HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Ratapan Jembatan Merah

Senin, 16 Maret 2009, 19:58 WIB


Jembatan Merah tersohor dengan bentuknya yang
melengkung. Bagus untuk objek foto.

Di Minggu sore itu (15/3/2009), dengan suasana hati yang nggak pasti, aku bersepeda blusukan mengitari Kota Jogja. Tahu-tahu, sampailah aku di ruas Ringroad Utara Jalan Gejayan, yang menghubungkan Terminal Condong Catur dengan Jalan Gejayan.

 

Berhubung matahari hampir terbenam, aku pun bergegas berbalik bersepeda ke selatan menyusuri Jl. Gejayan untuk pulang ke rumah. Pas di tengah perjalanan pulang itu aku berhenti sejenak. Ada sesuatu yang menarik perhatianku.

 

Ada jembatan yang warnanya merah. Jadi itu kenapa jalan yang menghubungkan jembatan ini dinamakan Jalan Jembatan Merah. Aku ingat, beberapa waktu yang lalu Emma cerita tentang jembatan ini.

 

Karena di sepanjang perjalanan bersepeda tadi aku nggak ketemu objek bagus, ya aku foto saja jembatan merah ini. Bukti buat Emma kalau aku udah menemukan jembatan ini. Em, aku udah kemari loh!

 


Dana, generasi ketiga warga Jembatan Merah.

Pas lagi motret-motret, di dekatku ada seorang bapak, lagi ngemong anaknya yang masih kecil. Aku minta ijin bapak itu buat motret anaknya. Itu fotonya di samping. Namanya Dana, usianya ya kira-kira 3 tahun. Bapaknya namanya Pak Subiyanto, umurnya 40-an lah. Rumahnya persis di dekat jembatan. Pak Subiyanto tanya aku sedang apa. Aku jawab mau buat laporan. Cerita jembatan merah pun kemudian mengalir.

 

Walaupun Jalan Gejayan sudah mulus sejak tahun 1985, Jembatan Merah sendiri sudah ada sejak dahulu kala. Sebelum ada Jalan Gejayan, satu-satunya jalan ke utara ya harus lewat jembatan ini.

 

Jembatan Merah membelah dua rumah keluarga Pak Subiyanto. Waktu masih kecil Pak Subiyanto juga tinggal di rumah itu. Jembatan Merah dulu terkenal angker. Karena di ujung timur jembatan dulu banyak begal, perampok yang suka minta uang.

 


Sampah-sampah ini nggak mungkin
dibersihkan! Gimana caranya sampah
diangkutke atas jembatan?

Pak Subi, panggilan akrabnya, cerita kalau jembatan merah dibangun menggantikan jembatan yang pernah ada di dekat sini. Jembatan lampau itu adalah jembatan untuk rel kereta api ke Maguwo. Tapi sekarang jembatan rel kereta api itu udah nggak ada, yang tersisa hanya pondasinya saja di pinggir Sungai Gajah Wong.

 

Di bawah jembatan merah terbentang Sungai Gajah Wong. Nggak terlalu besar sih tapi airnya lumayan deras. Sayangnya sungainya kotor, penuh sampah. Pak Subi cerita kalau dulu pas beliau kecil sering berenang di sungai itu. Pernah ada air terjun kecilnya juga, disebutnya mantras.

 

Sekarang ini pinggir-pinggir sungai sudah mulai tererosi. Pondasi jembatan dikhawatirkan goyah. Selain itu aspal jembatan sudah banyak bolong. Terakhir baru diperbaiki swadaya dengan warga. Pihak pemda sering datang kemari. Tapi hanya datang, motret, pergi dan nggak ada kelanjutannya lagi. Takutnya kalau jembatannya rusak bisa bahaya.

 

Pak Subi cerita juga, jembatan merah sering dipakai untuk pemotretan pre-wedding. Di Kota Jogja sendiri jembatan sejenis ini hanya ada di sini dan di Jalan Godean.

 

Buat pihak Pemerintah Kota Yogyakarta, tolong dong jembatan merah diperhatikan. Struktur jembatan merah harus diperbaiki. Selain itu jembatan merah juga jadi daya tarik kota Jogja, sebagai objek cagar budaya. Apa ratapan jembatan merah nggak cukup terdengar?

 

Kesepian...

Sebenernya hari itu aku merasa kesepian. Kayaknya lama gak ketemu temen-temen, baru ketemu sebentar, terus gak ketemu lagi. Tapi sore hari itu kok ya ternyata aku ngobrol bareng Pak Subi, cerita-cerita kesana-kemari. Lain kali mampir ke rumah ya mas, itu kata Pak Subi sebelum aku pamit. Ah. Ternyata. Aku nggak kesepian.

NIMBRUNG DI SINI