HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Ah, Ngalah?

Selasa, 12 Mei 2009, 01:11 WIB

Kejadiannya sih di sebuah perempatan yang dijaga lampu bangjo di kecamatan Tempel, Sleman. Situasinya iring-iringan kendaraan bermotor sedang menunggu lampu lalu lintas menyala hijau. Ambang detiknya ya seperti foto di atas itu.

 

Aku sih nggak terbengong-bengong pas menyaksikan sepeda motor-sepeda motor itu jadi berhamburan walaupun lampu lalu lintas masih merah. Tapi aku bengong ketika tahu kalau di detik ke-150 lampu lalu lintas tiba-tiba menyala hijau.

 

Apa ini tanda kalau masyarakat kita itu nggak sabaran?
Bersabar itu ada imbalannya?
Atau Pak Polisi lagi baik hati? #hehehe

 


 

Siapa sih yang nggak be-te, dapet lampu lalu lintas yang ambang waktunya ratusan detik? Mesti nunggu lama, padahal ada urusan lain yang diburu waktu. Nunggu setia sampai nyala hijau lagi itu nggak hanya patuh dengan peraturan lalu lintas, tapi juga mengalah dengan ego dari nafsu yang nggak sabaran.

 

Kasus di atas cuma contoh kecil, bagaimana kita kadang-kadang memang harus ngalah.

 


 

Ngalah itu kata nggak baku dari mengalah. Sedangkan mengalah sendiri artinya adalah, "membuat diri sendiri menjadi kalah". Karena ada yang kalah, pasti ada yang menang. Karena ada yang kalah dan menang, tentu obyeknya lebih dari satu. Karena obyeknya ada banyak, maka dari itu ini yang disebut dengan kompetisi.

 

Siapa sih yang nggak suka dengan kemenangan? Di lomba-lomba umum aja para pemenang diganjar hadiah jutaan rupiah. Ngalah berarti membiarkan orang lain menang. Kita yang ngalah, jadi kalah, dan dapet gelar pecundang.

 

Ngalah? Nggak banget deeeh!

 


 

Alhasil, aku nggak heran pas melihat dua anak kecil lagi berantem rebutan mainan. Sebab, kedua-duanya sedang berkompetisi. Sama-sama nggak mau kalah. Ujung-ujungnya, mereka nangis deh! Ribut deh! Di kejadian seperti itu orangtuanya yang bakal marah, karena di antara mereka berdua nggak ada yang mau ngalah.

 

Nah, beda kalau di ujian masuk perguruan tinggi atau ujian CPNS. Ratus ribuan peserta harus rebutan kursi yang jumlahnya cuma ratusan. Kalau nggak ngalah, nggak bakal menang, nggak bakal dapet kursi. Kalau yang seperti itu, Orangtua bakal marah, kalau kita ngalah. #hehehe

 


 

Terus ada yang tanya, "Kalau ngalah terus, kapan menangnya? Gimana kita hidupnya?". Iya sih, hidup itu kompetisi, ada yang menang dan ada yang kalah, ada yang memangsa dan dimangsa. Meong sama curut aja ngajarin hal itu. Ujung-ujung pilihannya hidup atau mati. Karena itu sebisa mungkin jangan kalah! Jangan mau ngalah!

 

Jadi, jangan iba sama si miskin, yang nggak bisa beli buku buat sekolah.
Jadi, jangan iba sama si cacat, yang nggak selincah orang sehat.
Jadi, jangan iba sama si jomblo, yang nggak dapet-dapet cowok/cewek idaman.
Kan, katanya nggak mau kalah? Nggak mau ngalah? Kalau iba, berarti mereka harus menang, kita yang kalah.

 

Bukan maksudku ingin bikin bingung, tapi bikin sadar kalau ego kadang kelewat batas jadinya nggak mau ngalah. Ngalah bukan berarti pecundang, itu cuma kata orang, atau paling cuma bisikan hati yang minder aja.

 

Rejeki yang dikategorikan uang, ilmu, cinta, dan lain sebagainya itu, mbok ya jangan dibuat rebutan hanya untuk memenuhi ego diri sendiri aja. Ingat juga mereka yang kalah, senggaknya itu bakal meredakan ego kita, dan semoga membuat kita hidup dengan tujuan agar orang lain bisa mengalah.

 

Tentunya kita semua tahu bahwa, kadang kita harus mundur satu langkah untuk maju seribu langkah.

NIMBRUNG DI SINI