Pameran seni kadang mengusung tema yang unik, bahkan tak jarang nyeleneh. Seperti halnya fotografer kawakan Agung Sukindra pada pameran fotonya yang berjudul Look @ Me yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta tanggal 23 - 30 November 2009.
Judul pameran, Look @ Me, itu bisa dialih-bahasakan menjadi ”Lihatlah Saya!”. Namun tunggu sebentar, karena oleh Agung kita tak diperintah untuk melihat model gemulai nan cantik. Melainkan model jalanan; orang gila, gembel, dan gelandangan yang tersebar di seantero penjuru kota Jogja.
Tema yang buat saya cukup menggelitik dan berhasil menggiring saya menyaksikan beragam karya-karya Agung tersebut. Bagi mereka yang peka terhadap isu sosial, mungkin kiranya pameran ini dicap sebagai pameran yang menyinggung isu SARA. Bahkan mungkin Agung sendiri juga turut dicap sebagai orang gila karena hobinya memotret orang gila. Namun coba kita renungkan sejenak sebuah tulisan yang terpampang besar di sudut ruang pameran:
Pasal 34 UUD 1945
- Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
- Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
- Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Bolehlah sekiranya itu menjadi refleksi bagi negara dan terutama diri kita sendiri, bagaimana kita menyikapi keberadaan mereka. Apakah kita takut? Jijik? Risih? Dengan keberadaan mereka di jalan-jalan? Lantas dengan itu kita menjadi tak peduli pada mereka?
Jujur, saya pribadi tak tahu bagaimana harus bersikap terhadap saudara-saudara kita yang mengalami gangguan kejiwaan itu. Ah, kita mungkin akan berkata,
”Biarlah keluarganya yang mengurus mereka”.
Tapi ketika mereka berkeliaran di jalan-jalan dengan penampilan yang mengenaskan, apakah itu bukan pertanda keluarga tak lagi mengurus mereka? Apakah semestinya kita berkata,
”Kurung mereka! Jangan biarkan mereka muncul di ruang publik!”.
Apakah mungkin mereka bisa menjadi normal? Ah, saya bukan dokter, saya tak paham masalah kejiwaan mereka.
Namun jangan salah, setiap dari kita juga memiliki kadar kegilaan. Kegemaran akan sesuatu, yang untungnya masih dalam batas yang wajar. Tapi ketika itu sudah melampaui batas, maka predikat orang gila pantaslah disandang. Walau hati dan otak (katanya) masih mampu berpikir jernih. Pembaca tak percaya? Tanyakan saja itu pada orang-orang gila harta, kekuasaan, dan wanita.
Yang kerap korupsi walau sudah kaya-raya.
Yang kerap menekan orang lemah walau punya jabatan tinggi.
Yang kerap selingkuh walau punya istri salihah.
Gilakah? Ya!
Perlu dibedakan antara orang gila dan gelandangan.
Beberapa solusi yang bisa saya tawarkan untuk ngatasin peroranggilaan ini:
1. Benahi KTP. Siapapun yang nggak punya KTP, nggak layak diurus Negara.
2. Orang gila harus dikurung, sebab mengganggu ketertiban masyarakat.
3. Orang gila yang sudah dikurung harus diobati, sebab mereka adalah manusia yang juga punya hak kesehatan (jiwa).
4. Masyarakat yang membuang keluarganya yang gila harus didenda.
Masalahnya:
1. Bikin KTP itu susah.
2. Depsos sudah masukkan orang gila ke RSJ, tapi RSJ penuh.
3. Tidak ada data keluarga yang punya anggota yang gila, soalnya nggak ada orang yang mau ngaku punya keluarga gila.
Kalo saya, siapapun yg gila itu adalah tanggung jawab keluarga dan pemerintah. Keluarga hrsnya bertanggungjawab utk menjaga anggota keluarga agar tdk mengganggu masyarakat. Dan kalo kekurangan biaya atau tak sanggup lagi, bisa dibawa ke RS Jiwa terdekat. Dan di situlah peranan pemerintah, merawat mereka yang sakit....
Kasihan ya, sendirian, sakit psikologisnya, tak terawat pula...
Ndengaren nonton lukisan dirinya sendiri :p