Mungkin sebagian Pembaca ada yang bingung melihat foto yang terpampang di awal artikel ini. Foto itu kujepret tahun 2006 silam, tepatnya tanggal 31 Januari, tengah malam, di Keraton Kasultanan Yogyakarta. Itu adalah rangkaian dari prosesi adat, Lampah Mubeng Benteng, yang dilakukan pada setiap malam pergantian tahun Hijriyah (malam 1 Suro) di Yogyakarta.
Sesuai dengan namanya, peserta Lampah Mubeng Benteng wajib berjalan kaki mengitari benteng Keraton Kasultanan Yogyakarta tanpa berbicara dan tanpa berhenti (tapa bisu). Prosesi ini memakan waktu kurang-lebih 2,5 jam. Kebayang kan bagaimana sakitnya kaki sehabis mengikuti Lampah Mubeng Benteng? Tapi jangan salah, begitu-begitu barisan peserta hampir selalu mencapai panjang 300 meter!
Aku pernah mengikuti prosesi adat tersebut. Jujur saja, rasa sakit dan capek di kaki bukan main rasanya! Karena berjalan mengitari benteng itu belum termasuk jalan kaki pergi-pulang dari rumahku ke Keraton Kasultanan Yogyakarta.
Nah sekarang aku tanya kepada Pembaca sekalian, sudikah kiranya malam 1 Suro nanti berjalan kaki selama 2,5 jam di tengah malam?
Maaf kalau boleh kiranya aku memberi jawaban, pasti ada banyak yang menolak. Alasan yang kutebak adalah, "Ngapain juga jalan kaki tengah malam, capek, ngantuk pula!". Itu aku akui, tapi coba lihat barisan peserta sepanjang 300 meter itu. Kiranya apa alasan mereka ikut dalam prosesi ini? Mungkin pula Pembaca menjawab, "Ah mereka itu orang-orang kurang kerjaan!".
Kalau kiranya kita berbincang perkara adat, budaya, dan tradisi maka segala yang serba instan itu tidaklah pantas disandang. Adat, budaya, dan tradisi selalu penuh dengan tata cara dan aturan yang jauh dari kata mudah. Tapi dibalik itu semua, kalau kita jeli menggali asal-muasalnya, kita akan menemukan sebuah pelajaran berharga. Bagaimana nikmat kehidupan itu diperoleh dari jalan yang panjang dan berliku. Ada makna tersirat di dalamnya.
Mulai Luntur
Dewasa ini, adat, budaya, dan tradisi yang dimiliki oleh bangsa kita lambat laun mulai terlupakan. Penyebabnya satu, yaitu minimnya generasi muda yang bersemangat menekuni dan melestarikan adat, budaya dan tradisi.
Kalau boleh aku simpulkan, ada dua penyebab mengapa generasi muda kita kehilangan minatnya. Mohon maaf kalau apa yang akan aku utarakan berikut, menyinggung hati Pembaca sekalian.
- Pertama, karena adanya gempuran pengaruh budaya luar yang terselubung oleh tirai moderinisasi. Contohnya mudah saja, aku tanya kepada anda, betah yang mana anda nonton film layar lebar atau nonton pagelaran wayang kulit? Dua-duanya rata-rata berdurasi 2,5 jam, tapi aku yakin Pembaca lebih milih nonton film layar lebar.
- Kedua, karena ada pengaruh (maaf) doktrin agama. Ini dari pengamatan aku yang terbatas, berlaku pada kaum muslim. Kita tahu bahwa adat, budaya, dan tradisi itu berakar dari ajaran Hindu dan Buddha di tanah air kita. Oleh karena tidak sesuai dengan ajaran agama, ada beberapa orang yang menjauhkan diri dari hal-hal semacam itu untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Kita ketahui bahwa hidup itu pilihan, dan karena itu pula mengapa
Bukan blangkon yang menutup rambut, tapi topi dan peci,
Bukan beskap yang menaungi tubuh, tapi jaket dan baju koko,
Bukan gamelan yang merasuki telinga, tapi pop dan nasyid.
Punya Kita atau Kamu?
Yuk, kita merenung sama-sama, apakah kita menerima adat, budaya, dan tradisi itu menjadi bagian dari diri kita, menjadi bagian dari bangsa kita?
Kalau iya, sudah semestinya kita melestarikannya. Dengan cara apa? Yang mudah dulu saja, tekuni satu bidang tertentu. Sebagai awal, pilih sesuai asal suku kita. Tepis pula anggapan bahwa menekuni hal semacam itu akan membuang-buang waktu dan sulit dilakukan terutama di kota besar.
Kalau niat kita sudah kokoh, InsyaAllah jalan akan terbuka dengan sendirinya. Sesuatu yang besar itu dimulai dari yang kecil. Kalau 200 juta penduduk Indonesia melakukan itu, aku yakin adat, budaya, dan tradisi bangsa kita nggak akan dicaplok oleh bangsa lain.
Jadikan itu semua, adat, budaya, dan tradisi kita, bukan milik kamu orang lain.
Di sudut jalan di dekat pojok benteng itu aku melihat halaman sebuah warung game online tampak penuh dengan sepeda motor. Di lain sisi, telingaku menangkap ceramah seorang ulama yang disuarakan dari speaker masjid yang menyeru untuk menghindari perilaku syirik.
Lampah Mubeng Benteng tetap berlangsung, diriku tetap melangkahkan kaki. Dan kalau sekiranya anda tidak peduli dengan hal semacam ini, maka ijinkanlah diriku tuk peduli. Karena aku berusaha peduli terhadap apa yang tak kalian pedulikan.
salam kenal..
salam rimba raya lestari..
Kita harus kritis, jangan sampai moderinisasi malah menjatuhkan nilai kebudayaan kita.
mengalami evolusi. Seiring pergantian generasi juga
berganti cara pandangnya terhadap budaya.
Apalagi bila budaya itu nampaknya mengganggu
\"produktivitas\" yang ada, mengganggu kenyamanan
yang kita punya dan melawan logika.
Tapi untungnya masih ada saja orang berjiwa
romantisme yang tetap memelihara budaya kita.
I salut full.
Biarkan saja orang2 yang berteriak itu, jangan disalahkan, karena itu jauh lebih baik daripada diam dan sekedar menonton, dan mungkin karena baru itu yang bisa mereka lakukan saat ini. Biarkan mereka \"berekspresi\" dengan caranya sendiri. Jika hanya melihat semuanya berlangsung, semua orang pun bisa melakukannya.
Kami ndak diam saja Pin! Kami ini bergerak, perlahan, tidak grasa-grusu seperti mereka itu. Karena semua ada aturan mainnya.
yen ora awake dewe sopo maning?
tapi blogmu udah rame nih..
weh, kebudayaan ya.. hmm, aku pernah belajar nari, tapi 2 tahun gak apal2, parah ya..
sepertinya apresiasiku juga mulai luntur deh, piye donk mas?
Mungkin karena kamu lebih sibuk untuk bertahan hidup kali? tul ga?
Teringat ketika pesta pernikahan tahun lalu, kami (gue suami) ngotot banget gak mau pake adat. Akhirnya ortu mengalah.
Namun skr, jadi nyesel. Adat dan budaya itu jika ditelusuri indah bgt !
Masalah besar pelestarian budaya antara lain adalah karena sikap kritis yang menanyakan kenapa prosesi adat tersebut harus dilakukan.
Itu terjadi bila regenerasi tidak di sertai dengan regenerasi budaya. Maka generasi selanjutnya lebih mngagungkan budaya lain yang merasa bahwa budayanya membosankan. Dan itu yang tidak boleh kita diamkan
Yang mengatakan Kurang Kerjaan\", biasanya yang paling duluan kebakaran jenggot ketika ada yang mengambil budaya itu. )
puk-puk mawi
Ah, aku abstain aja ah... :p
Istilah \"Budaya kita\" terlalu mengada-ada, lah wong indonesia gak pernah di satuin secara budaya kok. Saya jadi inget beberapa waktu lalu ada temen saya yg ngasih komen di FB, \"terlalu besar khazanah budaya kita klo dikelola secara tunggal.\" ini komentar dia masalah jargon \"budaya nasional\".