HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Malam Satu Suro

Jumat, 18 Desember 2009, 23:21 WIB

Diawali dari pesan singkat yang sudi mampir ke hapeku hari Kamis malam (17/12/2009). Sempat khawatir pesannya dikirim oleh dhemit, sebab hari itu pas banget dengan malam Jum’at Kliwon. Namun ternyata yang mengirim adalah sesama penggiat Bike2Work Jogja. Isinya ajakan untuk ngumpul di Monumen Satu Maret jam sebelas malam.

 

Mau nyari dhemit po ya?

 

Aku terakhir kali keluar malam pas malam Satu Suro itu ya di tahun 2006 silam. Setelah tiga tahun nggak keluar apa ada bedanya ya? Ternyata eh ternyata, di sekitar Monumen Satu Maret penuh sesak dengan manusia. Apa ini karena hari libur ataukah memang mereka ingin ”merayakan” malam Satu Suro?

 


Ngumpul bareng teman-teman Bike 2 Work.

 

Suro adalah bulan pertama dalam kalender Jawa yang mengadopsi kalender Hijriyah. Urutan bulannya adalah Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rajab, Ruwah, Pasa, Sawal, Sela dan Besar. Dengan kata lain, ini adalah malam tahun baru.

 

Karena mengadopsi kalender Hijriyah yang berlatar belakang agama Islam, maka ”perayaan” tahun baru inipun juga tak lepas dari pengaruh agama Islam. Contoh mudahnya ya banyak digelar pengajian di masjid-masjid. Yang tujuannya agar umat muslim bermuhasabah (mengevaluasi diri). Namun karena di Jogja ini mayoritas masyarakat merayakan dengan mengacu kepada kalender Jawa, jadi ”perayaan” tersebut juga kental akan unsur budaya Jawanya.

 

Yang aku maksudkan adalah ritual Tapa Bisu Mubeng Benteng (ada yang menyebutnya Patigeni). Ritual itu adalah berjalan kaki tanpa bersuara mengelilingi benteng keraton sejauh kurang-lebih 4,5 km. Mushalla disamping rumahku mengadakan ceramah tentang ritual itu yang katanya merupakan perilaku syirik bahkan sia-sia. Tapi menurutku sendiri tidak. Beberapa alasan yang menjadi pertimbanganku:

 

  1. Kapan terakhir kali kita berolahraga dengan berjalan kaki? Sangat jarang bukan? 
  2. Ritual Jawa itu sarat akan makna tersembunyi. Tidak berbicara contohnya adalah upaya menjaga lisan kita dari kata-kata tak terpuji. Selain itu selama berjalan kaki bisa kita pakai untuk merenung dan berzikir.
  3. Yah tidak bisa sepenuhnya dikatakan syirik karena toh sebelum ritual ini dimulai terlebih dahulu memanjatkan doa kepada Gusti Allah SWT.

 


Ada ambulans yang juga tapa bisa (sirene ndak bunyi) dan juga wanita bule yang sepertinya sudah kelelahan jalan jauh.

 

Aku pikir mungkin ritual ini bisa dikemas lebih menarik. Karena bentuknya mirip lomba gerak jalan, bisa saja toh dibuat semacam lomba. Contohnya peserta dalam grup dipilih yang berbusana terbaik atau yang paling bisa diam sepanjang perjalanan. #senyum.lebar

 

Ah, tapi itu cuma angan-angan kok. Dari seorang manusia pesepeda yang malah ngobrol-ngobrol di pinggir jalan.

 

Eh ya, apa yang Pembaca lakukan di Malam Satu Suro kemarin?

NIMBRUNG DI SINI