HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Kain Bermotif yang Ekslusif

Senin, 5 Oktober 2009, 12:04 WIB

Indonesia boleh bangga dan gembira, sebab batik Indonesia secara resmi diakui oleh UNESCO sebagai salah satu dari 76 warisan budaya tak benda (Intangible Cultural Heritage). Kebanggaan dan kegembiraan itu diungkapkan dengan berbagai cara oleh masyarakat kita. Salah satunya adalah munculnya himbauan untuk mengenakan busana batik pada tanggal 1-3 Oktober. Karena itu jangan heran apabila akhir-akhir ini populasi busana batik meningkat di jalan-jalan perkotaan.

 


Ratusan siswa-siswi sekolah Kota Jogja
bersepeda dan berbusana batik.



Siswi SMK 5 Yogyakarta memeragakan membatik tulis.

Sebagai orang yang mengaku warga Kota Jogja, tentu diriku tak akan melewati acara Pencanangan Monumen Batik di perempatan nol kilometer di hari Jum’at pagi (2/10/2009). Acara dimulai pada pukul 07.30 pagi, walau beberapa jam sebelumnya hujan sempat mengguyur Kota Jogja.

 

Undangan yang aku terima dari Mas Imam, salah satu personil Bike2Work mewajibkanku untuk mengenakan busana batik. Benar saja, di perempatan nol kilometer penuh dengan orang-orang berbusana batik dan tentu lengkap dengan sepeda mereka masing-masing.

 

Ada banyak elemen masyarakat dari Kota Jogja yang memeriahkan acara ini. Sebut saja komunitas Podjok (Paguyuban Onthel Kota Jogja), Bike2Work, Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta), Siswa-Siswi Sekolah, dan Keroncong Kecamatan Keraton. Pada kesempatan ini Pak Herry Zudianto membuka selubung papan motif batik Semen Rama sebagai tanda Pencanangan Monumen Batik. Setelah sebelumnya beliau menerima penghargaan dari Ibu Larasati Suliantoro, Ketua Umum Paguyuban Pencinta Batik Indonesia Sekar Jagat. Dengan adanya monumen batik ini diharapkan Kota Jogja dapat menjadi pusat keunggulan dari filosofis batik.

 

Kain yang Eksklusif


Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta)
turut memeriahkan perhelatan ini.



Pak Herry Zudianto menerima sambutan
dari Ibu Larasati Suliantoro.

Selama ini batik terkesan sebagai busana yang ekslusif. Mengapa tidak? Kita jarang menjumpai busana batik di jalan-jalan dibandingkan pada perhelatan resmi. Harga yang harus ditebus untuk selembar kain batik pun cukup menguras kantong. Berkisar ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung motif dan kain yang digunakan. Membeli kain batik pun tidak bisa per meter, harus satu-utuh seperti yang dikerjakan oleh para perajin batik. Tak heran jika pada masa silam, batik adalah busana anggota kerajaan yang tak sembarang orang boleh mengenakannya.

 

Untuk mencoret kesan eksklusif itulah muncul beraneka ragam motif kain yang menyerupai batik. Bolehlah dikata sebagai batik imitasi. Selain itu teknik pengerjaan batik konvensional, yaitu teknik tulis dan teknik cap, menjadi salah satu faktor yang membuat harga batik konvensional tak ramah di dompet. Karena itu muncullah moderinisasi dengan teknik printing (pakai mesin) yang bisa menekan ongkos produksi. Namun perlu diperhatikan bahwa batik imitasi maupun batik printing tidak masuk kategori sebagai batik yang diakui oleh UNESCO.

 

Setelah diriku merenung, memang kesan eksklusif akan selalu melekat pada batik. Mengingat teknik pengerjaannya, waktu dikenakanannya, cara perawatannya, hingga harga yang harus ditebus.

 

Mungkinkah batik bisa merakyat layaknya kaus distro? Apakah dengan itu lantas membuat batik menjadi tak eksklusif? Namun ironisnya, kini dengan batik yang masih eksklusif, hidup para pengerajin batik masih jauh dari kata ekslusif.

 


Model cantik pun turut memeragakan busana batik. Ada yang tau nomer hapenya
namanya?

 

Apakah Pembaca yang budiman punya busana batik dan sering mengenakannya?

NIMBRUNG DI SINI