HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Ritual Ruwatan Massal di Kulon Progo

Jumat, 29 Mei 2009, 21:37 WIB

Hari Sabtu (23/5/2009) kemarin aku dapat undangan untuk menghadiri acara Ruwatan Massal. Tempat acaranya di SMK Tamansiswa yang masuk wilayah Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta.

 

Seperti biasa, untuk bisa sampai ke lokasi yang dimaksud, aku sempat nyasar-nyasar nggak jelas, hehehe #hehehe. Padahal sebenarnya sih gampang. Dari Kota Jogja tinggal ikuti saja Jl. Godean sampai tiba di Perempatan Kenteng, Nanggulan (berarti sudah masuk di wilayah Kulon Progo). Jaraknya dari Kota Jogja ya sekitar 17-an km lah.

 

Kemudian, dari Perempatan Kenteng cari saja letak Kantor Kecamatan Nanggulan. Ini yang sedikit tricky. Sebab, letak Kantor Kecamatan Nanggulan itu nggak persis di pinggir jalan raya. Tapi, harus "sedikit" masuk ke pemukiman warga. Letak SMK Tamansiswa nggak jauh dari Kantor Kecamatan Nanggulan itu. Ya, masuk "sedikit" ke pemukiman warga juga. #hehehe

 

Asal-Usul Tradisi Ruwatan

Ruwatan merupakan salah satu tradisi Jawa yang kian hari kian jarang dipraktekkan. Ruwatan adalah prosesi penyucian diri seorang manusia agar kelak dirinya terbebas dari malapetaka.

 

Meskipun demikian, hanya orang-orang tertentu saja yang "diwajibkan" untuk diruwat. Orang-orang ini disebut sebagai sukerta. Asal-usul prosesi ruwatan diceritakan dalam kisah pewayangan lakon Murwakala, yaitu lahirnya Batara Kala.

 

 

PERHATIAN!

Paragraf di bawah ini diperuntukkan bagi pembaca yang sudah berumur 17 tahun ke atas!

 

Alkisah, pada suatu ketika Batara Guru dan Dewi Uma sedang melintas di atas lautan. Entah ada angin apa, mendadak di saat itu Batara Guru ingin berhubungan badan dengan Dewi Uma. Permintaan Batara Guru itu pun ditolak Dewi Uma. Akan tetapi, karena Batara Guru sudah terangsang, air maninya pun menetes dan kemudian jatuh ke laut. Air mani yang jatuh ke laut itu lantas berubah menjadi raksasa ganas yang bernama Batara Kala.

 

Batara Kala kemudian naik ke Suralaya (kahyangan). Ia meminta pertanggung-jawaban dari Batara Guru karena telah melahirkan dirinya. Batara Guru kemudian memberinya "hadiah", yaitu Batara Kala boleh memakan manusia yang menyandang predikat sukerta. Beberapa orang yang menyandang predikat sukerta di antaranya adalah sebagai berikut.

 

  1. Anak tunggal pria (disebut ontang-anting).
  2. Anak tunggal wanita (disebut unting-unting).
  3. Anak dua bersaudara, kakaknya pria dan adiknya wanita (disebut kedono kedini).
  4. Anak dua bersaudara, kakaknya wanita dan adiknya pria (disebut kedini kedono).
  5. Anak dua bersaudara, pria semua (disebut uger-uger lawang).
  6. Anak dua bersaudara, wanita semua (disebut kembang sepasang).
  7. Anak lima bersaudara, pria semua (disebut pandawa).
  8. Anak lima bersaudara, wanita semua (disebut pancagati).

 

Setelah Batara Kala pulang dengan "hadiah" tersebut, mendadak Batara Guru tersadar. Ia membuat kesalahan besar! Populasi manusia dengan predikat sukerta itu ternyata ada banyak sekali! Waduh...

 

Batara Guru khawatir bila nanti manusia punah karena dimakan Batara Kala. Alhasil, Batara Guru menugaskan Batara Wisnu dan Batara Narada turun ke bumi dengan misi mencegah polah Batara Kala memakan manusia.

 

Di bumi, Batara Wisnu menyamar sebagai dalang bernama Dalang Kandhabuana. Sementara Batara Narada menyamar sebagai pengiringnya. Mereka pun berkeliling mencari Batara Kala.

 

Di suatu desa, Dalang Kandhabuana menggelar pagelaran wayang. Batara Kala pun terpikat dan ikut menonton pagelaran wayang tersebut. Segera saja, Dalang Kandhabuana dan pengiringnya itu pun berubah wujud kembali menjadi dewa, kemudian meringkus Batara Kala.

 

Singkat cerita, Batara Kala bersedia untuk menghentikan aksinya memakan manusia dan juga kembali ke Suralaya. Sebelum hengkang, Batara Kala dan pengikut-pengikutnya berpesan kepada Batara Wisnu. Batara Kala mewanti-wanti bahwa dirinya akan turun kembali ke bumi memakan manusia apabila manusia itu termasuk predikat sukerta yang belum diruwat.

 

Nah cuplikan cerita di atas itulah yang disebut-sebut sebagai asal-usul tradisi ruwatan. Eh, seandainya Pembaca pernah mendengar versi yang berbeda, harap maklum lah, namanya juga cerita rakyat. #hehehe

 

Prosesi Ruwatan

Prosesi ruwatan sendiri itu bermacam-macam. Umumnya, prosesi ruwatan diawali dengan kirab para peserta ruwatan (para sukerta) yang diarak keliling desa. Selesai berkeliling desa, para sukerta dipandu menuju tempat dilangsungkannya prosesi ruwatan.

 


Kirab para sukerta menuju panggung ruwatan.

 

Di lokasi prosesi ruwatan, rambut para sukerta dipotong. Rambut ini nantinya akan dihanyutkan di sungai. Setelahnya, digelarlah pentas wayang dengan lakon Murwakala. Oh iya, dalang pentas wayang ini tidak boleh sembarangan. Sebab, harus memiliki "kemampuan" untuk meruwat para sukerta.

 


Para sukerta meminta restu dan doa dari orangtua sebelum acara ruwatan dimulai.

 


Peserta ruwatan juga ada yang masih balita lho!

 

Prosesi ruwatan ditutup dengan dimandikannya para sukerta menggunakan air suci. Setelah itu, baik para sukerta maupun hadirin menyantap bersama hidangan yang sudah disiapkan sebagai sesaji.

 

Ruwatan yang Sepi

Berhubung aku telat datangnya (acara mulai pukul 11 siang, aku datang pukul 12 siang) aku cuma kebagian nonton pentas wayangnya saja. Tapi itu saja aku nggak nonton sampai selesai. Sebab, jadwal pentas wayangnya diundur. Baru dimulai pukul setengah 2 siang dan sampai pukul 5 sore belum ada tanda-tanda bakal selesai. Alhasil, aku juga nggak sempat memfoto para sukerta saat mereka dimandikan dengan air suci. #sedih

 


Air suci dari 7 mata air yang dipergunakan pada akhir prosesi ruwatan.

 

Prosesi ruwatan massal ini adalah prakarsa dari Perguruan Tamansiswa yang ingin membangkitkan kembali ruh budaya Jawa yang tergerus modernisasi. Sebenarnya acara ini termasuk besar lho! Karena kalau menilik daftar tamu undangan, ada nama Bupati Kulon Progo dan Kepala Dinas Pariwisata Kulon Progo.

 


Ini perwujudan bekal yang diminta oleh Batara Kala dan pengikut-pengikutnya sebelum pulang ke kahyangan.
Baru boleh disantap ramai-ramai setelah acara usai. #senyum.lebar

 

Tapi aneh bin ajaibnya, yang nenteng DLSR di sana cuma aku doang! Alhasil, jadilah aku tukang foto dadakan yang dapat full-access. Semacam bisa bebas naik ke atas panggung wayang buat foto-foto dan lebih-lebih dapat makan gratis. Enaaak! #senyum.lebar

 

Nggak hanya itu saja. Kalau aku perhatikan, penontonnya juga sedikit. Aku bingung, serius nggak sih acara ini dijadikan acara pariwisata?

 

Meruwat Hati

Kalau aku pikir-pikir, prosesi ruwatan ini terasa kental dengan adat dan budaya Jawa yang bagi sebagian orang terasa merepotkan. Biaya yang dibutuhkan cukup besar (makanya digelar secara massal). Apalagi, bisa jadi ada beberapa orang yang beranggapan bahwa proses ruwatan ini nggak "senapas" dengan ajaran agama Islam. Ya toh Pembaca?

 

Tapi menurutku, sebenarnya yang perlu diruwat itu bukan raga jasmani kita, melainkan hati kita. Agar kelak kita tidak tertimpa petaka. Sebab, geraknya hati tidak terasa tapi dampaknya begitu nyata (ngutip ocehannya Bos Kuncup #hehehe).

 


Pak Dalang sedang memainkan tokoh wayang Batara Kala dalam lakon Murwakala.

 

Sedangkan menurut kata Pak Dalang di pentas wayang, ruwatan itu harus membuat kita mawas diri terhadap tiga hal yang dapat membawa kisruh di muka bumi yaitu tahta, harta, dan wanita. Selain itu dalam menjalani kehidupan, kita mesti menjalankan empat hal berikut.

 

  1. Menghormati keyakinan orang lain, yaitu tidak kisruh hanya gara-gara perbedaan keyakinan.
  2. Ingat bahwa sesama manusia kita adalah saudara, jadi jangan saling memusuhi.
  3. Tolong-menolong antar sesama manusia, tanamkan sikap gotong-royong dengan siapa pun.
  4. Selalu bersikap jujur dalam kondisi apa pun.

 

Karena itu, sudahkah Pembaca meruwat hati? #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI