Tujuanku bluuskanku kali ini nggak jauh-jauh amat kok, yaitu ke Kotagede, kecamatan yang ada di tenggara Kota Jogja. Untuk ke Kotagede bisa ditempuh dalam waktu 30 menit dengan naik sepeda.
Aku ke sana di hari Sabtu pagi (16/5/2009), jalur yang kutempuh adalah Jl. Malioboro – Jl. A. Yani – Jl. P. Senopati – Jl. Sultan Agung – Jl. Kusumanegara – Jl. Gedong Kuning. Di Jl. Gedong Kuning sendiri terdapat gapura utama ke kawasan Kotagede. Sekitar 100 meter dari gapura ini terletak Kantor Balai Purbakala Propinsi DI. Yogyakarta.
Sejak tahun 1930-an, Kotagede ini dikenal sebagai kota perak. Nggak salah sih, karena di sepanjang jalan di Kotagede dihiasi oleh berbagai macam toko kerajinan perak. Sebelum krisis moneter tahun 1998 silam, kerajinan emas putih ini banyak diminati oleh wisatawan. Bahkan juga oleh warga lokal. Tapi, saat ini kondisinya berubah drastis. Sebab, bahan baku perak kian hari semakin mahal harganya.
Sejarah Kotagede dan Awal-Mula Kesultanan Mataram
Bicara soal sejarah Kotagede nggak bisa lepas dari kisah berdirinya Kesultanan Mataram yang merupakan akar dari Keraton Yogyakarta. Alkisah, pada tahun 1546, tersebutlah seorang pria bernama Ki Ageng Pemanahan yang merupakan lurah wiratamtama di Pajang (sekarang seputar Surakarta).
Salah satu kesultanan besar pada masa itu adalah Kesultanan Demak, yang mana masih dipenuhi intrik politik perebutan kekuasaan. Tentu ada drama terbunuh dan dibunuh #senyum. Ki Ageng Pemanahan berhasil menyelamatkan Hadiwijaya (bupati Pajang) dari jebakan Sunan Kudus. Dengan intrik politik pula, Ki Ageng Pemanahan dikabarkan berhasil membunuh Arya Penangsang (bupati Jipang Panolan) yang merupakan musuh dari Hadiwijaya.
Pokoknya, setelah segala macam intrik politik bunuh-membunuh rebutan kekuasaan bekas Kesultanan Demak, Hadiwijaya menghadiahkan Ki Ageng Pemanahan hutan lebat yang diberi nama Alas Mentaok. Pada tahun 1556, Ki Ageng Pemanahan lantas mendirikan desa Mataram di Alas Mentaok. Beliau memimpin desa itu sampai akhir hayatnya di tahun 1584. Pengganti beliau adalah putranya, Sutawijaya, yang kelak berganti nama menjadi Panembahan Senopati, raja pertama dari Kesultanan Mataram.
Karena di tengah kota pusat Kesultanan Mataram itu ada pasar yang bernama Pasar Gede yang hari pasarannya adalah Legi.
Mau Islam kek, Katolik kek, Kristen, Hindu, atau Buddha kalau sudah ketemu dengan namanya nafsu perebutan kekuasaan (atas dasar apa pun)...kejadian guling-menggulingkan, fitnah-memfintah, dan bunuh-membunuh bisa terjadi.
Tes Kamera Baru
Sebenernya aku itu ke Kotagede untuk menguji DSLR Nikon D40X dan lensa kit Nikkor 18-55 II f/3.5-5.6 yang baru aja dibeli oleh kawanku Dimas Aji Bayuadhi. Jadi, trims ya Dim udah ngebolehin aku buat menjajal kemampuan DLSR pertamamu, #senyum.lebar.
Pesona Kotagede yang Pelan-Pelan Memudar
Karena ini Street Hunt, maka dari itu sepeda diparkir di Masjid Agung Kotagede dengan retribusi Rp1.000 saja dan diteruskan dengan jalan-jalan. Banyak objek menarik di Kotagede, terutama adalah arsitekturnya yang kebanyakan adalah bangunan-bangunan lawas tempoe doeloe. Sayang bangunan-bangunan tua di kota tua ini banyak yang hendak dijual karena pemiliknya nggak mampu untuk merawat bangunan tersebut.
Selain Masjid Agung, di Kotagede (pernah) berdiri pula Masjid Perak yang merupakan masjid tertua setelah Masjid Agung. Sudah bukan rahasia lagi kalau Kotagede adalah markasnya ormas Islam, Muhammadiyah. Saat ini kondisi Masjid Perak tengah diperdebatkan oleh pihak takmir masjid dan pemerhati budaya seperti yang ditulis Mas Elanto.
Bicara soal kuliner, selain terkenal dengan sate karang dan jajanan kipo, es dawet yang dijajakan di pinggir pasar juga berhak untuk dicoba. Komposisi es dawet yang komplit (dawet-camcau-tape-es serut-santan asli) dan harganya yang cuma Rp2.000 saja bakal membuat Pembaca kembali bersyukur Tuhan bahwa hidup di Jogja itu adem, ayem, dan tentrem.
Dari sejarah yang mewarnai Kotagede dan dari beberapa warga yang kutemui, terbesit kisah memilukan tentang Kotagede yang mulai kehilangan "ruh"-nya. Entah apakah itu disebabkan modernisasi, krisis ekonomi, ataupun pengaruh Muhammadiyah. Tapi yang jelas, Kotagede penuh dengan benda cagar budaya, hasil karya para pendahulu kita di masa lalu. Di mana kita dapat belajar banyak dari peninggalan-peninggalan tersebut.
Tentu besar harapanku, agar kelak generasi setelahku bisa menikmati Kotagede seperti saat aku kemari hari ini. Walaupun Kotagede kini nggak lagi semarak oleh rumah-rumah Joglo yang telah luluh-lantah akibat Gempa Bumi DIY-Jateng tahun 2006 silam.
Kamera mungil nan cabe rawit sampe saiki ta gembol mrana mrini.
Tambah ngiler pgn nang Kotagede :)
minal aidin wal faidzin wis..
btw lensa nya ternyata ada distorsinya yah? wah syg yah hixhix..
Minal Aidzin wal Faidzin juga Dim. Itu lensa emang ada distorsinya, tapi wajar kok.
eh, udah nyoba es di Warung Sido Semi, belum, kang? nuansanya jadul banget!!
beberapa postinganku soal kota gede ada di sini: http://jengjeng.matriphe.com/index.php/tag/kotagede
lumayan pelepas rindu.. dulu saya tinggal 10 taun di kota gede
SD di gedong kuning..
skali lagi thank u :)
Tapi tulisanmu kali ini agak \"ga adil\", wis. Kamu bilang di paragraf akhir kalo salah satu penyebab Kotagede kehilangan \"ruh\" adalah pengaruh Muhammadiyah. Padahal kalo aku baca blog yang membahas tt masjid perak itu, kayae Muhammadiyah punya banyak peninggalan bersejarah di Kotagede, antara lain ya masjid perak itu. Dan masalah robohnya masjid itu juga bukan 100 salah Muhammadiyah, tapi \"oknum\" takmir masjid sendiri.
Bukannya aku orang Muhammadiyah atau apa, tapi masalahnya kamu \"nuduh\" tanpa njelasin lebih lanjut. Akan sangat membingungkan buat orang kaya aku yang belum pernah ke sana dan liat yang sebenarnya. ^-^v
Saya juga mengawali kalimat itu dengan kata Entah apakah itu disebabkan... yang berarti masih menutup kemungkinan hal yang sebutkan diatas untuk tidak terjadi. Karena toh saya tidak mengawali kalimat dengan Semua itu disebabkan oleh...