"Oi mbak Mon, mau ngapain lagi? Ayo balik."
Aku menyeru kepada Mbak Mon yang sedari tadi berdiri mematung di depan meja loket kantor pos. Tangan dan kakiku terasa agak berat, soalnya tadi aku membantu Mbak Mon mengusung barang-barang di kosnya untuk dikirim kembali ke kampung halamannya. Aku duduk saja di kursi yang ada di dalam ruangan, sembari menyaksikan perilaku temanku itu.
"Apa ada yang bisa dibantu lagi mbak?", tanya petugas pos wanita dengan ramah.
"Nggak, saya cuma mau melihat barang-barang saya di-packing saja", jawab mbak Mon
"Alamatnya sudah kan? Ditinggal juga nggak apa-apa kok mbak."
"Sudah, tapi saya cuma pingin lihat saja."
"Udah mbak, ditinggal saja, nanti lama kalau mbak mau menunggu semua ini selesai. Apa mbak mau nemenin saya po?", sahut petugas pria yang tengah mem-packing barang-barang Mbak Mon.
Tapi Mbak Mon tetap berdiri di sana.
Aku nggak menghitung lamanya Mbak Mon berdiri dan membuat orang-orang yang ada di sekitar sana terheran-heran. Aku mendengar derap langkah kaki dan melihat Mbak Mon berdiri di depanku.
"Ayo Mas Na, kita pergi."
Suaranya datar. Aku tidak menjawab apa pun. Di dalam mobil yang meluncur cepat di jalur Ringroad aku menebaknya,
"Kamu masih nggak mengikhlaskan "itu" ya Mbak Mon?"
Jawaban yang sudah bisa kuprediksi mengalir dari mulutnya. Pungutan liar. Mbak Mon tidak terima dengan biaya "ekstra" untuk mem-packing barang-barangnya. Bisa dimaklumi sih, soalnya ongkos untuk mengeposkan barang-barang Mbak Mon ke luar Jawa saja sudah mahal.
Selain itu, Mbak Mon tidak mendapatkan keringanan harga. Meskipun barang yang dikirimnya banyak. Memang tarif yang dikenakan sudah tarif resmi yang ditetapkan oleh PT. Pos Indonesia. Tapi bagi Mbak Mon yang besar di tengah keluarga yang menjunjung tinggi hukum, ia tidak bisa membiarkan terjadinya penyelewengan terhadap harga-harga yang tidak jelas asal-usulnya.
Untuk mengobati suasana hatinya, ia meminta diantarkan ke Prambanan, tempat di mana kami semua memulainya bersama-sama. Bagi Mbak Mon, tidak ada alasan untuk dirinya kembali ke Jogja. Bisa jadi ini yang terakhir bagi Mbak Mon untuk singgah ke sini. Kami menyusuri apa yang pernah kami singgahi, Candi Prambanan, Candi Plaosan, dan tentunya rumah itu.
Waktu beranjak siang dan aku meminta ijin untuk menunaikan ibadah wajib. Sepulangnya diriku dari salat Dzuhur di masjid RW V, aku mendapati Mbak Mon tengah berbincang dengan Bu Tini dan Anggi. Suaranya terdengar serius, jadi aku menunggu di luar rumah sambil menikmati pemandangan sawah yang terhampar luas. Membuat diriku kembali mengenang masa-masa yang tak bisa terbilang singkat di sana. Sepulangnya dari Prambanan, raut wajah Mbak Mon masih sama saat kami berangkat ke sana.
Ketidakadilan. Mbak Mon sekali lagi menyinggung masalah itu. Semua orang tahu bahwa masuk ke akademi kepolisian perlu uang banyak. Lagi-lagi pungutan liar dan jelas itu membuat telinga wanita ini resah. Apa yang dialami Anggi dan Bu Tini, semata-mata adalah penjajahan finansial dan birokrasi bagi kaum menengah ke bawah yang jarang bersentuhan dengan prosedur dan hukum.
Kenapa keadilan menjadi semu?
Apa yang salah dengan keadilan?
Apa keadilan tidak bisa cukup untuk bertahan hidup?
Apa kita perlu salah untuk bisa bertahan hidup?
Apa kita terlalu naif dengan keadilan?
Sesungguhnya apa itu keadilan?
Drama heroik yang berkedok sandiwara terselubung?
Aku teringat Upil pernah berujar, "Ibarat laut, semaksimal apa pun kita berusaha ia takkan pernah kering".
Apa kita sudah menyerah bahwa keadilan itu akan selalu semu?
Pintu mobil ditutup. Salam pun terucap. Bisa jadi itu terakhir kalinya aku melihat dan mendengar suaranya. Namun aku akan selalu melihat kata "keadilan (justice)" terukir dalam jiwanya dan itulah yang mampu membawanya melintasi pelosok benua.
Aku masih ingat kata-katamu Mbak Mon, bahwa kita ini orang unik dari 23 orang, karena kita hidup dari mimpi-mimpi kita. Tapi kita tak kan pernah bermimpi kalau tidak ada seorangpun yang mempercayai kita untuk terus bermimpi.
Untuk itu mari kita lihat, apakah "kebebasan (freedom)" yang kuyakini terukir di jiwaku ini mampu membantumu untuk menyibak tirai semu keadilan. Semoga, kelak aku masih hidup untuk menyaksikannya.
kalo kebahagiaan gitu semu gak? kok kadang kita bisa merasakan bahagia tapi tiba2 aja bisa langsung sedih dan kebahagiaan itu menguap begitu saja dan nggak ada yang tersisa dari kebahagiaan yang kita rasakan..
kalo sampeyan ngasih tips ke saya jelas salah, karena memang ada aturannya. kalo misale ndak ada?
ah sudahlah, komentar saya kok malah jadi ndak nyambung. hehe
(haduh, mentang2 orang organta...:p)
Tes Komen make FireFox :d
banyak orang yang tidak mendapatkan keadilan di negeri ini.
apakah memang Indonesia yang salah? aku tidak tahu.