Pagi hari ini aku mendengar suara azan subuh. Kalau di Pulau Jawa mungkin lumrah saja. Tapi ini di pulau Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Di mana dirimu akan merasa terasing di tengah warga negara asing di negeri sendiri.
Aku boleh bilang kalau ada banyak kewajiban yang harus dijalankan oleh seorang muslim. Salat lima waktu dan makanan halal itu hanya beberapa di antaranya.
Kewajiban pemeluk agama lain pun sepertinya tidak kalah banyak. Di Bali, aku masih menyaksikan warga menyiapkan sesaji di pagi dan sore hari. Kewajiban-kewajiban itu kalau dikerjakan bersama-sama dengan orang lain tidak akan terasa berat. Apalagi kalau lingkungan terutama masyarakatnya mendukung.
Kalau mau dikata, hidup sebagai seorang muslim di Bali gampang-gampang susah. Misalnya aja, nggak setiap warung makan menyediakan makanan halal. Juga masjid atau mushalla nggak banyak dijumpai, bahkan di SPBU sekalipun.
Itulah resiko menjadi minoritas diantara mayoritas. Yang namanya minoritas itu, seringnya merasa tidak nyaman, karena mereka "beda" dengan yang lain. Menjadi "beda" dengan menjadi bagian dari minoritas itu tidak bisa dihakimi baik atau buruknya. Yang jelas baik minoritas atau mayoritas, keduanya pasti mendambakan kenyamanan dalam hidup. Yang jelas kita hidup bersama-sama, berdampingan satu sama lain.
Tekanan dari mayoritas kepada minoritas itu tidak bisa dibilang tidak ada. Di Bali, setelah dua kali tragedi bom itu, wajar apabila muncul reaksi dari umat Hindu kepada umat Islam. Wajar pula jika muncul juga reaksi dari umat Islam.
Jangan sampai muncul perkataan, "Peduli amat dengan urusan agamamu, yang penting kewajiban agamaku terpenuhi". Itu berlaku khususnya pada diri kita ke pemeluk keyakinan lain. Menurut pengamatanku, ucapan itu tak pernah terlisankan karena kita semua bersikap "aman". Yaitu sebisa mungkin menempatkan diri pada kelompok orang-orang yang berkeyakinan sama dengan kita. Mungkin juga itu yang mendasari munculnya provinsi baru di negara kita dan juga negara-negara dengan konsep ideologi serupa.
Apa mungkin kita lebih nyaman hidup terkotak-kotak?
Di mana bentuk toleransi antar-umat beragama itu kalau kita tak pernah mempraktekannya?
Kenyamanan itu diberikan oleh pihak lain, karena itu harus ada pihak yang berkorban.
Pertanyaannya, apa kita mau berkorban?
Dan pengorbanan apa yang akan kita berikan?
Walau dengan itu kenyamanan yang sebelumnya kita miliki akan berkurang?
Sebelum kita meminta, ada baiknya kita renungkan dulu, apa yang sudah kita berikan.
Bali, Agustus 2009
kalo org dalam kotak lebih sedikit dari yg di luar kotak, apakah org di luar kotak tetap merasa tdk nyaman padahal mereka mayoritas??
opo iki????
Kotak-kotak itu mestinya harus berukuran besar, jadi kotak-kotak itu bisa saling mengisi. Artinya ada satu orang yg termuat pada dua kotak atau lebih. Semakin besar ukuran kotak dan semakin banyak orang yang termuat di lebih dari satu kotak, itu namanya Toleransi.
Tp saya sendiri tdk suka dgn yg namanya pengkotak-2an. Pengkotak2an akan membuat kita tdk nyaman saat berada di luar kotak. Saya selalu mikir, jgn sampai kita yg mayoritas justru menjadi arogan dan membuat yg minoritas merasa tdk aman di negerinya sendiri.
Piss mas hehe..
(lg2 aku ngomong ga jelas :p )
Tumben No foto..
Harus diakui Indonesia memang beragam, gak pernah punya satu kebudayaan
atau satu keyakinan/agama, bahkan sebelum penjajahan belanda, Indonesia
gak pernah bersatu, gak juga jaman majapahit majapahit menjajah bukan
menyatukan nusantara. Cuma satu yang sama dimiliki semua warga
Indonesia TOLERANSI, dan semoga selalu dimiliki bangsa ini..
mas wijna, yang kalimat terakhir itu tidak ada hubungannya dengan aku minta di burn-in CD kan? he3. karena setelah aku renungkan, sepertinya aku belum memberimu apa2, gimana dong? :p