HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Nasib Pasar Tradisional

Kamis, 20 Mei 2010, 11:23 WIB

Kota Kebumen, Jawa Tengah, pukul 5 pagi. Udara dingin dan rintik air hujan mewarnai hari ketigaku di kota Kebumen. Aku pinjam sepeda lipat milik Angga dan aku kayuh perlahan menjauh dari markas inap kami.

 

Sepanjang jalan, amat jarang kendaraan yang melintas. Tidak ada orang-orang berlalu-lalang. Bahkan lampu lalu lintas pun masih berpendar kuning.

 

Jam berapa sih kota Kebumen ini hidup? Aku bersepeda di pagi hari itu dengan niat mencari toko kelontong. Aku dapat tugas membeli mie instan untuk sarapannya teman-teman. Kalau di Jogja, ada banyak minimarket yang buka 24 jam. Di Kebumen, tidak satu pun aku jumpai.

 

Di jantung kota Kebumen, aku mengarahkan sepedaku ke arah pasar. Syukur, ada toko kelontong yang buka dan ternyata akulah pelanggan pertama di hari itu. Aku perhatikan kalau aktivitas di pasar ini tak seramai pasar di Jogja pada jam yang sama.

 

Kembali ke kota Jogja, setidaknya aku bisa dengan mudah menemukan minimarket yang buka 24 jam di mana-mana. Beruntunglah diriku, sebab dimudahkan kalau pingin cari camilan pas lagi bergadang kerja malam.

 

Sedangkan pasar tradisional? Aku rasa bukan opsi yang tepat apabila dikunjungi di malam hari. Aku sempat berpikir, bagaimana seandainya warga kota kecil membutuhkan bahan makanan di tengah malam? Minimarket tak buka dan pasar pun masih sepi. Apa lantas harus menggedor pintu rumah tetangga?

 


Pasar tradisional masih menjadi andalan pemenuh kebutuhan pangan sehari-hari.

 

Aku teringat status seorang kawan di Facebook beberapa hari silam. Dirinya mengajak masyarakat untuk mendukung ekonomi tingkat pasar tradisional. Anehnya, aku nggak melihat hal tersebut sebagai sebuah problema dilematis pemerintahan. Melainkan karena desakan kebutuhan dari warga sendiri.

 

Mudahnya, munculnya banyak minimarket akhir-akhir ini disebabkan oleh tuntutan warga yang menginginkan pusat penyedia kebutuhan yang buka 24 jam. Celakanya, hal itu malah membuat pasar tradisional kian sekarat. Ya, sekarat, bukan mati, sebab pasar tradisional masih berada di garis terdepan sebagai pemenuh kebutuhan pangan sehari-hari.

 

Yah, dan mungkin memang tuntutan warga itu yang ingin segalanya menjadi mudah dan ringkas. Mungkin pula warga kota-kota kecil itu tak banyak menuntut. Mereka rela menahan nafsu, hingga terbitnya matahari keesokan hari. Itu berarti pasar hidup selaras dengan kehidupan warganya.

 

Akankah tiba masa dimana pasar tradisional bangkit dan mendominasi minimarket?

Pembaca cukup menjawab Ya atau Tidak. Nuwun.

NIMBRUNG DI SINI