HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Lupa Jogja Istimewa

Sabtu, 3 Oktober 2009, 08:00 WIB

Diriku memang lahir di tahun 80-an. Lebih muda dari usia Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Tapi bukan berarti diriku lupa dengan cerita dibalik berdirinya kerajaan Mataram itu. Tentu diriku ingat dengan Pangeran Mangkubumi yang semasa kecilnya bernama Raden Mas Sujana, dan kelak di akhir hayatnya bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana I. Tentu diriku tahu siapa beliau, putra dari Amangkurat IV, raja Kasunanan Kartasura dari seorang selir. Beliau lah putra raja yang memberontak terhadap VOC. Pemberontakan itu berujung kepada Perjanjian Giyanti, dimana beliau memperoleh bagian wilayah Kesultanan Surakarta yang saat ini dikenal sebagai Yogyakarta.

 

Diriku memang bukan asli warga Jogja. KTP pun masih berlabel ibu kota. Di Jogja hanya menumpang hidup sembari merampungkan kuliah. Tapi entah kenapa diriku merasa sebagai warga Jogja. Diriku bukan hanya merasa sebagai warga Jogja, tetapi warga dari propinsi DI Yogyakarta, warga dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Diriku berusaha untuk mengenal lebih jauh, mendatangi berbagai pelosok yang ada di Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan Gunungkidul. Aku merasa memiliki Yogyakarta.

 

Diriku memang bukan warga negara yang alim. Masih sering menerobos hukum dan peraturan. Tapi diriku masih tahu RUU Keistimewaan Yogyakarta yang sampai sekarang belum tuntas disahkan. Mungkin kita semua tidak terlalu merasakan Yogyakarta sebagai sebuah kerajaan. Kerajaan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita anggap tanah Jogja ini sama dengan tanah lain di pelosok nusantara. Karenanya kita anggap Jogja tak istimewa. Kita lupa bahwa Sri Sultan Hamengkubuwana IX membuat peran Jogja menjadi teramat penting di era kemerdekaan.

 

Diriku tahu bahwa bagi teman sepantarku, apa yang aku utarakan ini dianggap terlalu melebih-lebihkan. Lebay katanya. Sok tahu katanya. Jogja tak istimewa katanya. Apa mungkin sebab penduduk muda Jogja adalah pelajar singgah? Sebab Jogja tak lebih dari sebuah Universitas Gadjah Mada? Sebab asal-muasal Yogyakarta tak pernah dipelajari? Miris saat diriku mendengar tutur mereka, ”Yogyakarta hanya tempatku meraih gelar. Yang kupedulikan adalah bagaimana aku kan menyambung nyawa. Apa keistimewaan Jogja bisa membuat perutku kenyang dan tidurku pulas?”

 


 

Wahai Yogyakarta, dengarkan lisanku ini...

 

Diriku paham mereka yang bertutur seperti itu adalah mereka yang sudah terperangkap dalam lingkaran harta, jabatan, dan nafsu semata. Mereka adalah mereka yang hatinya belum diruwat. Mereka adalah mereka yang tak lagi peduli pada nilai-nilai sosial-budaya dan membuat nilai-nilai luhurmu semakin memudar. Mereka adalah mereka yang tercangkok modernisasi instan, buah simalakama yang juga akan semakin memperkeruh keistimewaanmu.

 

Tapi wahai Yogyakarta yang menjadi alas kakiku berpijak. Kami tetap ingin melestarikan nilai-nilai luhurmu. Kami tetap berupaya membujuk mereka agar turut merasa memiliki Yogyakarta. Kami tetap berupaya mengingatkan mereka hakikat dari sebuah Yogyakarta. Karena kami percaya nilai-nilai luhur dari keistimewaanmu itu adalah suatu pelajaran berharga yang akan terus mengakar dalam sanubari kami. Karena kami adalah warga Yogyakarta, warga Propinsi DI Yogyakarta, warga Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

 

Dedikasi...
Untuk kembali menyuarakan RUU Keistimewaan Yogyakarta. Sekaligus sebagai refleksi Yogyakarta yang kini makin memudar nilai-nilai luhurnya. Untuk Pembaca yang asing dengan Yogyakarta, mohon maaf apabila artikel ini terasa sulit untuk dipahami.

NIMBRUNG DI SINI