HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Mblusuk Sosrowijayan Kulon

Minggu, 29 November 2009, 11:18 WIB

Blusukan itu nggak mengenal batasan tempat. Selama masih ada orang yang pernah ke sana, blusukan itu tak mustahil. Blusukan memang bukan hanya perkara tempat. Ada faktor lain yang lebih penting, yaitu niat dan keteguhan hati. Dengan itu kita akan tetap melangkah maju menghadapi segala rintangan.

 

Kamis malam itu (12/11/2009), bila jam berdentang, mungkin baru akan berhenti setelah dua belas kali. Tapi di sana tak ada jam. Walau ada jam berdentang pun pasti tak terdengar. Sebab di sana penuh dengan riuh-ricuh manusia.

 

 

Budi (bukan nama sebenarnya) adalah pemandu kami pada malam hari itu. Atas bujuk dan rayunya, kami menuruti keinginan sang kawan yang hendak hengkang dari kota gudeg ini.

 

Yah, Budi hanya ingin menikmati saat-saat terakhirnya. Saat-saat terakhir di mana ia mengukir kenangan bercanda-tawa bersama kami. Saat-saat di mana kami harus melepasnya untuk pergi.

 

Bila beda waktu dan beda lokasi, mungkin tur malam kali ini tak ubahnya dengan tur lain. Hanya keliling kampung kok. Hanya sebuah kampung bernama Sosrowijayan Kulon yang letaknya di pusat kota Jogja. Hanya sebuah kampung yang terletak di pinggir Jl. Pasar Kembang dan kerap disandi dengan nama Sarkem.

 


Gerbang Masuk Sosrowijayan Kulon

 

Ini pertama kalinya aku blusukan ke lokasi prostitusi. Aku sendiri nggak berpikir kalau tindakanku ini salah. Aku hanya ingin tahu ada apa di dalam sana. Mungkin warga Jogja pun ada yang belum pernah bertandang ke sana. Aku tak mau menjustifikasi sesuatu hanya dari namanya. Dan tentu saja, aku juga ingin keluar dari sana hidup-hidup. #hehehe

 

Sepengamatanku, suasana di kampung Sosrowijayan Kulon terlihat ramai. Penuh dengan manusia-manusia yang mungkin Pembaca menyebutnya laknat, semacam pria mesum, hidung belang, tante girang, kupu-kupu malam, ayam kampung, apa pun itu.

 

Sosrowijayan Kulon bagaikan labirin. Ada berbagai cabang gang di dalam sana yang kelak berujung ke sarang manusia-manusia tersebut. Untung kami tak pernah nyasar. Sebab ada Budi sebagai penunjuk jalan.

 

Jogja, kota pelajar ini ibarat kertas putih. Kau ambil sejumput tinta dan kau percikkan di atasnya. Di noda hitam di antara belantara putih itulah kau berada. Jujur, aku tak habis pikir, mengapa bisa ada tempat seperti ini. Lebih kaget, ketika tahu bahwa lokasi ini legal dan sudah ada semenjak penjajahan Belanda.

 

Apakah prostitusi itu budaya?

 

Tur usai selepas 15 menit yang terasa bagaikan satu jam. Budi menawarkan pindah ke noda hitam lain. Aku menolak dan bergegas pulang ke rumah.

 

Blusukan itu perkara niat dan keteguhan hati. Lima belas menit itu sukses membuat hatiku bimbang. Bimbang mengenai arti dari kenikmatan seorang wanita. Toh, sebagai pria aku akui mata pria akan selalu tertancap pada wanita berbusana seronok. Namun menyaksikan mereka yang berpenampilan serupa, kenapa aku malah menjadi jijik?

 

Aku tak sanggup melanjutkan ini lagi. Pembaca apa pernah mengunjungi lokasi prostitusi?

 

Foto...
Aku memang bawa DSLR tapi aku tak memotret disana. Toh, manusia di sana serupa dengan mereka yang memakai celana hotpants, menghisap rokok, dan minum alkohol, bisa Pembaca temui mereka di mana saja kan?

NIMBRUNG DI SINI