Barusan aku bertamu ke rumah teman. Di sana, diriku nggak hanya disuguh minum dan makan ringan. Sebagai tuan rumah yang baik, temanku itu ngasih pinjam aku koran buat dibaca-baca. Kedaulatan Rakyat namanya, koran lokal idola warga Jogja. Terus terang sudah lama aku nggak baca ini koran. Sekadar nostalgila, kubuka aja lembar demi lembar dan sampailah mataku menatap satu kolom berita. Ini kutipannya:
Kliping
Pelecehan Seks Berbuntut Sumpah Pocong (20/6/2009). Rasa penasaran ratusan warga Padukuhan Jumeneng Desa Margomulyo Kecamatan Seyegan Kabupaten Sleman untuk menyaksikan prosesi sumpah pocong, Jumat (19/6) kemarin, berujung kekecewaan. Hal itu terjadi, setelah Marsihono, dukuh setempat, yang sedianya akan disumpah pocong, dikabarkan ‘kabur’. Bahkan saat dijemput di rumahnya, laki-laki itu nggak ada. Padahal siang itu rencananya Marsihono akan mengikuti prosesi sumpah pocong di halaman Masjid Al-Falah.
Sumpah pocong akan dilakukan setelah Marsihono dituduh oleh salah satu warganya, Ny Mujiyati, telah melakukan pelecehan seksual. ”Pihak yang ditawari sumpah pocong nggak hadir. Bahkan ketika dijemput di rumahnya, yang bersangkutan tak ada. Karena nggak datang maka perbuatan pelecehan itu bisa disimpulkan benar telah terjadi,” ujar Mujiharjo, selaku kaum rois Padukuhan Jumeneng yang rencananya memimpin prosesi sumpah pocong...
Sumber:
Koran Kedaulatan Rakyat, 20 Juni 2009
Buat Pembaca yang belum tahu, sumpah pocong itu ya prosesi sumpah biasa tapi pihak yang bersumpah menggunakan busana pocong. Kalau sumpah pocongnya dilakukan di sekolah, jadilah satu dari sekian banyak film horor tanah air kita #eh.
Biasanya yang melakukan sumpah ini adalah penganut agama Islam, karena pocong hanya dikenal di agama Islam aja. Tapi sumpah dengan cara seperti ini nggak diajarkan di agama Islam. Sumpah! Ini hanya sebatas tradisi atau budaya saja.
Pikiranku langsung mblusuk ke mana-mana. Kenapa mesti disumpah pakai pocong? Apa kalau nanti sumpahnya dilanggar bakal ada pocong datang nguber-nguber si pesumpah? Kasihan pocongnya ah. Orang meninggal itu kan kepingin tenang. Bukan malah capek lompat-lompat, karena setauku nggak ada cerita pocong bisa jalan. #hehehe
Lagipula ini kan masalah dunia. Ha mbok ya orang yang meninggal nggak usah dibawa-bawa. Dan itu cuma kasus pelecehan seksual yang bisa diselesaikan di kantor polisi setempat.
Tentu pocong juga nggak bisa menggugat si pesumpah dengan alasan pencemaran nama baik dirinya. Lha wong pocong itu udah meninggal dan dimana-mana pocong dianggap jahat. Nasibmu deh pocong karena jadi trademark ikon horor republik kita.
Aku tutup saja itu koran, daripada pikiran mblusuk nggak bisa balik lagi. Aku nggak mau nyinggung perkara orang meninggal apalagi menyimpulkan yang enggak-enggak.
Aku mikir, gimana kalau sumpah pocong diganti sumpah gledek saja ya? Biar kalau sumpahnya dilanggar langsung disambar gledek? Tapi berarti yang disumpah nanti meninggal dunk?
Weleh-weleh, kejujuran jaman sekarang itu mahal banget dan saking mahalnya harus dibayar pakai hal-hal yang irasional. Tobat!
Ayah pernah cerita, di kampungnya dulu di Kediri, ada dua orang berselisih masalah tanah, sementara satu2nya saksi udah meninggal. Maka sebagai jalan tengah, mereka sama2 makan (untal2an) tanah kuburan (lemah kuburan) bapak yang udah meninggal itu. Dipercaya siapa yang berbohong, akan segera menyusul sang bapak. Dan benar, akhirnya salah seorang diantara 2 dalam waktu yang tidak lama kemudian meninggal, padahal biasanya sehat2 saja.
Ini masalah kepercayaan, dan mungkin biar gampangnya aja. Tapi kalo yang ngelakuin orang sekarang aku jadi ga begitu percaya khasiatnya, wong udah ga jaman ngelmu2 kebatinan kaya dulu :P
(lagi2 curhat. maaf ya. anak gunung kawi sih :D)
Lam kenal mas.. :-)
ireng_ajah
hehehehee...
Komen perdana kok ya pas postingan yang ini ya?? Malah bingung arep komen opo aku iki..
Btw saya mau ke jogja lho... ngulik2 postinganmu soal jogja aaah:)
Kalo di Islam, sumpah itu dianggap sebuah sumpah (termasuk janji) kalo sudah nyebut nama Allah. Jadi sumpah atas nama rakyat gak diakui ama Islam :D