HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Makam di Keraton Kartasura

Selasa, 9 Juni 2009, 15:45 WIB

Satu bulan sebelum bulan Ramadhan, orang Jawa biasanya melaksanakan tradisi ziarah kubur. Ritual semacam ini disebut sebagai nyadran atau ruwahan (karena dilakukan di bulan Ruwah/Sya’ban). Keluargaku sendiri masih menjalankan tradisi ini sampai sekarang. Meski agak menyimpang, karena seringkali keluargaku berziarah kubur bukan pada bulan Ruwah. Alasannya sih mumpung karena masih sepi.

 

Pokoknya, sebelum bulan puasa datang, kami sudah harus berziarah kubur ke makam keluarga. Komposisi peziarah seringkali hanya Bapak, Ibu, dan diriku yang kebetulan kuliah di kota Jogja. Tiwul jarang bisa ikut, karena dia sibuk ngukur banjir.

 


 

Makam-makam keluarga sebenarnya tidak terletak di Jogja, tapi di Kabupaten Klaten dan Sukoharjo, Jawa Tengah yang jaraknya relatif dekat dari Jogja. Salah satu makam itu ada di daerah Kartasura, yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Sukoharjo.

 

Makam keluarga di Kartasura itu terletak di dalam reruntuhan Keraton Kartasura. Bangunan keraton tersebut merupakan bekas istana Kesultanan Mataram yang dipindahkan dari Pleret, Bantul karena sudah diduduki musuh. Sunan Amangkurat II –lah yang membangun Keraton Kartasura pada tahun 1679. Pada tahun 1745 istana Kesultanan Mataram dipindah ke Keraton Surakarta di Solo.

 

Saat ini jangan membayangkan bisa menemukan sisa-sisa bangunan keraton di sini. Karena yang tersisa hanyalah benteng batu bata keraton. Di dalamnya terdapat pemakaman orang-orang yang masih kerabat dengan keluarga Keraton Surakarta.

 


Cuma tembok batu bata seperti ini yang tersisa.

 


Petilasan ini katanya bekas singgasana raja. Dulu pernah digelar uji nyali di sini.

 

Diantara makam-makam itu terdapat makam eyang kakung dan eyang putri dari garis Ibu. Di sana juga ada makam adiknya Ibu (tanteku dong berarti) dan juga eyang putrinya Ibu (mbah buyutku). Itu karena Ibu masih terhitung keturunan kerabat dengan Keraton Surakarta, jadinya anggota keluarganya bisa dimakamkan di sini.

 

Mendadak, ketika berjongkok sembari memanjatkan doa kepada para penghuni kubur itu, kenangan itu muncul kembali.

 


Memanjatkan doa di makam keluarga....

 

Eyang Kakung Goenari adalah kakekku. Orangnya baik. Saking baiknya, sampai katanya orang-orang beliau nggak pernah marah. Padahal aku pernah dimarahin sekali karena nangis di kolam renang pas SD dulu, hehehe. #hehehe

 

Kamis, 16 Maret 2000, itu Idul Adha. Di sore hari, Eyang Kakung dan Eyang Putri datang ke rumah. Aku nggak menemani mereka karena asyik membakar bakar sate kambing. Menjelang Magrib, eyang kakung pamit mau pulang dan menghampiri diriku. Beliau mengecup kepalaku, "Le, selamat pesta sate ya!" kira-kira begitu ucapannya.

 

Malam harinya, pukul 22.00, telepon rumah berdering. Aku yang angkat. Terdengar suara tanteku, Bu Amiek, menangis di seberang sana.

 

Beliau tidak sedang sakit.
Beliau tiba-tiba jatuh ketika henggak menjemur pakaian dalamnya.

 

Memang benar kalau orang baik pasti akan dipanggil secara baik pula.

 

Eyang Putri Goenari adalah nenekku. Orangnya tinggi, tegas, dan suka marah. Aku paling ingat ucapan beliau, "Ra Lucu!".

 

Setelah Eyang Kakung nggak ada, suasana rumah memang nggak seperti dulu lagi. Eyang Putri jadi jarang keluar rumah. Padahal di dalam rumah lembab dan mungkin juga karena faktor usia, Eyang Putri jadi sakit. Setiap kali aku ke Jakarta, aku selalu menyempatkan diri menjenguk beliau yang terbaring lemah di tempat tidur. Sampai pada tanggal 27 September 2006, beliau meninggalkan kami semua untuk selama-lamanya.

 


Ibu di Masjid Keraton Kartasura.

 

Setiap tahun kami datang kemari, semoga tahun depan kami masih sempat kemari. Akankah kubur yang kami ziarahi bertambah?

 

Obituari...
Aku turut berduka cita untuk Andreas yang kemarin Minggu (7/6/2009) kehilangan neneknya. Menjadikan kami dua orang yang sama-sama tidak punya kakek-nenek lagi.

NIMBRUNG DI SINI