di pertigaan dekat papan hijau penunjuk arah.
Dari titik itu mereka terus nanjak sampai Taman Hutan Raya. Boleh kubilang itu medannya lumayan berat. Jalannya aspal yang menanjak plus berliku-liku. Bener-bener JAHANAM lah.
Para pesepeda itu kemudian berhenti di warung dekat pintu masuk Taman Hutan Raya. Sementara aku sendiri muter-muter di sekitar gerbang masuk Taman Hutan Raya. Pas aku balik, wedalah, mereka udah nggak ada! Selidik punya selidik, mereka ternyata masih melanjutkan perjalanan…NANJAK!
Dengan susah payah aku ngekor mereka lagi. Nggak bisa cepet, soalnya aku pakai sepeda lipat yang bukan dirancang untuk melibas tanjakan jahanam. Tentang tanjakannya, aku cuma bisa bilang kalau itu bener-bener-bener JAHANAM. Hampir nggak ada rute landai untuk menghimpun stamina. Tanjakannya masih berliku-liku dan beberapa di antaranya punya kemiringan curam. Sepedaku sampai ngangkat ban depannya dan terpaksa dituntun deh.
Melihat wajahku yang sudah memelas dan nyaris tewas, seorang bapak pesepeda melambatkan lajunya dan kemudian menemani aku nanjak. Katanya, sebentar lagi sampai.
Peduli setan itu sampai mana! Yang ada di pikiranku waktu itu cuma membandingkan tanjakan ini dengan semua rute tanjakan yang pernah aku jajal di Jogja. Ternyata tanjakan yang di Jogja itu nggak ada apa-apanya dengan yang kualami di Bandung ini!
Nggak seberapa lama, aku melihat banyak pesepeda lagi ngumpul-ngumpul sembari makan dan minum. Kata si bapak, ini udah sampai di tempat istirahat. Ada satu warung di sana yang jadi markasnya pesepeda, namanya Warung Bandrek.
Akhirnya…setelah sekian banyak tanjakan jahanam, aku sampai di surga juga! Cihuy! #senyum.lebar
Ditemani segelas bandrek hangat seharga Rp5.000 dan gorengan Rp500, aku ngobrol dengan si bapak yang bernama Pak Cecep, 63 tahun. Beliau cerita kalau Warung Bandrek ini setiap harinya selalu ramai dengan para pesepeda. Apalagi kalau di hari Minggu, bisa ratusan!
Topik menarik dari obrolan dengan Pak Cecep aku himpun di poin-poin berikut:
- Warung Bandrek adalah rute favorit untuk MTB dan sepeda lipat. Sementara sepeda balap di Lembang.
- Kalau aku punya istilah tanjakan jahanam, pesepeda Bandung punya istilah tanjakan putus asa.
- Warung Bandrek ini terletak di ketinggian 900 meter di atas permukaan laut. Tapi, ini bukan titik tertinggi lho!
- Dari Warung Bandrek ini terdapat sekian banyak jalan menuju rute lain, seperti ke Maribaya hingga ke Sumedang.
- Kalau di hari kerja, mayoritas pesepeda yang singgah di Warung Bandrek berumur 40-an ke atas, semacam Pak Cecep ini. Sangarnya… mereka nggak pernah berhenti nanjak alias nggak pernah nuntun. Gilaaaa!
Dengan demikian, kalau bicara tentang rute sepeda di Bandung, ada dua hal yang bakal selalu aku ingat.
- Hawanya dingin banget! Apalagi kalau semalamnya habis hujan. Jam 5 pagi aja menggigil. Kalau ngos-ngosan, dada lama-lama sakit karena udara yang masuk tubuh dingin. Tapi asyiknya, sampai siang pun hawanya sejuk, enak buat sepedaan.
- Semua rutenya penuh dengan tanjakan jahanam bin putus asa! Buat pesepeda yang doyan nanjak, Bandung adalah pemuas hasrat menanjak. Bener-bener salut aku sama dengkulnya pesepeda Bandung.
Dari Warung Bandrek aku langsung balik ke rumah. Ternyata jaraknya lumayan dekat, sekitar 6-7 km dari rumah. Sebab 20 menit sudah sampai di rumah lagi. Padahal bersepeda ke sananya 1 jam lebih.
Hmmm…sampai rumah entah kenapa jadi pingin nanjak ke Warung Bandrek lagi. Apa ini candu tanjakan ataukah candu bandreknya yah? Yang jelas kalau bersepeda lagi ke Bandung, wajiblah mampir Warung Bandrek. #senyum.lebar
Pembaca pernah ke Warung Bandrek? #senyum.lebar
Di Jogja udah pernah mencoba Cinomati mba? :D
Warung Bandrek ... nice trip, great stamina !
jadi mau mmpir ke surga
:D
wogh...keren naek sepeda sampe ke bandung..