HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Tour de Semarang

Kamis, 3 April 2008, 12:17 WIB

Dari sejumlah mahasiswa program studi matematika UGM angkatan 2004, empat orang di antaranya dikenal sebagai manusia-manusia yang gemar bertualang. Mereka yang disebut sebagai Joko, Winky, Radit dan Aku #hehehe agaknya sudah bertualang ke berbagai tempat di Jawa Tengah. Semata-mata sebatas mewujudkan angan yang terbesit dalam celetukan singkat kami.

 

Misalnya ya seperti pas selesai mengerjakan sekumpulan soal ujian semester yang rata-rata membuat kepala stress. Mendadak muncul keinginan untuk berwisata kuliner. Setelah diskusi singkat diputuskan bahwa kami akan berwisata kuliner di Semarang. Padahal kenyataannya, pas di Semarang kami juga nggak berwisata kuliner.

 

Aneh yo ben! #senyum.lebar

 

Tour de Semarang pun resmi dimulai! Teng, teng, teng!

 

Perjalanan dari Yogyakarta ke Semarang

Pada Tour de Semarang ini kami menggunakan 2 sepeda motor sebagai alat transportasi. Yogyakarta menuju Semarang kami tempuh dalam waktu kurang lebih 2,5 jam melewati jalan raya yang menghubungkan Kota Yogyakarta, Magelang, dan Semarang.

 

Beberapa kota di Jawa Tengah sempat kami singgahi. Misalnya saja Magelang, Ambarawa, dan Ungaran. Selain Magelang, baru pertama kali itu aku mengunjungi Kota Ambarawa dan Ungaran yang hanya aku kenal namanya sewaktu duduk di bangku sekolah.

 


Alhamdulillah, selamat sampai alun-alun Semarang! #senyum.lebar

 

Berhubung kami hanya memiliki waktu 1 hari 1 malam (hari Sabtu dan Minggu, 3 dan 4 November 2007) untuk bertualang di Semarang, alhasil kami menyambangi lokasi-lokasi di Semarang yang lumayan populer di mata turis lokal.

 

Memburu Hantu di Lawang Sewu

Joko terobsesi dengan bangunan tua Lawang Sewu (bahasa Jawa: seribu pintu). Buat Pembaca yang belum tahu, Lawang Sewu merupakan nama suatu kompleks gedung tua bekas kantor kereta api Belanda. Bangunan Lawang Sewu ini terletak di dekat Bundaran Tugu Muda.

 

Yang membuat Lawang Sewu terkenal tidak lain adalah suasana mistisnya. Terbukti pada sesi uji nyali di acara Dunia Lain yang pernah ditayangkan Trans TV, terekam sesosok penampakan di ruang bawah tanah Lawang Sewu.

 


Lawang Sewu selain jadi kantor kereta api, di zaman penjajahan Jepang jadi tempat penyiksaan.

 

Kira-kira pada pukul 10 malam, di mana para hantu semestinya sudah mulai beroperasi #hehehe, kami mulai menjelajahi ruang demi ruang Lawang Sewu dengan didampingi pemandu bernama Pak Totok. Sekadar informasi, Lawang Sewu dapat dikunjungi kapan saja asalkan ada pemandu yang siap mendampingi. Tarif masuk ke Lawang Sewu adalah Rp5.000 per orang.

 


Foto bareng Pemandu Lawang Sewu bernama Pak Totok. #senyum.lebar

 

Suasana di dalam bangunan Lawang Sewu gelap gulita sehingga aku harus selalu mengaktifkan lampu kilat (flash) untuk membantu memotret. Aku sempat melakukan kesalahan, yaitu mematikan lampu AF Assist. Alhasil, sistem autofokus nggak bisa bekerja maksimal di awal-awal penjelajahan Lawang Sewu. Meski demikian, saat aku menyadari kesalahanku itu dan lantas menyalakan lampu AF Assist, ternyata cahaya dari lampu AF Assist masih belum bisa membantu kerja sistem autofokus D80 secara optimal.

 

Terus terang, sebetulnya banyak sudut di Lawang Sewu yang menarik untuk difoto. Terutama jendela gelas patri. Sayang, karena di malam hari yang gelap ditambah suasana yang membuat bulu kuduk merinding, aku nggak bisa sesuka hati berburu foto. Apa ya nyaman memotret di gelap pekat di dalam ruangan beraroma mistis? #hehehe

 


Merinding juga nih kalau keliling-keliling tanpa ditemani Pemandu. #sedih

 

Apakah ada penampakan di foto-foto jepretanku? Sayang sekali nggak ada. Meski demikian, pernah ada kejadian Pak Totok mewanti-wanti diriku yang sedang memotret, bahwa ada sosok wanita yang dari tadi mengikutiku. Agaknya sosok wanita itu ingin dipotret...hiii...

 

Ambisi Joko untuk masuk ruang bawah tanah pun nggak terpenuhi, karena pada saat itu ruang bawah tanahnya sedang banjir. Maklum musim hujan. Semarang pun termasuk kota yang langganan banjir kan? #hehehe

 

Memotret Light Trail di Bundaran Tugu Muda

Puas merasakan suasana mistis di Lawang Sewu, kami pun menghabiskan waktu menunggu tengah malam dengan kongkow-kongkow di seputaran Bundaran Tugu Muda. Karena Joko, Winky, dan Radit meminta untuk difoto. maka aku melewatkan sisa hari Sabtu itu dengan menggelar sesi pemotretan.

 

Banyaknya kendaraan yang hilir-mudik di malam hari menggodaku untuk mencoba teknik fotografi long exposure, yaitu agar timbul efek jejak lampu kendaraan (light trail). Aku pernah membaca teknik ini di majalah CHIP Foto-Video Digital. Tapi belum pernah sama sekali aku praktekkan.

 


Para pemuda harapan bangsa ini malah tengak-tenguk di Bundaran Tugu Muda.

 

Mulanya, aku menggunakan mode S (shutter priority) supaya aku bisa bebas menentukan kecepatan rana (shutter speed). Tapi, dalam prakteknya aku malah kesulitan menentukan kecepatan rana yang pas. Alhasil, aku "menyerah" dan berpindah menggunakan mode A (aperture priority). Aku mengatur bukaan diafragma ke nilai paling tinggi (di atas f/11) sehingga otomatis kecepatan rana yang dibutuhkan akan semakin lama.

 

Yang juga disayangkan adalah sewaktu itu aku nggak membawa tripod. Padahal teknik long exposure ini butuh dudukan tripod agar foto yang dihasilkan nggak kabur (blur) karena kameranya bergoyang dipegang tangan. Alhasil, aku mengakali dengan memposisikan kamera pada pagar taman supaya dudukannya lebih kokoh dan stabil.

 

Merasakan Nuansa Tionghoa di Sam Poo Kong

Hari Minggu (4/11/2007) adalah hari terakhir kami di Semarang. Alhamdulillah, kami cukup beruntung karena di hari Minggu itu cuaca di Semarang terbebas dari hujan dan... berganti panas terik seperti biasa. #hehehe

 

Tujuan pertama kami di hari Minggu itu adalah menyambangi Sam Poo Kong atau Gedung Batu. Sam Poo Kong adalah klenteng yang dibangun untuk mengenang Laksamana Cheng Ho. Lumayan menarik ya, sebab Laksamana Cheng Ho sendiri dikenal sebagai seorang muslim.

 


Foto bareng dengan patung Laksamana Cheng Ho.

 

Begitu memasuki area Sam Poo Kong budaya Tionghoa terasa kental. Mulai dari bangunan klenteng yang menyerupai istana raja Cina sampai bau hio yang menyebar kemana-mana. Bagi Joko, Winky, dan Radit kesempatan ini mereka gunakan untuk berfoto layaknya turis yang sedang bertamasya ke Cina. #senyum.lebar Aku sendiri sibuk mengatur kamera agar langit di foto nggak over exposure.

 

Keliling-Keliling Kota Tua Semarang

Tujuan berikutnya adalah kawasan kota tua di seputar Stasiun Tawang yang didamba-dambakan Radit. Sesuai namanya, bangunan-bangunan yang berdiri di kawasan kota tua ini sebagian besar berasal dari zaman penjajahan Belanda. Bahkan, di beberapa tempat terpasang plakat untuk melestarikan kota tua sebagai kawasan cagar budaya. Salah satu objek yang menarik di kawasan kota tua ini adalah Gereja Immanuel yang juga dikenal sebagai Gereja Bleduk.

 


Disebut Gereja Bleduk karena kubahnya itu lho.

 


Salah satu spot di kawasan kota tua yang cocok untuk foto-foto.

 

Nggak lengkap rasanya sudah mengunjungi tempat peribadatan agama lain tetapi belum mengunjungi tempat peribadatan agama sendiri. Karena itu kami singgah di Masjid Raya Baiturrahman Semarang untuk istirahat sekaligus menunaikan ibadah salat Zuhur.

 


Istirahat di Masjid Raya Baiturrahman dekat Simpang Lima Semarang.

 

Mengingat tujuan awal kami ke Semarang ini untuk berwisata kuliner, maka kami nggak lupa mencicipi jajanan khas Semarang. Sayang kami hanya sekali menyantap makanan Semarang yang menurut kami khas yaitu Tahu Gimbal.

 


Tahu Gimbal khas Semarang berkuah kacang.

 

Dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta, kami singgah di Magelang dan menyantap makanan Tahu Pojok. Mungkin wisata kuliner yang kami rencanakan ini lebih tepat disebut dengan wisata perbandingan masakan tahu ya? Hehehe. #hehehe

 


Tahu Pojok khas Magelang berkuah encer.

 

Penutup Tour de Semarang

Tour de Semarang sungguh menyenangkan! #senyum.lebar

 

Apalagi akhirnya aku berkesempatan menyambangi tempat-tempat yang dahulu hanya aku kenal sebatas nama atau melihat fotonya saja. Hanya saja, di perjalanan kali ini aku nggak bisa sepenuhnya bebas untuk berburu foto karena teman-teman yang lain juga ingin untuk diabadikan fotonya.

 

Toh, terlepas dari itu semua, sudah menjadi keharusan bagi seorang fotografer untuk menghasilkan karya yang terbaik apa pun objeknya. Foto-foto di artikel ini mungkin nggak mencitrakan kesan seni yang mendalam. Tapi senggaknya, foto-foto itu seolah berkata, “Kapan Pembaca mau main ke Semarang?”. #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI